Bimbang Tiada Bertepi

Sudah enam bulan ini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Selama itu pula kuselami penyesalan yang tiada pernah berakhir. Penyesalan yang teramat sangat kusesali. Kebodohan itu harusnya tak boleh terjadi. Tapi nyatanya kala itu aku tengah mabuk dalam angan-angan cinta yang nampak indah bagai bunga-bunga yang bertaburan di taman mengeluarkan wangi semerbak penggoda jiwa.


 

Aku benar-benar tergoda oleh janji - janji manis kekasihku.

Dulu, sebagai kekasih, Rezzy penuh perhatian padaku, seperti pasangan lainnya Rezzy tampak menyayangi aku sepenuh hati. Mungkin ia lihai menundukkan hatiku, buktinya aku sampai benar-benar jatuh hati padanya. Apapun kebutuhanku atau permintaanku ia penuhi. Ia selalu tau apa yang aku mau. Jika aku sakit, aku selalu diantarnya ke dokter yang praktek dekat tempat kost-ku. Waktu itu aku masih kuliah, sedang Rezzy mengaku bekerja di sebuah perusahaan ternama sebagai Manager. Kami sama-sama tinggal di tempat kost yang berbeda dan agak berjauhan. Karena kami sering bertemu di halte yang sama untuk naik angkutan umum, akhirnya kami berkenalan. Namun akhirnya perkenalan itu membawa kami jatuh ke dalam jurang yang nista yang seharusnya tak aku lakukan. Bodohnya aku yang mudah tergiur akan bujuk rayu Rezzy yang licik !

Tak pernah kubayangkan jika saat ini yang kudapat hanya duka dan air mata. Saat Rezzy mengetahui benihnya tumbuh dalam rahimku, ia tak pernah menemuiku lagi. Tak pernah kusangka jika ternyata Rezzy yang kukenal sebagai kesatria belahan jiwaku itu kini menjadi seorang pengecut. Begitu lelah aku mencarinya. Seakan jejaknya hilang ditelan bumi. Aku semakin bingung untuk mencarinya. Emosiku seakan meluap tapi tak ada nyali untuk kutumpahkan. Hanya bulir-bulir air mata sebagai teman penghibur hati, pelepas emosi.

Ingin sekali rasanya aku pulang ke rumah orang tuaku, tapi tak kuasa kaki ini melangkah. Aku takut Mama akan shock jika tau aku kini telah berbadan dua. Penyakit jantung yang dideritanya tak boleh mendengar kabar yang menyedihkan. Terlebih Papa yang sangat keras terhadap anak-anaknya. Pastilah aku akan dimarahi habis-habisan oleh Papa. Atau mungkin Papa tidak akan mengakui aku lagi sebagai anaknya.

Kuliahku yang sejatinya tahun ini bisa kurampungkan, akhirnya kukorbankan. Aku malu akan kondisi perutku yang kian hari semakin membesar, padahal statusku belum menikah. Pastilah akan ada banyak cemohan dari teman-teman di kampusku nanti bila mereka sampai tahu kondisiku saat ini. Pun dengan dosenku, Apa jawabanku, jika Sang Dosen bertanya akan janin yang sedang kukandung ini ? Aku diselimuti ketakutan yang teramat sangat menyiksa batinku. Dan ketakutan ini membuat aku ingin sekali bertemu pada Rezzy untuk memukulnya sekuat tenaga dan meminta pertanggung jawabannya. Lagi-lagi aku hanya mampu mengubur emosi dalam lamunan kesendirianku.

Anehnya, Rezzy benar-benar sulit untuk dicari. Omongannya ternyata bual belaka. Saat kutanyakan dirinya di kantor yang pernah dia sebutkan, ternyata tak satupun ada yang mengenal dirinya. Dan perusahaan itu meyakini diriku bahwa tak pernah ada karyawan yang bernama Rezzy Dwianza. Ini kuketahui setelah kutanyakan pada bagian personalia dari kantor itu. 


"Ah,.... kenapa aku bodoh bisa dikelabui oleh laki-laki tak bermoral itu !"

"Rezzy, dimanakah kamu berada ? Aku membutuhkan mu ?" 


berulang kali kukatakan pada sebuah foto yang pernah aku miliki sebagai kenangan kala masa-masa indah dulu bersamanya. Entahlah, apakah esok suatu hari aku bisa bertemu dengannya atau tidak ? Apakah sang ayah dari bayiku ini mau mengakui sebagai ayahnya ? Aku menunggu waktu, tak tau nasib apa yang akan terjadi nanti pada diriku. Yang aku tatap hanya bayang-bayang kelabu menghantui kehidupanku nanti, sebab sekarang diriku sudah tak berarti lagi.