Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ? Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa

Cinta di Ujung Jari

Aku mengenal Doddy berawal melalui sebuah situs perkenalan Facebook, sebuah situs perkenalan di dunia maya yang sedang booming..

Sebuah Cinta Semu

Jam tiga dini hari aku dikejutkan oleh sebuah SMS misterius."Jangan rebut Riza ya ! Riza itu pacar aku, ngerti !"

Bimbang tiada bertepi

Sudah enam bulan ini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Selama itu pula kuselami penyesalan yang tiada pernah berakhir.

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

"Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku

30 April 2009

Oh Caleg......

Di Pemilu Tahun 2009 ini merupakan tahun dimana banyak partai - partai politik, bayangkan, hingga 44 partai. Untuk masyarakat kota, mungkin hal ini tidak menjadi masalah. Tapi bagaimana untuk masyarakat di daerah pedesaan, apalagi untuk daerah terpencil ?




Saya pernah tertawa geli saat mendengar salah seorang warga pedesaan.
"Aduuh, saya bingung tadi mau nyoblos partai Anu, tapi kenapa ga' ketemu ya partai yang saya mau coblos itu.

Ada lagi yang bilang "saya mah nyoblosnya nanti aja pas pemilihan presiden, kalo sekarang kan cuma milih anggota DPR."

Saya sendiri merasa bingung dengan pemandangan Banner caleg yang dipajang secara serampangan, tanpa mengindahkan keasrian jalan tersebut.

Di e-mail, banyak sekali parodi-parodi lucu tentang banner caleg. Ada yang bilang caleg bersama David Becham kerjasama, ada caleg yang berpose bersama macan, biar dibilang pawang macan, Ada caleg yang bawa pistol, serasa pemain fil James Bond, Ada Caleg yang lagi bergaya sedang Tinju, Ada Banner yang salah tulis nama partainya jadi Demokarat, Ada caleg nyasar dari planet kripton yang mana gaya rambutnya ga' kuat dech, ada partai dari partai slankers, ada caleg yang namanya SUPIRMAN dipajang di mobil angkot ( kesannya tukang supir kali yach ), Ada caleg yang berpose serasa jadi dewa gitar, Ada banner iklan caleg yang digabung dengan banner sebuah salon ( ini yang punya salon mau nyalon jadi caleg kali ), Ada gambar NARUTO di banner calegnya, ada banner yang numpang logo seperti Flexi punya ( dituntut ga' ya sama flexi ? ), Ada banner caleg Ardiansyah di kelilingi empat wanita cantik-cantik ( cocok sekali dengan judul lagunya, "Aku bukan pencinta wanita" ), dan ada juga Banner caleg yang paling jujur, katanya jangan pilih saya, karena saya bukan caleg, suka nipu rakyat, bla, bla... Perut Saya benar-benar terkocok, saat melihat gambar-gambar tersebut.

Setelah Pemilu putaran pertama berjalan, saya sangat miris dengan nasib para caleg yang gagal terpilih. Ada saja berita yang membuat kita jadi mengurut dada. Ada yang menabrakkan motornya ke tiang listrik karena setelah ia gagal terpilih iapun gagal meminang gadis pujaannya. Ada yang tiba-tiba jadi miskin, padahal sebelumnya bisnisnya sukses, namun ia menjual semua sahamnya untuk menjadi caleg. Ada yang jadi gila, tau-tau tertawa sendiri, kadang-kadang menangis. Ada yang ditinggal pergi istri dan anak-anak, sedang dirinya masuk rumah sakit Jiwa. Bahkan ada pula yang mati bunuh diri, karena malu dengan sang suami tercinta. Pemerintahpun telah mengantisipasi untuk menyediakan Rumah sakit jiwa bagi para caleg ini

Begitulah potret Pemilu kali ini. Semoga tidak terulang kasus-kasus seperti ini. Harapanku kita dapat bercermin untuk menghindari perilaku perilaku yang memprihatinkan.


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

"BU, zaki BAB di celana lagi. terpaksa saya tinggal di sekolah karena anak-anak yang lain pada mabok ga' tahan baunya, udah saya serahin ke bu Erna tapi ga' mau karena ga' ada gantinya" begitu SMS dari supir antar jemput sekolah anakku yang baru aku terima siang ini jam 12.30. Maklumlah, zaki baru kelas 1 SD.


saat hari-hari awal masuk sekolah, zaki memang pernah BAB di celana. waktu itu, ia langsung dipulangkan ke rumah. pulang dari sekolah, zaki kami hukum, aku menyuruhnya mencuci sendiri celana dalam yang terkena BAB itu, berharap agar ia tidak mengulanginya lagi. Alhamdulillah, zaki sudah jarang sekali melakukan kebiasaan buruknya lagi.

Segera kutelpon abi.
"Assalamu'alaikum, Abi, ada sms, katanya zaki ee di celana. Pulsaku habis, tolong abi yang telpon yach.

Setelah abi telpon kedua gurunya, ternyata kedua gurunya bilang, zaki tidak ee di celana. Sebab sudah dicheck dan celananya tidak basah.

Tapi sang supir jemputan sekolah zaki yang masih mempercayai bahwa zaki ee di celana tetap bersikeras agar supaya kami selaku orang tuanya yang menjemput zaki.

Kejadian tersebut membuat Bu Erna, salah satu wali kelas zaki merasa iba dan bersedia mengantarkan zaki ke rumah. sebab sebelumnya kami mengutarakan kepada bu Erna, bahwa zaki akan kami jemput jam 4.30, karena di tempat kami bekerja kami kesulitan bila keluar dari pabrik.

Meski didera oleh perasaan kecewa yang berlebihan pada supir antar jemput sekolah zaki, aku memakluminya. Mungkin bila saat itu zaki ikut dalam mobilnya, akan mengurangi citra bisnis antar jemputnya. Mungkin saja, karenanya, akan banyak anak-anak yang enggan jadi pelanggan jemputannya lagi.

Setelah aku bertanya kepada anakku, anakku mengaku hanya kentut. Mungkin karena zaki pernah BAB di celana, dia jadi punya image demikian di sekolahnya, sehingga hanya karena kentut, teman di kelasnya jadi menuduh ia BAB.

Aku benar-benar terharu akan pertolongan Bu Erna. Ternyata guru-guru di Al Irsyad karawang, alhamdulillah baik, perhatian dan penyayang terhadap anak - anak didiknya.

Teruskan perjuanganmu Bu guru dan Pak Guru. Engkaulah Pahlawan tanpa tanda jasa.

Berperang Melawan Sepi

"Pokoknya kalo Maulana sekolahnya di sini, Maulana ga' mau sekolah. Maulana ingin tinggal dengan Eyang ya Yah." ancam anakku bernada kesal padaku.


Ya,... anakku tiba-tiba saja meminta tinggal dan bersekolah di tempat Eyangnya di Jogja. Alasannya adalah karena kualitas nya jauh lebih baik ketimbang di sini yang masih sangat - sangat terbatas. Kami tinggal di daerah dimana masih sangat serba minim fasilitas. Untuk menuju ke kota, cukup dengan 2 jam dengan mengendarai sepeda motor.

Sejak lahir hingga usia 2 tahun, Maulana memang tinggal terpisah dari ku, hidup bersama orang tuanya di Jogja. Eyangnya sangat memberikan kasih sayang yang berlebihan, mengingat Maulana adalah cucu pertamanya saat itu. Hingga kasih sayangnya membekas hingga kini dalam sanubari anakku. Lepas usia 2 tahun, Maulana beserta istriku berkumpul kembali bersama denganku.

Saat-saat bersama keluargaku begitu indah terasa. Damai dan sejuk hari-hariku, seirama dengan tempat tinggalku yang berdekatan dengan sebuah hutan yang belum dijamah oleh manusia sedikitpun. Bila Sabtu dan minggu tiba, tampak maulana bergembira sekali, sebab kami terbiasa jalan-jalan, entah itu untuk berbelanja ke mall di kota, atau sekedar makan di rumah makan tidak beberapa jauh dari rumah.

Hingga di usianya yang kini menjelang 4 tahun, tiba-tiba saja aku harus berpisah kembali. Bagaimana mungkin aku harus menjalani kesendirianku yang pernah kujalani 2 tahun yang lalu ? Baru saja aku mereguk indahnya kebersamaan tuk memadu kasih, manisnya bercanda ria dengan cinta sejatiku semua harus kusimpan lagi kenangan-kenangan itu.

Istriku tidak mampu berbuat apa-apa. Ia juga menginginkan hal ini terjadi. Alasannya cuma dua kata " Demi anak ". Dua kata yang menusuk hatiku. Meski kehidupan rumah tangga kami terbilang adem ayem, tak pernah ada sedikitpun pertengkaran di antara kami, namun aku masih tidak mampu bergeming untuk berpisah dengan keluargaku yang teramat aku cintai.

Tapi, akhirnya aku harus mengantarkan keluargaku ke tempat Eyang, mertuaku. Malam sebelum aku kembali ke rumah tinggalku, ku tatapi dua sosok manusia yang amat kusayangi, Istriku dan Maulanaku. Hingga tak sadar bulir-bulir air mataku jatuh membasahi lengan istriku. Istriku jadi terbangun karenanya. ia menciumku berkali-kali dengan penuh mesra, setengah berbisik, "Yah, jangan lama-lama di sana ya, kasihan Maulana ditinggal Ayahnya ". Tangisku semakin menjadi-jadi seolah aku tak ikhlas mereka berdua jauh dariku.

Pagi yang disertai awan kelabu, mengiringi keberangkatanku kembali ke rumah tinggalku. Di bandara, kucoba menahan air mata yang seakan-akan ingin berjatuhan tiada terkira. Kupeluk satu persatu kesayanganku itu.
"Maulana, jadi anak yang baik dan pintar Yah. jangan kecewakan Ayah" pintaku sambil memeluk dan mencium pipi Maulana yang gembil.
"Iya Ayah " Maulana tersenyum tanda setuju.
"Ayah, jangan nakal ya di sana " istriku berbisik padaku sambil berpelukan denganku.
Aku hanya tersenyum dan sedikit mengangguk.

Sesampainya di tempat tinggalku ini, aku menelpon istriku, mengabari mereka bahwa aku telah sampai dengan selamat. Hari-hariku kini dipenuhi dengan kesendirian. Kadang tuk berperang melawan sepi, aku berkunjung ke rumah kawan. Mungkin dengan menjadi tim pebulu tangkis di kantorku mampu menepis kerinduan ini.

22 April 2009

Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ?

Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa. Padahal saat itu kami baru saling mengenal dalam jangka tiga hari. karena didera rasa kecewa berkepanjangan oleh beberapa kisah cintaku sebelumnya, aku begitu polosnya mau menerimanya.


Pun dalam hatiku sama sekali tak percaya kalau ia benar-benar mencintaiku. Secara de facto aku benar jadi kekasihnya, namun hatiku belum mau menerimanya. Ia nampak berusaha meyakinkan aku bahwa ia tulus mencintai aku. Aku luluh juga, aku menyukainya, karena ia dekat dengan agama. namun sayangnya, dimanapun kami berada, kami tak seperti dua insan yang saling mencintai. "Aku ga' mau orang lain menilai negatif kepada kita, kita manusia, jadi harus punya malu" begitu dalih yang diucapkan. Padahal aku ingin sekali berjalan beriringan, atau dia menggandeng aku, kupikir itu bukti ia ingin melindungiku.

Namun semua tak pernah ia lakukan untukku. Bahkan, ketika hendak ingin naik kendaraan umum, ia selalu lebih dulu. Mungkin karena dia mendalami agama, akupun memakluminya. "Mungkin kalau kami telah menikah, dia tak akan canggung lagi kepadaku" harapku dalam hati.

Setelah kami menikah, ternyata, dia masih seperti itu. Apakah aku salah meminta haknya sebagai istri ? Bukankah permintaanku wajar ? Aku meminta hakku sebatas kemampuan suamiku. Kadang batinku menangis, saat melihat para ibu hamil yang ditemani suaminya sambil tersenyum riang berdua. Sementara aku duduk sendiri ditemani sebuah tas yang hanya bisa kupandangi sudut-sudutnya sambil menunggu antrian panggilan dari dokter untuk memeriksaku, sedang suamiku menungguku di sisi yang lain, berjauhan seolah tak pernah mengenal, terkadang malah ia keluar ruangan untuk mencari angin segar.

Pernah suatu kali aku sendirian ke dokter kandungan."Bu, sendirian ? Suaminya kemana ?" tanya salah satu pasien yang sama-sama sedang menunggu."Sedang kerja, kasihan kalau harus mengantar saya, takut cutinya habis" mengharap suamiku baik di mata orang.Kakak juga tau, karena kebetulan telpon aku saat itu."kalo Mas pasti selalu antar Mba' Nani ( istrinya ) ke dokter. Mas ga' bakalan tega ninggalin mba'mu itu, apalagi kondisinya sedang berbadan dua".hingga lima bulan kehamilanku, aku mengalami flek, aku harus selalu sering control. Ah, betapa ikhlasnya aku, mau sendirian berangkat ke dokter, padahal kondisiku cukup berbahaya, bagaimana bila di jalan ternyata aku mengalami pendarahan ? Nyatanya Allah memberikan banyak pertolongan padaku. Alhamdulillah, Aku baik-baik aja.

Setelah aku melahirkan anak pertamanya, tak ada tanda-tanda perubahan. Kami selalu dibelakangnya saat berjalan atau ingin naik kendaraan umum. Suatu ketika, aku benar-benar iri melihat seorang suami membawakan tas bayi sambil menggandeng istrinya yang sedang membawa bayinya menyeberang jalan.
Suara alunan sang pengamen nan sahdu melupakan aku untuk sementara waktu saat aku berada di atas bus kota. Saat pengamen telah usai, awan mendungpun kembali menyelimutiku. Ada goresan-goresan luka yang tak kan pernah bisa terhapus oleh air mata sekalipun.

Lagi-lagi aku terpaku di sudut ruang hatiku, menunggu waktu hingga sang cinta datang menemani aku dengan penuh kasih yang tulus. Berharap bersama penuh suka dan tawa. Suara tangis anakku membangunkan aku dari lamunan panjang tiada bertepi.


15 April 2009

Jazakallah Yaa Ibu dan Bapakku

Entah bagaimana aku bisa membalas semua kebaikannya padaku. Semoga Allah swt selalu memberikan balasannya atas segala kebaikannya selama ini. Robbighfirli, wali-wali dayya warhamhuma kama robbayani soghiro. Amiiin.



Aku sangat bersyukur pada Allah swt bahwa aku yang sampai detik ini masih diberikan kesempatan menghirup segarnya dunia, hingga kini aku telah dikaruniai sepasang putra dan putri yang manis-manis dan lucu-lucu. Lewat tangan-tangan kedua orang tuaku lah aku bisa seperti sekarang ini.

Aku bungsu dari 4 bersaudara, semua kakak-kakakku laki-laki. Kedua orang tuaku sangat menyayangi kami semua. Perekonomian kedua orangtuaku saat itu terbilang cukup, tidak lebih dan tidak kurang. Pernah kuingat, saat ibu memiliki kue atau panganan, selalu ada cara dari ibu, agar semua bisa terbagi dan tidak saling berebut. "Gambreng dan suit", seperti sistem undi, siapa yg menang dalam gambreng, ia berhak memilih terlebih dahulu bagian-bagian makanan yang telah ibu bagi beberapa bagian. karena aku perempuan sendiri, dan beda kami cukup jauh, aku tidak ikut gambreng. terkadang bapak mendidik kami dengan sangat keras, sedang Ibu terlihat berusaha mengimbangi bapak dengan bersikap lemah lembut kepada kami sebagai anak-anaknya.

Telah sering kali Ayah bercerita padaku, mensyukuri atas nikmat yang Allah berikan kepadanya saat ini. Ayah selalu menceritakan masa-masa sulit dahulu. Pernah suatu ketika, ayah harus membuat bungkus dari kertas untuk di jual ke sebuah toko di daerah Santa, karena kala itu belum ada bungkus pelastik ( kresek ). Ketiga kakakku ingin ikut semua, meski dengan jalan kaki semuanya merasa senang. Setelahnya mereka pulang dengan membeli segelas es dawet untuk dinikmati ketiga kakakku. Air mataku sempat meleleh meski hanya mendengar ceritanya.

Saat masa kecilku yang nakal, pernah suatu kali, ketika Ayah pulang dari kerja. Aku memecahkan gelas Mug yang baru saja dibeli ayah. Tentu saja ayah sangat kecewa. Tapi ayah tak memarahiku. Aku hanya bisa menangis, sebab aku tak sengaja menjatuhkan gelas Mugnya.

Aku pernah ingat, Ayah mengajakku naik bus umum Tingkat ( berlantai 2 ). Perjalanan itu sangat aku nikmati. Kami naik di lantai 2 paling depan, sehingga kami dapat puas melihat pemandangan yang kami lewati. Dalam pangkuannya, aku mendengarkan cerita ayahku. hatiku sangat riang kala itu. Meski tujuan kami hanya ingin naik bus Tingkat saja. Kami kembali di tempat semula.

Setiap kenaikan kelas. Ayah selalu mengajak kami ke Jakarta Fair. Aku dibelikan sepatu yang aku pilih sendiri sebagai hadiah bahwa aku mendapat rangking di kelas. Kami anak-anaknya merasa sangat senang sekali berada di tempat itu. pulangnya kami naik bis umum.

Bila di kantor ayah ada pesta, Ayah selalu bawa beberapa potong kue blackforest untuk dibagikan kepada kami di rumah.

Mandirinya Zaki Wisata Sekolah Tanpa Mamanya

31 Maret ini, anak kami Zaki yang sedang kelas 1 di SDIT Al-Irsyad akan wisata ke Kidzania bersama teman-teman sekelasnya. Karena biayanya bagiku cukup lumayan, aku sebagai ibunya memutuskan tidak mendampinginya. Keputusan itupun setelah aku tanya beberapa ibu dari siswa teman anakku serta guru wali kelasnya. Wali kelasnya mengatakan tiap 10 siswa didampingi oleh 1 guru pendamping di sana.



"Zaki, zaki pergi wisata sendiri tanpa Mama yaa, zaki kan kata bu Guru mandiri, iya kan, kalo mandiri berarti harus berani sendiri" rayuku berharap anakku mau pergi tanpa aku."Ma, teman-teman pada diantar mamanya lho" zaki tampak memelas."Nanti zaki mama titipkan pada teman kerja Mama yaach " kebetulan ada teman kerjaku yang anaknya sama-sama bersekolah di SDIT Al-Irsyad, namun beda kelas."Ma, nanti di sana aku ga' ada foto-foto kalo Mama ga' ikut" keluh anakku."Coba nanti Mama minta tolong supaya teman mama mau mengambil foto untuk zaki ya di sana, trus mama bisa telpon ke Bu Yulia nanyain kabar kamu ya" Senyuman polosnya yang lucu menyakinkan aku kala itu.

sore yang indah, di saat H-1 wisata ke Kidzania, setelah aku mandi Aku membaca selebaran pemberitahuan dari Bu Yulia dan Bu Erna, wali kelasnya Zaki. Isinya mengenai peraturan-peraturan dan apa-apa yang dibawa saat di Kidzania. ba'da sholat maghrib, kami pergi ke sebuah minimarket untuk memenuhi apa-apa yang akan dibawa zaki esok. Setelah pulang, aku mengemasi tas yang akan dibawa zaki besok agar besok berangkat lebih mudah dan berharap tidak ada yang ketinggalan. Ada chiki, roti dan minuman kotak serta baju ganti. Tampak Zaki telah tertidur pulas sekali. Tampaknya omongan bu gurunya untuk tidur lebih awal dikerjakan dengan senang hati.

Saat Adzan Shubuh berkumandang, Zaki beranjak bangun, dia begitu bersemangat bangun. Biasanya ia bangun setengah jam lebih lama dari pagi ini."Ma, aku minta dimandikan Mama ya ?" pintanya."Hayuuuk, Mama mandikan "Untunglah, Salwa pagi itu tidak rewel, ia ikut bangun namun langsung tidur-tiduran di depan TV ruang keluarga kami. Padahal hari-hari sebelumnya ia selalu menangis saat bangun tidak melihat aku di sisinya, biarpun wajah tersebut digantikan oleh Abinya, ia tetap tidak akan mau. Akupun jadi bisa mengerjakan tugas-tugas lain, seperti menyiapkan makan salwa dan Zaki. Aku baru bisa mandi setelah semuanya selesai, namun saat aku mandi zaki ngomel-ngomel, ia ketakutan terlambat tiba di sekolah, karena di kertas pemberitahuan tertulis "tidak ada toleransi untuk yang datang terlambat / ditinggal ".

Jam 5.30 pun kami berangkat dari Rumah, Aku, Abi, Salwa dan zaki bersiap berangkat dengan mengendari motor. Di perjalanan, kami melihat beberapa teman zaki yang akan berangkat juga."Tuh lihat, teman-teman kamu juga berangkatnya bareng kita kan, jadi jangan takut terlambat ya" Abinya memberitahu zaki sambil menunjuk ke arah beberapa kendaraan di dekatnya.

Tiba di sekolah, ternyata sudah ada beberapa siswa yang telah datang, namun mereka belum berkumpul di halaman sekolah yang sesuai pemebritahuan, bahwa jam 5.50 kumpul di halaman sekolah SDIT Al-Irsyad. Kusambangi Ayahnya Shafa."Bapak ayahnya Shafa kan ?""iya, ibu ibunya siapa ?""Saya Mamanya Zaki, Pak. Bapak ikut mengantar Shafa di sana ?""Ah, tidak. Kalau saya ikut, nanti biayanya berapa.""Sama Pak, saya juga ga' mengantar zaki koq, lagi pula, sudah ada guru pendampingnya. Insya Allah kita percayakan saja pada mereka.""Abi, ini ayahnya Shafa yang sekelas satu Arofah dan satu jemputan dengan zaki ".Sambil senyam-senyum Abi bersalaman dengan Ayahnya Shafa.Setelah itu kami berpencar kembali.

Begitu melihat Yani, teman kerjaku, aku langsung melambai-lambaikan tangan. Iapun melihat aku."Mana anaknya ?" tanyanya kepadaku."Ini anakku, zaki ini mamanya Pito yaa " sambil menunjukkan zaki pada temanku, kuperkenalkan temanku ke Zaki."Mirip, mirip sama kamu, jadinya aku nyarinya ga' susah" Yani tampak dengan cepat mengingat wajah anakku.

Ku temui Bu Yuli, guru pendamping zaki di sana. Kuucap salam dan kuperkenalkan aku padanya.
"Bu, titip zaki ya, sebab saya tidak ikut. Jazakallah Khair" aku menjelaskan pada bu Yuli.
"Iya Bu, Insya Allah" jawab Bu Yuli dengan tersenyum.

karena jam telah menunjukkan jam 6.30, buru-buru ku katakan pada zaki kalau aku harus pulang, sebab aku masuk kerja."Zaki, mama pulang ya. Mama ga' bisa nungguin zaki sampai berangkat, kan Mama harus berangkat kerja. Zaki baik-baik di sana ya, kan Bu Yulia baik" bisikku sambil mencium kedua pipinya."Iya Mah, assalamu'alaikum" sekali lagi zaki tampak yakin berpamitan pulang."wa'alaikum salam" akupun bergegas pulang.

Selama di kantor, aku selalu memikirkannya, sudah sampai dimana dirinya, sedang apa ya. Meski ada sedikit rasa cemas, namun bayangan-bayangan keceriaannya menghiasi alam pikiranku. Siangnya sekitar jam 2, aku menelpon Yani, namun ia tidak mengangkat meski telah beberapa kali kutelpon. Bu Yulipun demikian, mungkin mereka sedang sibuk mengurusi siswa-siswa. Beberapa menit kemudian kucoba menelpon kembali Bu Yuli.

"Hallo, assalamu'alaikum. Ini dengan siapa ya ?" tanyanya."Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh, ini Mamanya Zaki Bu, Zaki gimana Bu ?" "Oh, Zaki baik-baik aja Bu. Ini sedang berada di Bis hendak dalam perjalan pulang ke karawang""Alhamdulillah, Zaki menangis ga' ?" "Engga' Bu. Ibu mau bicara dengan Zaki ?""Oh, boleh."Karena suasana di dalam bus ramai sekali, aku dan zaki sama-sama tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan kami. Akhirnya aku sudahkan percakapan kami, sebab aku sudah mendengar suara anakku.

Zaki baru tiba di rumah jam 5.30 sore. Sesampainya di rumah, Zaki tampak sangat senang sekali. Ia lantas menceritakan petualangannya selama di sana. Ia bekerja sebagai polisi, pemadam kebakaran, melihat sulap. Katanya ia tidak sempat menjadi pekerja-pekerja lainnya dikarenakan sudah penuh."Ma, aku tadi sempat beli bolpoint untuk mama dan salwa, tapi hilang entah dimana. Maaf ya Ma." Zaki berusaha dengan polosnya. Subhanallah, ternyata Zaki masih mengingat kami di rumah. Mudah-mudahan sifat sayangnya selalu terjaga sepanjang masa. Amiin.

06 April 2009

Semoga Cita-citaku Dapat Terwujud

Aku hidup dari keluarga yang hidup berkecukupan, aku tak pernah berfoya-foya akan apa yang ayah berikan kepadaku. Ya, ayah selalu memberikan fasilitas-fasilitas untuk kami. Uang jajanpun diberikan lebih dari cukup. Bahkan aku dapat menyisakan sebagian dari uang sakuku yang terkumpul untuk diberikan kepada kaum dhuafa.


Hal itu aku lakukan setiap setiap tahun sekali, sebagai wujud rasa syukurku kala nilai-nilai raportku memuaskan. Kedua orang tuaku sama sekali tak mengetahui hal ini. Semuanya kulakukan demi berharap pahala semata

Kini aku telah duduk di bangku SMP kelas 3. Sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMU. Alhamdulillah di usiaku yang menginjak dewasa, pemikiranku semakin baik terarah. Rangkingpun selalu kudapat setiap pengambilan raport. mulai dari rangking 1 sampai 3 pernah aku rasakan. Di sekolah banyak guru-guru yang senang kepadaku karena nilai-nilai pelajaranku bagus-bagus.

Cita-citaku cuma satu, aku bisa mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Kurasa itulah yang bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Sedang SMK yang memberikan beasiswa ke luar negeri hanya beberapa saja. Untuk masuk ke SMK tersebut siswa harus berpredikat sangat baik. Untuk itulah aku semakin fokus belajar dan belajar agar nilai-nilaiku stabil di posisi terbaik

Meski aku telah memiliki kekasih, namun ia selalu memberi banyak motivasi yang baik. kami tak pernah melupakan pelajaran di sekolah. Kadang ia mengingatkan aku sudah sholat atau belum. Terkadang ia memberitauku apa yang aku tidak bisa dalam pelajaran tertentu. Kebetulan ia memang bintang di kelasnya, jadi kami memiliki kesamaan tujuan, ingin menjadi yang terbaik. Yang aku banggakan pada dirinya ialah ia tak pernah melakukan hal-hal terlarang selama waktu perjalanan kami bersama.

Sebentar lagi akan dilaksanakan UAN, aku minta ijin agar kami tidak bertemu dulu sebulan sebelum UAN hingga selesai UAN, baik secara SMS, telepon ataupun bertemu secara nyata. kekasihkupun ternyata meng-iya-kan kemauan ku. Meski didera perasaan rindu, aku tetap consisten agar menepati janji kami ini.Belajarpun kulakukan dengan sangat intens. Mengharap hasil yang memuaskan semoga kudapatkan.

Waktu pengambilan raportpun tiba, senyum Mamaku tampak mengembang setelah Mama mendapat panggilan untuk mengambil raportku. "Kamu juara satu, dan diterima di sekolah SMA 1" Mama mencoba meberitauku sambil berjalan menuju mobil untuk pulang bersamaku."Mah, beneran nih Mah ? Mama ga' bohong kan ?" karena senang, aku sampai tidak percaya akan berita ini."Iya beneran, Mama ga' bohong" Mamaku mencubit pipiku."Alhamdulillah" Ucapku lirih.


Semoga cita-citaku terwujud Ya Allah. Aku akan tetap bersemangat dalam belajar agar cita-citaku terwujud. Amiin.


Teganya Akang Berbuat Seperti itu Padaku

Kami bekerja di perusahaan yang sama. Di perusahaan inilah kami bertemu dan memadu kasih. Akhirnya kami menikah. Waktu itu karir suamiku sedang menanjak, namun apadaya ternyata takdir berkata lain. Kepala pimpinan kami terlibat hutang kepada Negara namun melarikan diri ke luar negeri. Perusahaan kamipun akhirnya gulung tikar. Aku dan suamiku diPHK.


Karena mendapat pesangon, kami membeli beberapa alat elektronik seperti televisi, kulkas, home teather. Kami serasa menikmati hidup, sebab saat itu serasa kami memliki semua yang kami butuhkan. Maklumlah, kami baru mendapat pesangon pasca PHK. Saat itu anak kami baru berusia 5 tahun.

Namun, ternyata pesangon itu akhirnya habis, dan mulailah masa di mana kami mengalami krisis. Ya, krisis keuangan. Aku baru menyadari mengapa dulu aku begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak urgent ? Kenapa uang terlalu gampang aku keluarkan tanpa memikirkan hari esok bagaimana ? Tapi apakah aku harus bermuram muka setiap hari hingga ajal menjeput aku ? Aku harus kuat, anakku masih kecil, ia butuh kasih sayang dan belaian dari aku, ibunya. kalau sampai aku tak berada di sisinya, mungkin akan memperburuk kisah-kisah selanjutnya dalam diri anakku. "Aku harus Kuat, Ya,... aku harus kuat" semangatku dalam hati.

Aku mencoba melamar kerja di perusahaan lain. Berbekal pengalaman kerjaku sebelumnya sebagai ADM, aku diterima kerja sebagai staff administrasi di Perusahaan yang bergerak di bidang pengajaran anak-anak WNA yang orang tuanya bekerja di Indonesia. Tiga bulan kemudian aku diangkat sebagai karyawan tetap. Kehidupan kami mulai tampak terobati dengan penghasilan tetap yang aku peroleh. Suamiku tetap di rumah. Ia selalu berusaha melamar pekerjaan. Namun tetap saja pekerjaan yang diterimanya tak pernah cocok denngan keinginannya. Suamiku ingin agar jabatan yang diterimanya tidak beda jauh saat ia di PHK di perusahaan sebelumnya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, anak kami yang kedua lahir, laki-laki. Biaya hidup kami mulai bertambah. Untunglah kami hidup berdekatan dengan kakak, jadi bila kami tak ada uang, kami bisa makan bersama kakak.


Suamiku tak pernah mau membantu pekerjaan - pekerjaan rumah. Sehari-hari ia hanya pergi mengadu nasib dalam rangka mencari pekerjaan. Bila aku pulang kerja, aku selalu disibukkan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti mencuci, menggosok dan menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Sebab kami tak punya pembantu sebagai wujud efisiensi biaya. Paginya aku sibuk memasak untuk sarapan dan makan siang keluargaku. Menyiapkan anak-anak untuk berangkat ke sekolah, mulai dari mandi, makan dan sampai mau berangkat ke sekolah. Semua kulakukan demi rasa sayangku pada anak-anak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku bahagia.

Kesabaranku semakin terkikis. Bertahun-tahun kami hidup seperti ini. Begitu pahit getir ini kurasakan. Hingga kini anakku yang sulung menginjak SMA kelas 2. Namun peristiwa yang tak akan pernah bisa kulupakan adalah saat kuketahui ternyata suamiku menikah secara diam-diam dengan seorang janda genit. Uangnyapun diperoleh dari pinjaman yang diberikan kakak iparnya dengan dalih untuk syarat diterima kerja yang baru diperolehnya. Padahal semuanya hanya bohong belaka. Kakakku merasa menyesal telah meminjamkan uangnya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Namun air mata itu tak pernah kutampakkan di depan wajah anak-anakku. Aku mencoba tegar, Namun tetap saja hati ini serasa tercabik-cabik. Sakit sekali rasanya. Mudahkah aku melupakan luka yang telah tergores di hatiku ? Aku baru ingat, kenapa seminggu ini suamiku sering pergi malam dan pulang saat shubuh. Ia hanya berpamitan ada proyek baru yang sedang dia dapatkan. Kenapa aku begitu mudah mempercayainya ? Oh Tuhan, dosakah aku bila aku merasa begitu jijik saat berhubungan dengannya ?

Setelah seminggu ia menikah, ternyata suamiku menceraikan istri barunya. Kucoba mempertahankan bahtera rumah tanggaku yang terkoyak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku tumbuh bahagia. Cuma ini keinginanku.