18 Juli 2019

Ma,....Maafkan Aku Ma

Ma,....Maafkan Aku Ma
Pelarianku ini benar-benar salah ! Aku terlena dalam buaian Reva, pacarku. Belakangan ini kedua orang tuaku selalu cek-cok, hingga terkadang suara-suara keras dari mulut mereka menyesakkan dadaku. Keadaan ini membuat aku benci sekali bila berada di rumah. Aku sering pergi ke tempat teman untuk menghindari pertengkaran mereka. Dan suatu ketika aku pergi ke rumah pacarku. Kebetulan sekali di rumah pacarku sedang tidak ada siapa-siapa, semua anggota keluarganya sedang pergi ke luar kota. Dan kejadian yang tak pernah akan luput dari ingatanku seumur hidupku pun terjadi. 


 
Di saat aku menghindari peliknya kehidupan keluargaku, pacarku mengambil kesempatan itu. Ada bulir-bulir air mataku setelah kejadian itu. Kami saling berpelukan tak kuasa akan apa yang terjadi begitu saja. Kamar yang bercat biru muda itu menjadi saksi akan apa yang telah kami lakukan berdua malam ini.


Keesokan harinya aku pulang. Rumah kami telah tampak hening, namun hatiku meraung-raung bagai gemuruh yang sedang bimbang akan apa yang telah terjadi bersama pacarku semalam di rumahnya. Aku menuju kamarku. Di sana aku coba berbaring di tempat tidurku. Menyesali apa yang telah terjadi. Sisa-sisa air mata ini tak pernah mau berhenti rupanya. Kuusap dengan selimut tebal bercorak pink muda kesukaanku. Tiba-tiba aku tertidur tanpa sadar dan terbangun kembali saat jam 10 pagi. "Jangan ada air mata lagi, Devi !" Dalam hatiku menyemangati diri sendiri. Aku berusaha menutup rapat-rapat dan melupakan semuanya itu.

Tiga bulan sudah berlalu. Tiba-tiba Mamaku bertanya kepadaku, "Devi, koq biasanya kamu minta dibelikan pembalut sama Mama, atau kamu beli sendiri ? Apa kamu ga' maulu beli sendiri ? kan biasanya kamu malu beli sendiri ?" Meski aku jadi grogi dengan pertanyaan itu, aku mencoba berkelit " Hm,......Devi beli sendiri koq Ma ." Mendengar jawabanku Mama hanya terdiam dan pergi begitu saja menuju ke belakang. Di kampus, pacarku tampak gusar, kali ini sepertinya ia tampak memberikan perhatian lebih padaku. Sambil memegang bahu kananku dia bertanya "Koq kamu pucat sekali ? kamu sakit ? Aku antar ya...ke dokter ?""Aku ,.....hm,...... aku,....." berat sekali rasanya aku ingin mengatakan hal ini."Ada apa Vi ? Ayo katakan !" matanya yang indah seolah menenangkan hatiku."Aku sudah telat 2 bulan " akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku."kamu hamil ?" tanyanya."Nanti malam aku mau check" kali ini pandanganku semakin tak karuan."Kalo memang kamu hamil, aku akan bertanggung jawab" janjinya.

Malam yang penuh bintang bertaburan mengiringi keresahanku. Aku mencoba test pack, alat untuk mengetahui apakah aku hamil atau tidak yang aku beli di apotik terdekat. garis merah pertama langsung menyala, tiba-tiba garis kedua berwarna pink muda, lambat laun garis itu menjadi merah meski tidak merah tua. Aku hamil ! Keresahanku menjadi kian menjadi. Air mataku kembali meleleh, tak kuasa juga kubendung sekuat jiwa. Ada rasakan penyesalan yang teramat dalam. Namun apa daya, semua telah terjadi, nasi sudah menjadi bubur ! Apapun tak bisa kurubah. Aku tak mau membunuh janin ini, aku masih memiliki hati yang takut akan dosa untuk kedua kali.

Keesokan harinya, hasratku ingin cepat-cepat bertemu oleh sang ayah dari janin yang sedang tumbuh di rahimku ini. Namun dirinya tak juga datang, Kucoba SMS, juga tak di-receive olehnya. Saat ku misscall malah yang ada jawaban dari operator 

"Nomor yang anda tuju belum terdaftar". "Sial !" batinku. 

Sampai bulan ketujuhpun, aku tak sempat berhasil menemui batang hidungnya. "benar-benar keterlaluan !" kesalku menyelimuti hati.

Tubuhku telah berbadan dua. Kini, aku benar-benar tak berani untuk menggunakan pakaian ketat. Hingga suatu ketika Mama tiba-tiba bertanya kepadaku "Vi, kali ini kamu harus jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya...""Ada apa Ma ?" aku pura-pura tak tahu."Kamu hamil ?" tanya Mama.Aku tak sanggup berbohong, Kupeluk Mama erat-erat sambil menangis "Iya Ma, Reva yang melakukannya, Tapi sampai kini aku belum menemukan Reva Ma.""Mama akan perjuangkan kamu Devi, Reva harus punya nyali " Meski Mama tampak membara, namun aku tahu sebenarnya Mama sangat kecewa.

Ternyata perjuangan mama hebat, hanya dengan waktu seminggu Reva berhasil ditemukan dan mau bertanggung jawab atas janin yang aku kandung ini. Setelah berunding dengan keluarga Reva, kami sepakat melangsungkan acara pernikahan tepat seminggu kemudian di rumahku.

"Kami nikahkan Devi Sari Artanti bin Abdul hamid dengan Reva Ahmad bin Jaka Kartama dengan maskawin sebuah emas seberat 20 gram dibayar tunai" Reva mengatakannya dengan tidak terbata-bata. Sang penghulupun mengatakan "Syah". Tepuk tangan para hadirin semua yang menghadiri acara pernikahanku ini diiringi dengan isak tangis penuh haru dari sebagian para undangan wanita. Terutama Mamaku, tangisnya begitu meledak, hingga aku turut serta menangis. Resepsi pernikahanku dirayakan dengan sederhana, mengingat kondisiku yang sudah berbadan dua. Kami hanya mengundang beberapa kerabat terdekat dengan beberapa kerabat dari keluarga aku dan keluarga Reva. Apalagi gaun pengantinku di modif sedemikian rupa sehingga cukup untuk perutku yang kian hari kian membuncit. Reva yang duduk bersanding denganku di pelaminan tampak dingin, sangat sedikit sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya. Namun, rupanya aku harus melupakan sejenak sikap Reva terhadapku, aku harus selalu tersenyum kepada setiap para undangan yang menyalamiku dengan ucapan 

"Selamat".

Pesta telah usai, malam itu kami terbaring di dalam satu ranjang bersama. Tapi, kenapa sikap Reva terasa aneh bagiku. Senyumnya tampak seperti dipaksakan, kata-katanya begitu sedikit sekali. Meski kamar pengantinku telah dihias sedemikian rupa menjadi kamar pengantin yang sangat indah dengan wangi bunga melati, semuanya menjadi semu belaka. Kucoba untuk memeluk dirinya yang tengah membelakangi diriku, namun entah dia hanya berpura-pura atau tidak, nyatanya dia telah tertidur.

Meski kami telah hidup seatap, kini aku tak melihat cinta di mata Reva. Kehidupan Reva hanya berkutat antara rumah dan kampus. Tidak sesekali Reva tampak pulang larut malam. Aku yang di rumah lelah menunggu hingga tertidur di meja makan bila Reva tak pulang-pulang ke rumah. Bahkan terkadang aku baru tersadar saat bangun ternyata Reva telah tidur di kamar kami.

Tepat di usia kandunganku sembilan bulan lebih 12 hari, aku melahirkan. Seorang bayi laki-laki yang tampan, putih dan bersih seperti ayahnya. Aku menghela nafas panjang tanda telah usai perjuanganku selama ini. Reva tampak dengan sabar menemaniku di saat-saat perjuanganku melawan maut itu. Tapi, lagi-lagi senyumnya padaku tampak seperti dipaksakan.Namun hingga bayi kami lahir, tak ada senyum di diri Reva suamiku. Aku semakin bingung dibuatnya. Bayang-bayang kemesraan yang dulu pernah ia lakukan untukku rupanya cuma jadi kenangan-kenangan manis yang indah bagiku untuk dirindukan. Senyumnya yang dulu, kini tak pernah kulihat lagi. Sentuhan-sentuhan mesra dahulu pun juga tak pernah ada. Sorot matanya begitu dingin, bahkan ia nyaris tak pernah mau menatapku lagi. Betapa aku ingin kembali ke masa dulu lagi, harapku.

Tepat sebulan kemudian, setelah bayi kami lahir, Reva mengajakku berpisah. Bagai halilintar datang di siang hari, Aku benar-benar terkejut sekali. Mimpi buruk apa yang aku alami ? Kenapa Reva bisa setega itu meninggalkan aku ? Aku hanya terdiam dan pergi menuju kamar. Kembali lagi air mataku meleleh. Saat itu yang aku khawatirkan, bagaimana aku meneruskan perjalanan hidup bersama anakku kelak ?

Setiap malam tak pernah luput kutumpahkan do'a kepada Sang Ilahi. Aku hanya mampu menagisi barisan kisah hidupku di sepanjang malam-malamku. Aku benar-benar berada di dalam dilema, sebab Reva sedang menunggu jawabanku. Akhirnya kusudahkan semuanya. Semua kebohongan Reva yang mau menikahiku sampai bayinya lahir. Dengan sepucuk surat aku pergi meninggalkan rumah, pergi bersama dengan bayi kami menuju rumah orang tuaku.

Di rumah, saat kedatanganku, ibuku berlari menuju diriku sambil berurai air mata seraya ia mengetahui akan kepulanganku yang tanpa Reva. "Mama, maafkan aku Ma !" ucapku lirih sambil mencium tangan Mamaku. Aku hnya bisa pasrah menghadapi ini semua. Bagiku, meski begitu berat melepas sang kekasih hati, buat apa cinta bila harus dipaksakan.