03 Agustus 2019

Akhir Yang Indah

Akhir Yang Indah - cerpen cinta
Tak bisa dibayangkan jika saat ini aku bisa hidup bergelimang cinta. Suamiku benar-benar menyayangiku. Meski kerikil-kerikil itu hadir beberapa saat menyambangi kehidupan kami, namun bahtera yang kami jalani terus berlalu mengikuti arah angin yang seolah bersatu dengan kami.
 



 
Kami dipertemukan dalam sebuah kontak jodoh di sebuah koran. Kala itu aku tidak menginginkan pacaran, ku pasang iklan "kalo mau denganku langsung menikah tanpa ada pacaran". Rupanya ada salah seorang yang tertarik melihat iklan aku yang terpampang di kontak jodoh tersebut dan menginginkan utuk copy darat. Biro jodoh itu menghubungiku dan menanyakan padaku apakah aku bersedia untuk bertemu dengannya. Aku yang baru kali pertama menggunakan biro jodoh ini langsung menyetujuinya.

Esoknya Seorang laki-laki menelponku, aku begitu tertegun dengan suaranya yang dalam, sopan dan cukup berhati-hati. Ia katakan bahwa ia tertarik padaku, karena kami saling memiliki visi yang sama, ingin segera menikah ! Ia ingin menemui aku di sebuah mall di daerah Kelapa gading. Ia juga menyarankan agar kami sama-sama menggunakan kaos T-shirt berwarna biru tua untuk memudahkan mengenali kami masing-masing saat bertemu nanti.

Sore yang cerah mengawali keberangkatanku ke sebuah mall yang telah kami janjikan bersama. Kupandangi Awan di langit sambil kucoba rasakan hembusan angin yang sejuk di saat sore yang indah bagiku. Aku begitu berharap pertemuan nanti membawa hasil yang membahagiakan aku. Begitu banyak deretan kisah cintaku yang berbuah kegagalan. Saat bersama Fadil, aku mengira hubunganku dengannya berakhir pada pernikahan yang indah. Namun nyatanya, ia melanjutkan sekolah ke Australia untuk waktu yang tak menentu. Pun dengan Daffa, ia ternyata lebih memilih seorang wanita pilihan orang tuanya. Begitu juga dengan Rifki, yang tiba-tiba saja pamit karena mendapat tugas di daerah Papua. "Aku punya hak untuk bahagia" batinku mencoba menyemangati diri.

Tepat setelah aku memasuki rumah makan di sebuah mall, tiba-tiba saja ada seseorang laki-laki berkulit putih, dengan sorot matanya yang sejuk menghampiriku.

"Kamu Alya ya ?" sapanya kepadaku sambil menunjukkan jari telunjuknya kepadaku.
"Iya,.... kamu ?..... kamu ?" rasanya aku gugup sekali untuk mengucapkan namanya.
"Iya aku Ahmad. Ahmad yang ingin bertemu dengan Alya" jelas sekali kata-katanya, seolah ia seorang yang mahir membuat kata-kata agar yang mendengarnya tertarik padanya.
Kami saling bersalaman dan cepat-cepat untuk mengambil salah satu kursi untuk kami duduki. Untuk sementara aku tertegun, diam tanpa ada kata-kata. Dari pandangan pertama aku mengagumi dirinya. "Ah, Ahmad, aku begitu terpesona pada dirimu. Dirimu ternyata melebihi dari laki-laki apa yang aku inginkan" gumanku dalam hati. Aku jadi malu dengan diriku sendiri.

Pertemuan kami benar-benar membuat jantungku berdegub kencang. Tiba-tiba saja aku tidak mudah bergerak, gerakanku menjadi kaku. Mungkin ia mengetahui aku yang kelihatan canggung. Dialah yang mengubah pertemuan yang awalnya dingin menjadi seru. Bagaimana tidak ? Dia malah mengajakku bergurau layaknya kepada seorang sahabat yang baru bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu.

Layaknya seorang putri, pulangnya aku diantar olehnya dengan sebuah Suzuki Baleno berwarna biru tua. Selama diperjalanan lagi-lagi ia yang pertama kali mengajakku berbicara. Kata-katanya lembut dan sopan. 

Tatapannya yang teduh membuat aku tertunduk sekian menit bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku pantas dengannya ?"

Karena rumahku berada di gang dimana hanya kendaraan beroda dua saja yang bisa melewati rumahku, jadilah ia mengantarku sampai di depan gang. Tadinya ia bersikeras ingin berkunjung ke rumah, namun aku melarangnya. Aku tak ingin kedua orang tuaku dikecewakan lagi. "Kalau kak Ahmad mau ke rumah, saat melamar aku !" pintaku dengan senyum yang mengembang.

Benar saja, setelah pertemuan itu, ia langsung berencana menikahiku. Jalan kami begitu mulus, kedua orang tua kami merestui kami. Benar-benar rizki Tuhan yang Maha Kuasa.

Dua puluh tahun telah berlalu, dan kini, di sebuah rumah sakit bersalin, suamiku sambil memeluk bahuku dan menggenggam erat tanganku, kami saling berharap-harap cemas menantikan kelahiran cucu pertama kami. "Aku telah jadi kakek, Ma" sambil menggendong bayi laki-laki yang baru lahir itu dengan bangganya ia mengatakannya padaku. Aku memeluk suamiku, tak kuasa diriku menahan tangis, sebuah tangis kebahagiaan kami !

Empat puluh tujuh tahun Kini usiaku. Suamiku tetap setia mendampingiku. Dengan Keempat buah cinta kami, kurasakan kami benar-benar hidup dalam kehangatan cinta. Bayang-bayang masa lalu yang kelabu tak akan pernah ingin kubuka kembali lembaran itu.