22 April 2018

Kerinduanku di Tanah Papua

Di tanah papua yang hijau ini, aku menginjakkan kaki tuk pertama kali. Bukan sebuah kota yang lengkap, tapi sebuah daerah yang masih belum terjangkau oleh dunia. Bekerja dalam rangka mencari nafkah tuk menghidupi keluargaku nun jauh di tanah jawa. Saat aku di sini selalu saja ruang batinku terlukis indah senyuman istri dan ketiga anakku yang mana Si sulung sedang beranjak kelas 1 SD, sedang Si bungsu Nayla, perempuan satu-satunya yang hadir dari penantian kedua kakaknya yang laki-laki baru berusia 1 tahun.



Hari-hari pertama aku di sini, begitu sangat sulitnya menepis kerinduan pada keluargaku. Meski aku bekerja di salah satu pabrik yang memiliki cukup banyak karyawan, namun keramaian di sini tak mampu meramaikan hatiku yang selalu teringat akan keluargaku. Sedang aku di sini hanya mampu melihat beberapa lembar foto yang sempat kubawa sebelum berangkat ke Papua ini.

Semua ini kulakukan demi permintaan istriku. Istriku yang pencemburu, tak pernah percaya pada diriku. Ia menduga aku telah 'afair' dengan rekan kerjaku sewaktu aku bekerja sebelum di Papua ini. Padahal waktu itu, kami bisa berkumpul bersama setiap hari. Sepulang kerja, begitu melihat riang dan lucunya anak-anakku menjemputku dengan penuh semangat melebur letih yang tersisa dalam tubuhku.

Berawal dari sebuah SMS dari rekan kerjaku yang menanyakan kabar tentangku membuat istriku bermuram durja padaku. Aku bahkan sempat tiga hari tak pernah diajak bicara padanya. Terkadang hanya air mata saja yang ditampakkannya. Air matanyalah yang menjadi senjata pamungkasnya, sebab aku paling tidak bisa melihat air mata. Aku tertunduk lesu, berharap ia memaafkanku. Tapi, istriku tetap berkeras. Ia tak juga mau memberi pintu maaf itu.

Suatu hari di kala anak-anak tertidur pulas, istriku tiba-tiba menghampiriku. Ia meminta agar aku bisa menerima tawaran teman istriku untuk bisa bekerja di Papua. Istriku bilang, kalau kami berjauhan, mungkin akan memperbaiki hubungan kami. Aku dilanda kegalauan yang teramat sangat. Pada akhirnya aku menyetujui permintaan istriku ini. Berat, tapi inilah keputusan yang akan aku jalani.

Di Papua ini, aku bagaikan seseorang diri yang dipenuhi derita penuh asa, berharap waktu cepat sampai di penghujung hari dimana aku kembali ke tanah jawa mengunjungi keluargaku yang sangat kucintai. Ya... 6 bulan sekali aku baru bisa melihat istri dan anak-anakku. Enam bulan bukan waktu yang sebentar bagiku.