Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ? Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa

Cinta di Ujung Jari

Aku mengenal Doddy berawal melalui sebuah situs perkenalan Facebook, sebuah situs perkenalan di dunia maya yang sedang booming..

Sebuah Cinta Semu

Jam tiga dini hari aku dikejutkan oleh sebuah SMS misterius."Jangan rebut Riza ya ! Riza itu pacar aku, ngerti !"

Bimbang tiada bertepi

Sudah enam bulan ini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Selama itu pula kuselami penyesalan yang tiada pernah berakhir.

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

"Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku

18 Mei 2009

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku. Penyesalan yang berakhir tragis dalam kematian.

Dahulu, di kampungku, ada seorang dokter yang berhati sangat mulia. Beliau adalah sosok yang rendah hati, karena tumbuh dan dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah yang harus membanting tulang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya. Di perjalanan hidupnya, ia tertarik dengan seorang gadis anak Bupati, namun gadis tersebut menginginkan syarat, Ia ingin suaminya adalah seorang dokter, bila tidak pupuslah harapannya untuk bisa bersanding dengannya. Karena teramat cintanya kepada gadis tersebut, dengan gigihnya dirinya mampu menjadi seorang dokter. Akhirnya menikahlah ia dengan gadis sang pujaan hati.

Di tengah menjalani kehidupan mahligai rumah tangganya, ia tak pernah meminta bayaran sedikitpun kepada kaum dhuafa, pun kepada tetangga dekatnya juga demikian. Setiap hari ia melayani pasien yang jumlahnya tidak sedikit. Meski pasiennya banyak yang gratis, ia tak pernah membeda-bedakan mana pasien yang tidak membayar dan mana pasien yang membayar. Ia menjadi sosok yang amat dicintai dan disayangi di kampungku itu. Karena kebaikannya itulah hingga kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di daerah tersebut, sebagai bentuk untuk mengenang jasa-jasa semasa hidupnya.

Sang Dokter memiliki beberapa orang pembantu untuk mengurusi rumahnya, untuk membersihkan rumahnya, mencuci pakaian, atau memasak dan aneka pekerjaan rumah lainnya. Suamiku dulu adalah salah seorang pembantu di rumah sang dokter itu. Begitu perhatiannya Sang Dokter yang mau menyekolahkan semua pembantunya. Padahal di jaman sekarang ini sangatlah jarang pembantu yang mendapat perlakuan khusus seperti itu. Meski demikian, Sang Dokter seakan tak pernah peduli akan apa yang telah dikerjakan oleh suamiku, pun suamiku lebih banyak menghabisi makanan yang ada di kulkasnya ketimbang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya. Suamiku agak pemalas, mungkin karena merasa pekerjaannya bisa dikerjakan oleh pembantu yang lainnya.

Suatu ketika sekotak perhiasan emas milik istri Pak dokter raib entah tidak diketahui keberadaannya. Begitu cemasnya, ia merasa kotak perhiasan emasnya itu adalah satu-satunya benda yang paling berharga. Akhirnya, ia melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. "Lebih baik diserahkan kepada yang berwajib daripada mengira-ngira siapa pelakunya" begitulah istri pak dokter berharap cemas. Lalu selang beberapa jam kemudian datang petugas polisi ke rumah tersebut. Polisi tersebut membawa para pembantu ke kantor polisi untuk segera diintrogasi. Pun termasuk suamiku.

Namun, Belum 24 jam, Istri Pak Dokter telah mengetahui sang pelaku, yang mengambilnya adalah adiknya sendiri yang kala itu berkunjung ke rumahnya. Buru-buru ia menelpon kembali ke kantor polisi. Ia meminta maaf kepada seluruh pembantunya satu persatu.
"Saya minta maaf, semua itu adalah prosedur dari kepolisian" mencoba menjelaskannya. Satu demi satu semua pembantu memaafkannya. Dan pada saat giliran meminta maaf pada suamiku, mata suamiku terbelalak tajam seperti akan menerkam seekor mangsa.
"sampeyan ga' pantes minta maaf, aku tidak sudi memaafkan sampeyan" kata-katanya keras tidak seperti biasanya. Bahkan yang lebih dasyat lagi ia sampai menendang istri sang dokter itu hingga bu dokter sempat mundur beberapa langkah namun mampu berdiri kembali. Tangan istri pak dokter dilepas jauh-jauh dari gengamannya seakan-akan tangan yang ada di depannya itu tangan yang penuh oleh kotoran najis. Sontak peristiwa itu membuat kaget semua mata. Suasana yang awalnya haru biru, kini berubah menjadi sebuah ketegangan. Bagaimana tidak ? Baru kali ini ada seorang pembantu yang dengan angkuhnya berani menendang majikannya. Sambil menunduk dengan muka penuh amarah suamiku pergi menuju kamar pembanringannya di rumah dokter itu. Mungkin suamiku benar-benar marah, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, karena telah dituduh sebagai pencuri. Namun anehnya, tak ada kemarahan dari istri sang dokter. Wajahnya yang berkulit kuning langsat, bersih dan ayu seakan sepadan dengan ketulusannya menerima perlakuan dari pembantu, suamiku yang tak pernah tau berterima kasih itu. Ia benar-benar memakluminya.
Pasca kejadian itu, suamiku masih bekerja di rumahnya seperti biasa dan masih bersekolah dengan biaya Pak Dokter pula. Kehidupan berjalan seperti biasanya.

Suatu hari, suamiku sakit. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, hingga ia tak mampu lagi melakukan apa-apa. Suamiku pamit untuk pulang ke kampung halamannya.
"Kamu ndak usah pulang ke kampung, biar di sini saja, nanti tak panggilkan mantri untuk mengurusimu, mengenai istrimu, biar kalau dia mau, juga tinggal di sini bersamamu." dengan raut wajah penuh keikhlasan, Pak Dokter mencoba menawarkan untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Iya, Pak Dokter benar ", istri Pak Dokter menimpali.
"Istri saya minta saya pulang aja Pak.....Bu......" suamiku tetap pada pendiriannya.

Ia akhirnya harus meninggalkan rumah sang dokter, kembali bersama keluarga namun dalam keadaan sudah tak mampu melakukan aktifitas apapun. Sejak kedatangannya ke kampung halamannya, Sang Dokter yang berjiwa besar itu mengutus seorang mantri sebagai perawat untuk mengurusi suamiku. Sakit lepra yang diderita suamiku seakan sedang menyiksanya. Begitu teramat parahnya, hingga salah satu kaki suamiku akhirnya harus mau untuk diamputasi. Ada banyak tangis di saat prosesi amputasi kaki suamiku. Terlebih aku, hingga aku terjatuh tak ingat apa-apa lagi, rupanya aku pingsan beberapa jam. Suamiku berteriak histeri saat melihat kakinya telah hilang.

"Pak, istighfar Pak" aku berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya. Namun suamiku tetap saja masih belum mau menerima kenyataan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri dalam beberapa jam. Aku hanya mampu menangis di atas tubuhnya yang diam terbujur di ranjang kasur rumah sakit.

Hingga datanglah hari berkabut, hari dimana duka menyelimuti kami, suamiku pergi untuk selamanya. Menunggu babak akhir dari lelah akan sakit yang telah mengeram lama dalam dirinya. Sempat ia meneteskan air mata.
"Mbok'e, aku ndak punya malu...... aku memang salah " dia bertutur kepadaku dengan wajah yang iba.
"Pak, yang sabar, mintalah kepada Yang Kuasa", kucoba menenangkan hati suamiku. Namun tiba-tiba ia mengerang keras seperti ketakutan. Keras sekali, membuat kamar kami bergema karenanya. "Inna lillahi, wa inna illaihi rooji'un" , Segera kututup mata suamiku setelah mengetahui dirinya telah tiada.

Selang beberapa jam kemudian, Keluarga Pak Dokter datang melayat. Seketika datangnya Pak dokter dan istrinya, buru-buru aku mencium lutut ibu dokter itu.
"Pak....Bu..... Maafkan suami saya" pintaku kepada ibu dan pak Dokter dengan mata berkaca-kaca. Aku diselimuti oleh rasa malu tiada berperi, hingga pandanganku tak mampu lagi kuhadapkan kepadanya.

Pak Dokter menepuk bahuku, ia meminta aku untuk berdiri kembali.
"Saya dan ibu telah memaafkannya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkannya pula" Pak Dokter tampak sedih seakan benar-benar memaafkannya. Istri pak Dokter hanya mengangguk sambil memeluk tubuhku yang dingin, pertanda ia telah memaafkannya juga. Suamiku yang kini telah terbujur kaku, menunggu peradilan Tuhan yang kami tidak mengetahuinya.

13 Mei 2009

Kenangan Manis nan Indah

Dimalam yang sesunyi ini,....
aku sendiri... tiada yang menemani,...
akhirnya kini kusadari... dia telah pergi....
tinggalkan du...nia....


"Duh...Adakah semua kan terulang kisah cintaku yang seperti dulu...

uh, mengapa pengamen itu nyanyi-in lagu ini ?" gundahku seakan tak terima bila pengamen itu menyanyikan lagu milik Crisye. Di dalam bus kota yang sedang aku tumpangi ini, pengamen menyanyikannya dengan syahdu sekali. Pengamen bus kota memang semakin banyak saat ini, terkadang kemahirannya membawakan lagu lebih indah terdengar daripada sang artis yang asli itu sendiri. Hingga aku seakan terbang kembali ke masa laluku nan indah saat aku masih tengah bersamanya. Kenangan-kenangan itu begitu manis, meski yang pernah kudengar dari kebanyakan orang, katanya, kenangan manis "cuma ada di senetron saja". Justru karena itulah seakan tak mampu kulepas dan selalu melekat dalam sanubariku.

Untuk menuju gerbang pernikahan, kami hanya butuh waktu enam bulan untuk saling mengenal. Suamikulah pacar pertamaku, sedang suamiku telah beberapa kali didera kekecewaan yang begitu panjang oleh beberapa wanita. Hingga saat mengenalku, ia begitu tak ingin dikecewakan lagi. Orang tua kami masing-masing telah merestui hubungan kami, kamipun akhirnya menikah.

Setiap ucapan suamiku hingga akhir hayatnya, tak pernah ada kata-kata yang menyakitkan aku. Sekalipun aku berbuat kesalahan, dia bahkan malah mencium aku. "Mendapatkanmu adalah hadiah terindah dalam hidupku" begitu indah terucap dari bibir suamiku sambil menciumku penuh mesra kala aku membuat kesalahan. Aneh, tapi yang lebih aneh lagi aku menikmatinya. Aku cuma mampu tersenyum kecut karena merasa malu mengakui kesalahanku.

Hingga kedua benih cintanya lahir, ia tetap selalu menjadi seperti saat-saat pertama aku mengenalnya. Tak pernah ada yang berubah dari dirinya. Sehari-harinya ia tampak dingin, namun jauh sekali saat dekat denganku ia begitu hangat dan mesra. Kepada buah hati kamipun suamiku selalu berusaha untuk menyayanginya. Kadang, sepulang kerja, saat badan terbasuh keringat dan lelah, Nayla, putri bungsu kami mengajak Ayahnya jalan-jalan berkeliling kompleks perumahan kami. Suamiku tak pernah sekalipun menolak ajakannya. Pun dengan Daffa, Si Sulung kami, Suamikulah yang selalu mengajarkan hafalan surat demi surat Al-Qur'an dengan sabar dan penuh kasih sayang. Daffa selalu bersemangat bila menghafal Al-Qur'an, sebab ayahnya pernah bilang, "kalau kita hafal Al-qur'an, kelak di akhirat jalan kita akan diterangi." Tak heran saat Daffa naik ke kelas 2, ia telah hafal juz ke-30. "Sungguh itu adalah yang terindah buat ayah" Suamiku bangga sambil mencium pipi merah Si Daffa. Karena bangga itulah suamiku membelikan sepeda baru yang Daffa pilih sendiri.

Kejutan demi kejutan adalah hal yang selalu membuat aku menangis kala mengingatnya. Pernah suatu kali, ia mengajakku ke mall bersama anak-anak. Tapi nyatanya di sana aku malah dibelikan sebuah cincin emas, 4 gram, bermata merah yang sebelumnya memang pernah aku ingin-inginkan. katanya ini sebagai hadiah di hari pernikahan kita yang ke-10 th. Padahal, aku tidak ingat kalau hari itu adalah hari pernikahan kita. Kebahagiaan aku saat itu merupakan klimaks dari sebelumnya, hingga air mataku tak sanggup kutahan lagi. Suamiku sempat bingung, sebab ia tidak mau melihat air mataku, tetapi kebahagiaankulah yang dia inginkan. Aku hanya mampu mendekapnya, meski masih di depan si penjual cincin itu, aku tak memperdulikannya.

Suatu kali, saat ingin pergi mengunjungi saudara kami yag jauh, kami sudah berkemas hendak berangkat. kala itu, tas ku yang talinya hampir putus kubawa tanpa ada rasa malu. ku pikir, adalah lebih serakahnya aku bila aku membeli tas untuk diriku sendiri, padahal membeli keperluan anak-anak kami lebih utama. Namun, tiba-tiba saat ingin berangkat, suamiku menyodorkan sebuah bungkusan sambil berkata, "Pakai ini ya Ma, tas yang lama langsung dibuang aja yaa". Aku begitu tersentuh, sebab setelah kubuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah tas yang lagi nge-trend saat itu. Tas berwarna hijau tua dengan tali berwarna coklat, tepat sekali dengan seleraku. Aku benar-benar menyukainya. Ciuman hangat dariku tiba-tiba saja meluncur dipipi suamiku sebagai wujud terima kasihku padanya. "Ih Mama pacaran lagi dech sama Ayah " Nayla yang dengan polosnya mengatakan itu merengek minta dicium juga oleh kami, karena mereka tau aku mencium ayahnya.

Namun, nyatanya, Tuhan menitipkan suamiku hanya sesaat, kebahagiaan itu tak sempat kureguk untuk waktu yang lama. Kanker paru-paru rupanya telah mengerogoti dan bertahan tanpa ampun di dalam diri suamiku. Diam-diam suamiku tak pernah mengeluh akan sakit yang dideritanya. Aku hanya mendengar suamiku terkadang sering batuk-batuk. Aku mengira batuknya cuma batuk biasa, waktu itu bila suamiku sedang batuk, aku segera memberinya obat batuk yang dijual di toko obat dekat rumah. Hingga kami terlambat mengetahuinya secara dini. "Sudah Stadium 3", kata sang Dokter spesialis paru. Segala upaya telah kami jalankan, mulai dari berobat ke dokter hingga melakukan aneka terapi. Namun hasilnya selalu membuat kening berkerut.

Di tengah segala usahaku berjuang melawan penyakit suamiku, tak pernah aku memperlihatkan keputus asa-anku sedikitpun. Aku ingin bisa bersamanya kembali. Merajut cinta sambil membesarkan anak-anak kami. Namun Tuhanlah yang berkehendak akan drama yang terjadi pada setiap insan di dunia ini. Hingga di saat-saat terakhirnya, ia meminta menciumku dan berkata, " jaga anak kita, apakah kau akan menikah lagi ? " Belum sempat kujawab pertanyaannya itu, suamiku menutup mata untuk selama-lamanya sambil bersyahadat. Anehnya Ia tampak tertidur dengan senyum yang paling indah dari senyum-senyum sebelumnya.

"Aku ingin bertemu kembali denganmu di syurga, suamiku" ucapku lirih. Air mataku tak sempat lagi kubendung. Aku dan anak-anakku saling berpelukan. Aku harus tegar untuk bisa hidup membesarkan kedua buah hati kami yang telah Tuhan titipkan padaku. Semoga.

06 Mei 2009

Kepergiannya

Sungguh, aku begitu terkejut ketika aku mendapat kabar bahwa budeku meninggal.
Akupun berkemas untuk menghadirinya bersama kakakku. karena jika aku berangkat sendiri, aku ga' akan bisa.


Aku selalu bersama kerabatku jika mengunjungi budeku itu. Ya... rumah budeku di Demak.

"Sa, Mas ga' bisa bareng kamu. Mas udah di bis Nusantara. Kalo bareng kamu, takut kami ga' bisa melihat untuk saat terakhir" kata kakakku dalam teleponnya.

Seketika itu aku langsung lemah lunglai. Pupus sudah harapanku untuk dapat menghadiri pemakaman budeku. kakakku yang tinggal di Jakarta tidak bisa menunggu aku yang tinggal di karawang. Aku harus berbesar hati, merekapun juga ingin melihat saat-saat terakhir budeku.

Dalam bulir-bulir air mataku, tergelar indah masa lalu saat budeku masih ada. Kata Ayahku, bude-lah yang menyarankan ibuku untuk tidak menggugurkan bayinya saat mengandung aku. Dokter saat itu mengatakan terlalu riskan bagi ibuku untuk hamil di usia di atas 40 tahun. Katanya bude bilang " Siapa tau bayinya perempuan". mengingat ketika kakakku semua laki-laki. Pun akhirnya, lahirlah aku sebagai anak perempuan yang ditunggu-tunggu itu.

Pernah suatu kali saat liburan sekolah, aku pulang kampung sendirian. Berbekal pesan Bapakku yang aku tulis dalam sebuah kertas, aku mengunjungi budeku sendiri. Di sana aku menginap selama hampir 2 minggu. Begitu lahapnya aku makan dengan kering tempe manis buatan budeku itu, sampai-sampai aku nambah 3 kali.

Budeku sering mengunjungi kami. Saat aku menikah dan saat melahirkan bayi pertamaku. Budeku selalu berkunjung ke rumahku. Betapa bangganya ia saat melihat bayi pertamaku, laki-laki yang memiliki kulit putih bersih, hingga di kampungnya, budeku bangga dan menceritakan bahwa bayiku persis orang bule, karena suamiku orang sunda yang kulitnya kebetulan putih bersih.

Bude pernah berpesan, "Jagalah suamimu, berbahagialah kamu mendapatkan suami yang mengerti agama."

Kepergiannya begitu cepat, siapa sangka orang yang sesehat dia tiba-tiba pergi untuk selamanya.

Begitu teganya aku, jarang sekali mengunjunginya. Setelah menikah, aku jadi tidak bisa kemana-mana, apalagi berpergian jarak jauh. Hingga kabar tentang kepergiannya begitu mengejutkan aku. Dan yang lebih membuat aku terbebani rasa berdosa adalah aku tidak bisa mengunjunginya di saat-saat terakhirnya.

Dalam do'a-do'aku kupanjatkan "semoga budeku mendapat tempat yang sebaik-baiknya."

02 Mei 2009

Sebuah Karma

Karma adalah sesuatu yang diperoleh karena tindakannya sendiri di masa lampau. Oleh karenanya Karma juga disebut KARena ulah MAnusia.


Kadang begitu banyak kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan menimpa kita, namun kita tidak menyadari penyebabnya ada pada diri kita sendiri.

Suatu ketika, aku pernah memukuli pantat anakku berkali-kali, karena dia menyakiti hati pembantuku. Aku benar-benar tidak mau terlalu memanjakan kepada anak. Kata yang tepat mungkin tarik ulur. Ada saatnya kita bisa memanjakan anak. Namun dalam hal sopan santun aku benar-benar disiplin. Meski aku hanya berani memukul bagian tubuh anakku hanya di pantat, tapi pukulannya cukup keras. Semuanya berharap agar anakku tidak mengulanginya lagi. Beberapa bulan kemudian, Ayahku bercerita tentang masa kecilnya. Ia pernah ikut dengan pamannya. Pamannya pernah memukuli pantat anaknya, karena anaknya marah pada ayahku. Sepedanya kotor karena dipakai oleh ayahku untuk nonton layar tancap di desa itu. Pamannya merasa anakknya harus diberi pelajaran, dan merasa ayahku tidak bersalah. Percaya tidak percaya, kejadiannya hampir mirip seperti terulang kembali.

Pernah temankku curhat padaku, dia menceritakan kisah hidupnya padaku. Ia ditinggal ibunya untuk selamanya ketika ia baru kelas lima SD. Padahal saat itu ibunya benar-benar sangat memanjakannya sekali. Setelah sepeninggal ibunya, ayahnya menikah lagi. Ayahnya berharap istri barunya akan menyayangi anak-anaknya. Lain ladang lain belalang, harapan ayahnya hanya menjadi angan-angan belaka. Baru beberapa bulan menjadi ibu tiri, ia tega mengusir temanku yang masih muda belia itu. Temanku hidup terlunta-lunta. berpindah-pindah untuk bisa meneruskan hidup. Kadang di beberapa kakaknya, kadang juga di tempat pamannya. Rupanya Allah memberikan pengganti lembaran lembaran dukanya yang dahulu. Kehidupannya berubah setelah ia telah bekerja dan menikah. Kini temanku telah memiliki rumah sendiri. Sedang ibu tirinya, mempunyai menantu yang berlatar belakang sama dengan temanku. Persis sekali. Menantunya juga seorang piatu yang tidak memiliki hubungan baik dengan ibu tirinya.

Ada lagi kisah mengenaskan terjadi, entah itu ada kaitannya dari perbuatannya atau tidak, hanya Allahlah yang tau. Aku diberi kabar oleh Rima, temanku di kota yang berbeda denganku. Rupanya temanku Rifa dikabarkan telah menghamili seorang janda, yang satu perusahaan dengan Rima. Tentu saja Rima merasa kecewa akan perbuatan si Rifa. Si Janda itupun sangat terpukul sekali telah ditinggalkan begitu saja oleh Rifa dalam keadaan hamil tua. Rifa akhirnya menikah dengan teman kecilnya di daerah asalnya. Si Janda sempat berkata, "Aku di sini sedang susah payah melahirkan dan mengurus anakku, sedang Rifa sedang asik bersama istri barunya". Telah setahun Rifa menikah, namun sampai saat ini belum dikaruniai sang buah hati. Tiap dinyatakan hamil baru usia 6 minggu, istrinya keguguran. Entahlah, apakah ada kaitannya atau tidak.

Kemungkinan begitu banyak kisah-kisah lainnya yang begitu menyayat hati. Bersyukurlah bila sesudahnya ia mendapat hidayah. Ia terus memohon ampun kepada Allah swt dan tidak mengulanginya lagi. Namun tatkala keangkuhan menyelimuti hati, tak akan pernah ada penyesalan. Sungguh merugilah orang tersebut. Allah swat akan memberi balasan atas segala perbuatannya walaupun hanya sebesar biji zarroh.