Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ? Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa

Cinta di Ujung Jari

Aku mengenal Doddy berawal melalui sebuah situs perkenalan Facebook, sebuah situs perkenalan di dunia maya yang sedang booming..

Sebuah Cinta Semu

Jam tiga dini hari aku dikejutkan oleh sebuah SMS misterius."Jangan rebut Riza ya ! Riza itu pacar aku, ngerti !"

Bimbang tiada bertepi

Sudah enam bulan ini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Selama itu pula kuselami penyesalan yang tiada pernah berakhir.

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

"Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku

29 Juli 2009

Seharusnya Aku Tau

Kumpulan CerpenKumpulan Cerpen Siti Arofah . Suamiku menikah lagi ! Kejadian ini benar-benar membuat aku sangat terpukul. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku. Aku begitu sangat mencintainya ! Aku tak rela bila cinta suamiku harus terbagi dengan wanita lain. Aku tak kuasa menghadapi ini semua, hingga beberapa hari setelah kuketahui suamiku menikah lagi, aku sering terjatuh pingsan. Suamiku tak pernah tau akan keadaanku ini mengingat ia tak sering lagi berada di rumah.Dengan awal kekuatan cinta kami, seharusnya suamiku tak setega itu padaku.



Aku yang kala itu diperebutkan oleh beberapa teman laki-laki, hanya suamikulah yang aku pilih. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, aku memilihnya karena ia adalah laki-laki yang tangguh, yang mau menyekolahkan adik-adiknya hingga ke jenjang yang tinggi. Kata-katanya yang lembut seolah menyakinkan aku bahwa dialah yang pantas menjadi ayah dari anak-anakku. Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya, sebab kedua orang tuanya tinggal bersama kami sampai akhir hayatnya. Pun dengan keluargaku, dia tak pernah pilih kasih, kasih sayangnya ia ulurkan dalam berbagai bentuk, entah dalam bentuk materi atau sikap perhatiannya.Seandainya aku tau akan gurauannya waktu itu, mungkin akan aku jawab dengan tegas kalau aku benar-benar menentangnya. Manusiawi bila hampir semua wanita pasti tak ingin diduakan. "Dinda, kalau abang menikah lagi bagaimana ? " kata-katanya disertai dengan sorot matanya yang tampak seperti menyandai diriku. Mesti sejujurnya aku tak rela bila suamiku menikah lagi, tanpa banyak pikir kukatakan "Ya .....menikah aja sana, asal Abang ingat aku dan anak-anak !" . Mendengar jawaban itu, suamiku mencubit pipiku tanpa kata-kata. Di kamar pembaringan dengan sebuah lampu kecil, kami seperti biasa tertawa seolah seperti pengantin baru.

Belakangan ini memang suamiku sering beberapa hari tak pulang ke rumah. Kadang tiga hari atau bahkan seminggu ia tak berada di rumah. Kupikir ia sibuk dengan mengelola bisnis barunya yang sedang digelutinya. Aku sama sekali tak merasakan keanehan itu. Toh nyatanya bila ia datang ke rumah ia masih menafkahi bathinku. Masalah keuangan juga sepertinya no problem bagiku, tak pernah kurang dari yang diberikannya untukku. Pun kepada anak-anak kami, nyaris tak berbeda sekali, seakan ia adalah aktor terbaik di balik kejadian itu. Kabar ini awalnya kudengar dari sahabatku sendiri.

Mulanya aku tak mempercayainya. "Apa suamiku setega itu mau berbagi cinta dengan yang lain selain diriku ?" kata-kata ini yang membuat aku tak percaya akan berita ini. Sahabatku hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali karena aku sama sekali tak menggubris kata-katanya. Belum lagi ada tiga orang anak hasil cinta kami berdua yang masih harus butuh perhatian dari ayahnya. Rendahnya kesetiaan suamiku sama sekali tak terlintas dalam benakku.

Hari-hari awal setelah kuketahui suamiku menikah lagi, sikapku terasa hambar untuknya. Jangankan kepada suamiku, untuk diriku sediri saja aku sampai tak mau makan. Dunia seakan berhenti, tulang-tulangku serasa melunak, membuat aku merasa tak mampu untuk meneruskan hidup. Aku bahkan nyaris tak mau bercinta dengannya lagi. Aku merasa jijik, sebab ada bekas wanita lain yang telah merebut hati suamiku. Tapi mungkin karena aku telah pernah merasakan kenikmatan itu, akhirnya aku luluh juga dipelukannya.

Itupun kulakukan dengan rentan waktu yang cukup begitu lama. Bila suamiku sedang tak ada di rumah, kerinduan ini begitu dalam, merobek setiap pembuluh darah hingga ke jantungku. Aku dilanda oleh perasaan hampa, seperti wanita kesepian yang haus akan kasih sayang suaminya. Hanya air mata yang dengan setia menemani malam-malam kesendirianku. Tangisku sering tak dapat kubendung, saat aku teringat bagaimana suamiku bercinta dengan istri keduanya itu. "Kenapa Abang tega ?" berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri. Aku benar-benar dilanda oleh perasaan cemburu yang teramat sangat. Bila aku telah bosan menangis, Kutumpahkan semuanya dalam doa kepada Sang Illahi, "Tuhan, ...... tolong kuatkan aku !"Sahabatkulah yang selalu memberikan dorongan dan semangat hidup untukku. Ia tak pernah absen untuk mengetahui keadaanku. Beginilah gunanya memiliki sahabat, tertawa bersama dikala senang, dan mau peduli di saat sahabatnya susah. Akhirnya aku mencoba kesibukan baru, berjualan nasi uduk di depan rumahku. Karena di rumahku belum ada kedai nasi uduk, Cukup lumayan juga para pengunjung yang datang di hari pertama saat aku membuka kedaiku ini. Kesibukan baruku ini rasanya mampu melupakan sejenak akan kesedihanku.

Aku tak tau apa yang akan terjadi esok, andai saja suamiku jujur mengatakan pernikahannya itu padaku. Sampai saat ini suamiku masih menyimpan sandiwaranya itu. Apakah aku akan meninggalkannya ? Atau aku akan memilih untuk masih bersamanya meski mungkin dengan bulir-bulir air mata.

23 Juli 2009

Anakku, Kamu Terpaksa Ibu Bawa

kumpulan cerpen
Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. "Anakku, Maafkan Ibu Nak ! Kamu terpaksa ibu bawa, demi untuk sesuap nasi." Ibumu hanya mampu sebagai pengamen bus kota. Mengais rizki dari belas kasih para penumpang bus. Sebab bila anakku dititipkan tentunya akan menambah biaya bagi kami. Sering kamu menangis karena tak kuat menahan terik matahari yang begitu panas. Air mataku sering jatuh berderai di pipi anakku seraya tak kuasa menahan iba untuk dirimu yang selalu dalam gendonganku. Di usia anakku yang 8 bulan, rasanya sangat kasihan sekali bila ia harus selalu ikut denganku, mengingat di usianya seharusnya asyik bermain kesana kemari, berexplorasi dalam masa pertumbuhannya, entah itu ingin berusaha bisa berdiri atau berguling-guling kesana kemari dengan tawa yang menggemaskan. Namun sejatinya kamu menangis meronta-ronta dalam gendongan ibu. "Ibu tahu kamu protes, anakku. Tapi harus bagaimana lagi ?" pertanyaan ini tak pernah mampu kujawab.

Bila hari sedang panas, kami kepanasan, seolah-olah teriknya matahari melelehkan isi kepala kami. Debu yang menempel pada tubuh kami menjadi saksi seberapa gigihnya kami menjalani hidup ini. Pun, saat hari sedang hujan, kami menggigil kedinginan di sebuah halte tempat pemberhentian bus menatapi para penumpang mobil pribadi yang dengan nyaman duduk di kursi yang empuk. Bahkan terkadang ada salah satu dari mereka ada yang tertidur. Anakku kuselimuti dengan mantel yang kudapat dari sebuah yayasan yang mengadakan kegiatan amal untuk kaum dhuafa. Aku hanya terbalut baju hangat yang kubeli di toko loak. Sedang suamiku tak pernah memakai baju hangat meski cuaca sedang dingin sekalipun.

Di dalam bus kota, kami seperti bersaing, antara aku dengan para pengamen lainnya. Karena telah banyak terdengar kabar, bahwa kala ini telah banyak bayi-bayi di sewa untuk dibawa sebagai tameng agar para penumpang bus merasa iba melihat sang ibu yang tengah membawa bayi sambil mengamen. Ada lagi seseorang yang berpura-pura cacat fisiknya, padahal ia sehat lahir dan bathin, lagi-lagi supaya para penumpang iba kepadanya. Jadilah para penumpang merasa malas memberikan koceknya kepada kaum seperti kami karena merasa telah dibohongi. Akhirnya kami jualah yang menjadi korban akibat ulah para pembohong itu. Namun, Seberapa besar yang kami terima, aku masih bisa bersyukur dengan senyum yang penuh keikhlasan.

Rasanya sangat sulit untuk meneruskan hidup di kampung halamanku. Untuk itulah aku bersama suamiku pergi merantau ke kota jakarta untuk berjuang mengadu nasib. Toh nyatanya Jakarta kata orang-orang bilang adalah kota yang keras, aku tak gusar mendengarnya. Ada yang sangat kaya, namun juga ada yang sangat miskin, situasi ini sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di desa. kehidupan di kota Jakarta umumnya saling tak peduli akan kondisi satu dengan yang lain.

Kedatanganku tuk kali pertama di kota jakarta ini begitu mengesankan. Dengan bekal 600 ratus Ribu rupiah yang kami bawa dari kampung, kami bisa mengontrak di sebuah rumah petakan yang memiliki gang-gang yang sempit dengan harga sewa per bulan sebesar Dua Ratus Ribu rupiah. Rumah kami berdampingan dengan sebuah apartement berlantai 30. Kami hanya dibatasi oleh dinding setinggi empat meter yang nyaris membuat kami tak sanggup melihat situasi di dalam apartement itu. Kadang, aku hanya mampu menerawang ke apartement itu, tampak sesekali kulihat seorang wanita cantik sedang bersandar di salah satu beranda, atau laki-laki gagah sedang duduk dengan rokok yang sedang dihisapnya.

Karena para tetanggaku banyak yang berprofesi di jalan atau dalam bus-bus kota, akhirnya aku tergoda juga untuk menggelutinya. "Yang penting halal" lirihku. Jadilah aku sebagai pengamen di bus kota, sedang suamiku menjajakan minuman botol di setiap bus kota yang lewat. Pada awalnya aku agak sedikit risih, namun lambat laun aku terbiasa juga. Pun begitu juga dengan suamiku. Kadang, kami bertemu di dalam bus yang sama. Kuusap keringatnya dengan selendang yang sedang kupakai untuk menggendong anakku. Diapun tersenyum dan kembali lagi sibuk menjajakan dagangannya. Meski senyumnya tak segagah dahulu, tapi aku cukup bahagia akan kegigihan suamiku yang mau bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Setiap hari, hasil yang berhasil kami peroleh, tak lupa kusisihkan. Meski sedikit, aku ingin bisa keluar dari lingkaran kehidupan yang begitu getir ini. Sambil kuusap kepala anakku yang sedang terlelap tidur dalam gendonganku, ku panjatkan do'a berkali-kali berharap Sang Illahi mau mengubah nasib kami.

18 Juli 2009

Ke Sekolah Lagi

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Hari ini anakku masuk sekolah lagi di kelas yang baru. Kini ia telah duduk di kelas dua. Mataku sempat meleleh saat mengantarnya. Betapa kini aku merasa umurku kian bertambah. Ada asa yang sempat melayang di angan-anganku, aku ingin bisa menimang cucu dari anak-anakku.

Teringat kembali saat aku berderai air mata tak terbendung ketika acara pelepasan anak-anak kelas 6 di SD anakku. Saat itu, meski tak ada satupun dari mereka itu anakku, namun aku jadi ingat akan zaki, anakku. Entahlah, tak ada yang aku pikirkan, hanya ada air mata yang mengalir begitu saja.

Nilai-nilai raportnya sungguh menggembirakan bagi kami. Padahal kami tak punya target untuknya. Aku merasa kemampuan mereka menyerap pelajaran di sekolah dengan semampu dirinya sendiri. Kami sebagai orang tua hanya berupaya membantunya dalam belajar di rumah saat sore tiba setelah sholat maghrib.

Kini zaki pun telah memiliki kamar sendiri. Sesuai permintaannya, kamarnya kami cat dengan warna hijau cerah. Namun sayangnya, gambar planet tak bisa kami buatkan, kami bingung bagaimana melukisnya. Meja belajrnya yang baru kami belikan adalah hadiah kami karena nilai raportnya telah membanggakan kami. Tasnya pun juga baru. Kusempatkan pula membuat kelambu.

Minggu pertama masuknya anakku sekolah membuat aku juga sibuk. Aku harus menyampul buku tulis dan cetaknya. Disitulah aku dituntut berkreatifitas. Aku membuatkan namanya dengan nama kelasnya serta nama pelajarannya yang aku print untuk dilekatkan di bukunya. "Bagus Ma, makasih ya Ma" kata-katanya yang polos seakan menghapus lelah hasil kerja kerasku.

Karena Zaki masuk SD Islam Terpadu, jam pulangnya adalah jam 2 siang. Itu berarti, aku harus menyiapkan bekal makan siangnya di samping uang jajannya. Pagi yang segar untuk menyiapkan makanan untuk semua orang yang tinggal di rumahku. Kadang, aku didera oleh rasa kantuk yang tiada mau mengalah. Tapi itulah resiko menjadi seorang ibu. Jika seperti ini, aku jadi teringat akan ibuku yang tidak pernah menggunakan pembantu. Manusia super bagiku !

Setiap pagi aku mandikan Zaki, aku tak tega bila ia harus mandi sendiri. takut ada yang tidak bersih. Kusiapkan pakaiannya, sambil memasak kusuapi makannya.

Setelah dua hari aku mengantarnya ke sekolah, zaki ke sekolah sendiri dengan naik mobil antar jemput. "Ma, aku berangkat dulu yaa, assalamu'alaikum " zaki berjalan ke arahku sambil bersalaman. "Di sekolah jangan nakal yaa, wa'alaikum salam" jawabku