Terang saja, aku ini sedang jatuh cinta.
Cinta dengan seorang gadis cantik, yang kini tumbuh dewasa. Tumbuh dengan mempesona. Dan tumbuh indah dengan agamanya. Dia Laila. Laila Syafa Nafeeza. Cantik, kan, namanya? Iya. Sama. Orangnya juga begitu. Lebih malah.
Kami udah bareng-bareng dari sejak kami masih kecil.
Karena terlalu sering bersama dan saling mengisi kekosongan waktu satu sama lain, aku sama dia pun semakin dekat. Saling muncul rasa perhatian. Muncul rasa takut kehilangan. Takut kalau berpisah. Muncul rasa nggak ingin jauh-jauhan. Muncul rasa kangen meski hanya sebentar saja tak ber-sua. Semua ada.
Aku yakin, aku menyukainya.
Dan aku nggak mau memendam itu terlalu lama.
Kemarin, aku sudah mengungkapan apa isi hatiku sama dia. Dia pun sama. Ternyata, dia juga punya perasaan yang sama dengan apa yang aku rasa. Tahu kan, pastinya, gimana senangnya aku sekarang?
Iya, seneeeeeeeng banget.
Tapi aku sama dia punya prinsip yang sama. Aku nggak mau pacaran dan dia nggak mau dipacarin. Aku maunya langsung halal, dan dia juga maunya dihalalin.
Hanya saja, untuk per-detik ini aku belum bisa meminang dia. Aku masih menjalani rutinitasku sebagai Santri di salah satu pondok pesantren yang ada di Jombang. Iya. Namanya Pondok Pesantren Tebu Ireng. Pernah dengar? Atau ada yang pernah mondok di sana mungkin?
Hem, sebenarnya bukan karena itu saja aku belum mau meminangnya. Alasan kedua adalah: orangtuaku belum begitu setuju jika aku menyukai dan ingin serius dengannya. Orangtuaku maunya, aku tuh, dekat dengan wanita yang jamil dan shalihah. Menurut pandangan orangtuaku saat ini, dia belumlah cukup dibilang shalihah.
Tapi ada manfaatnya juga aku mondok di Tebu Ireng ini. Aku bisa berbagi ilmu agama sama dia. Aku bisa sedikit demi sedikit mengajak dia untuk menjadi lebih baik lagi. Dan alhamdulillah.. dia benar-benar menjadi gadis yang aku sendiri saja tak bisa berkedip melihat ketaatannya. Alhamdulillah dia menjadi gadis yang mendekati sempurna. Benar-benar jauh lebih baik dari sebelumnya.
Subhanallah, Laila… Semoga Allah selalu melindungimu, ya.. kamu wanita yang luar biasa…
3 tahun sudah aku menjadi Santri di Tebu Ireng ini. Dan 3 tahun juga lamanya aku semakin dekat dengan Laila. Ada banyak sekali perubahan di diri aku dan Laila. Darinya, dia sekarang memakai cadar. Semakin membuatku ingin sekali segera meminangnya. Semakin membuatku takut kalau dia dimiliki orang lain.
Perubahanku, insyaallah aku bisa membimbing calon istriku kelak dengan ilmu yang aku miliki sekarang ini.
Dan aku sekarang fokus untuk memikirkan hal itu. Hal bagaimana caranya aku bisa segera menjadi pembimbing rumah tangga antara aku dengan Laila.
Aku mulai membayang-bayangkan hal yang belum pasti itu terjadi. Aku juga selalu merencanakan khayalan-khayalan konyol kelak jika aku benar-benar bisa memiliki Laila.
Ternyata Allah itu benar-benar tidak tidur. Ia memperhatikanku. Aku baru tahu, kalau ternyata Allah itu tidak suka dengan hamba-Nya yang selalu menghitung-hitung sesuatu yang belum pasti.
Kenapa kubilang seperti itu?
Iya, seminggu setelah aku berhasil hidup dengan khayalan-khayalan itu, Orangtuaku mengajakku pindah dari Jakarta ke Jogja, alasan karena papah-ku memang dipindah tugaskan di sana.
Dan itu mau nggak mau aku memang tetap harus ikut, kan?
Ya Allah.. maafkan aku..
Aku ingin sekali menjerit saat itu. Kenapa saat semua sudah sedekat ini justru Engkau malah menjauhkan kami? Apa ini memang ujian dariMu yang harus aku lalui? Tapi apa salahku?
Ya tuhan..
Saat itu juga aku mulai takut. Aku takut kalau suatu saat aku nggak bisa lagi bertemu dengan Laila. Aku takut kalau saat aku balik ke Jakarta nanti, dia sudah menjadi istri dari ikhwan lain. Aku takut sekali kehilangan dia. Aku takut kalau dia bakalan lupain aku karena saking lamanya aku di Jogja.
Iya. Aku bakal netap lama di Jogja. Orangtuaku menyuruhku lanjut kuliah di salah satu universitas islam di Jogja. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa nurut apa mau mereka. Meski ini bukan mauku, tapi nggak salah, kan, kalau aku mengikuti apa saran orangtua?
Sepanjang malam aku terus memikirkan masalah itu.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Laila. Aku bilang minta maaf juga pamitan sama dia. Aku juga menyuruhnya melupakan aku. Menyuruhnya untuk segera membuka hatinya untuk orang lain. Aku nggak bilang apa alasanku menyuruhnya seperti itu. Karena setelah itu, aku langsung mematikan teleponku. Aku takut kalau dia sampai nangis. dan aku nggak mau mendengarkan itu.
Entah benar atau tidak keputusanku ini, tapi yang pasti aku punya alasan kenapa aku melakukan ini. Aku nggak mau kalau dia nunggu hal yang belum pasti. Aku kasihan, kalau dia terus-terusan menungguku sedangkan orangtuanya sudah menyuruhnya mencari pendamping agar segera bisa memomong cucu. Aku bisa apa sekarang?
4 bulan pertama di Jogja. Artinya sudah 4 bulan juga aku nggak ngabarin Laila. Dia terus menanyakan kabarku, tapi dua bulan terakhir ini dia sama menghilangnya denganku.
Entahlah, tiba-tiba ada rindu yang menerpa wajahku saat aku sedang tertidur di kamar. Aku sesaat terbangun dan teringat wajahnya. Tanpa kuminta. Tanpa kusengaja.
Saat itu aku langsung melamun dan kembali mengingat masa-masa itu.
Saking nggak bisa nahan, aku memutuskan untuk menghubunginya via telepon saat itu juga.
Alhamdulillah langsung diangkat sama dia.
Dan senang sekali aku rasanya. Aku masih mendengar suaranya yang renyah. Tawanya yang anggun. Tutur katanya yang lembut. Ah, aku senang sekali pokoknya.
Tapi, dia memang pandai membawa hatiku kemana ia suka. Dia pandai menjunjungku juga menjatuhkanku kapanpun dia mau. Dia bilang di ujung teleponku, dia minggu depan akan menikah dengan lelaki pilihan orangtua dia.
Apa ini jawaban kenapa tiba-tiba aku merindukannya? Atau ini pelajaran agar aku tidak lagi mengulur-ngulur waktu saat jodoh yang baik itu sudah Allah tunjukan? Tapi bukankan jodoh itu nggak selalu yang ada di dekat kita?
Astaghfirullah, ya Rabb…
Kuatkan hatiku..
Bagaimana bisa aku melupakannya sekarang?
Bagaimana bisa aku fokus dengan kuliahku sekarang?
Apa bisa aku bertemu lagi dengan wanita seperti dia?
Apa ada wanita seperti dia?
Tuhan… ini apa? kenapa seperti ini rasanya?
Malam sebelum paginya dia melakukan ijab qabul, dia nelpon aku. Sebenarnya aku nggak mau mengangkatnya, tapi entahlah. Aku malah cepat sekali mengangkat telepon darinya itu.
Aku bingung, karena yang kudengar di telepon itu hanya isak tangisnya saja. Dan itu sakit sekali. Ulu hatiku serasa ada yang menusuk saat aku mendengarnya menangis seperti ini. Aku terus menerus bertanya kenapa? ada apa? kenapa menangis? siapa yang nyakitin kamu? kamu diapain? tapi dia tetap terus terisak dalam tangisnya.
Sampai subuh telepon kami baru selesai. Kami saling jujur satu sama lain. Saling mengungkapan isi dan alasan masing – masing. Aku juga jujur kenapa waktu itu aku bilang sama dia untuk memintanya lupain aku. Dan dia juga jujur apa alasan dia menikah dengan laki-laki itu.
Tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Sudah nggak mungkin kuubah menjadi nasi lagi.
Aku harus bisa ikhlas. Aku harus bisa menerima dan mendoakan yang baik untuk dia juga keluarga barunya. Meskipun aku dulu udah pernah mencoba melupakannya berkali-kali dan itu gagal, semoga dengan kejadian ini, aku bisa benar-benar ikhlasin dia dari hati.
Aku nggak yakin hidupku ke depannya akan baik-baik saja. Aku nggak yakin kalau hidupku akan berjalan seperti sediakala.
Dulu, aku pikir menyuruhmu melupakanku untuk membuka hati selain untukku itu sudah tepat. Kamu dengan yang lain, yang dekat denganmu. Dan aku dengan hati baru yang juga mendekatiku. Aku pikir kamu akan bahagia dan melupakan aku. Aku pikir aku juga akan bahagia dan merelakanmu.
Tapi aku keliru. Melupakanmu itu ternyata bukan dengan seperti itu.
Bahkan nggak ada cara. Nggak akan ada cara mudah untuk lupa denganmu.
Aku..
Aku akan tetap mendoakanmu. Menddoakan agar kamu bahagia dengan pilhanmu. Meskipun aku tahu keputusan itu menyakitkan, tapi ini sudah takdir dan pilihan..
Bissmillah.. Aku pasti bisa melepasmu..
Selamat menempuh hidup baru buatmu.
Allah selalu melindungimu…
Cerpen Karangan: Anna Safitri