Posts

Bayang Bayang Yang Tidak Terduga

Image
Mahira duduk di sofa, mata terpaku pada layar televisi. Film "Ipar adalah Maut" baru saja dimulai. Suasana di ruang tamu remang-remang, hanya diterangi cahaya dari layar. Dia merasa nyaman, tetapi saat cerita mulai mengungkapkan sisi gelap dari sebuah hubungan, hatinya bergetar. Mahira: (berbisik pada dirinya sendiri) "Ini hanya film... hanya film." Namun, saat karakter utama, Dimas, muncul—dengan senyum menawannya dan sifat humoris yang mirip suaminya, Raka—Mahira tak bisa menahan diri untuk berpikir. Mahira: (mendengus) "Raka juga sering bercanda seperti itu. Tapi… apa dia bisa jadi seperti Dimas?" Film berlanjut, menampilkan Dimas yang tampak sempurna, namun menyimpan rahasia yang mematikan. Mahira merasakan jantungnya berdebar saat konflik demi konflik terjadi. Dia teringat saat-saat manis bersama Raka, tetapi juga saat-saat ketika Raka menghilang tanpa kabar. Mahira: (berbicara dalam hati) "Apa Raka menyimpan sesuatu dariku? Apa d...

Jejak Cinta Yang Terhapus

Image
Tahun ini, Rina dan kekasihnya, Ardi, merayakan lima tahun bersama. Mereka telah melalui banyak suka dan duka, dan Rina sangat menyayangi Ardi. Namun, sebuah undangan pernikahan dari mantan kekasihnya, Dito, datang dan mengguncang perasaannya. Sore itu, Rina duduk di sofa, memegang undangan yang berkilauan. Hatinya terasa sesak, dan kenangan akan Dito kembali menghantui pikirannya. Rina: (berbicara pada diri sendiri) "Kenapa aku harus merasa begini ? Semua sudah berlalu." Dia teringat saat-saat bersama Dito, terutama ucapan yang pernah diucapkannya. Dito: "Silakan cari pasangan yang kamu mau, tapi jangan lupa pulang. Kamu masih punya tempat sendiri di hatiku." Air mata mulai mengalir di pipi Rina. Dia tahu bahwa hubungan mereka penuh ketegangan dan sering berantem, tetapi ada sesuatu yang tak bisa dia lupakan. Rina kemudian memutuskan untuk menghubungi Dito. Setelah beberapa detik ragu, dia mengetik pesan. Rina: "Dito, selamat untuk pernikahan...

Cinta Tapi Sakit, Mungkinkah ?

Image
Aira duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding. Dalam beberapa bulan terakhir, hubungannya dengan Fajar telah melalui banyak rintangan. Dia sudah beberapa kali ketahuan selingkuh, dan setiap kali, Aira memilih untuk diam dan pulang ke rumah, mencoba meredakan rasa sakit di hatinya. Suatu malam, setelah kembali dari kampus, Aira mendapati Fajar duduk di depan rumahnya, wajahnya basah oleh air mata. Fajar: "Aira, tolong… jangan pergi. Aku minta maaf. Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku." Aira merasa hatinya bergetar mendengar suara putus asanya. Dia mencoba menahan air mata. Aira: "Fajar, ini bukan yang pertama kali. Kenapa kamu terus mengulangi kesalahan yang sama?" Fajar: "Aku tahu, aku salah. Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu. Jika kamu pergi, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku bisa… bisa bunuh diri." Kata-kata itu membuat Aira terkejut. Dia tidak ingin menganggap remeh pernyataan itu, tetapi rasa sakit di hatinya...

Untuk Cinta Yang Masih Hanya Untukmu

Image
Hari itu tampak seperti hari biasa bagi Ardhi. Dia sedang berada di kafe favorit mereka, menunggu kedatangan Lusiana. Namun, saat Lusiana tiba, wajahnya terlihat tegang. Ardhi merasakan ada yang tidak beres. Ardhi: "Lus, kamu terlihat berbeda. Ada apa?" Lusiana menarik napas panjang, kemudian duduk di depan Ardhi. Dia menatapnya dengan mata yang penuh air mata. Lusiana: "Ardhi, aku… aku harus memberitahumu sesuatu yang penting." Hati Ardhi berdegup kencang. Dia merasakan firasat buruk. Ardhi: "Apa itu? Kamu bikin aku khawatir." Lusiana: "Aku sudah memutuskan untuk menikah… dengan orang lain." Dunia Ardhi seakan runtuh seketika. Dia tidak bisa mempercayai kata-kata itu. Ardhi: "Apa? Kenapa? Kita sudah bersama begitu lama, Lus!" Lusiana: (menangis) "Aku tahu, dan itu tidak mudah untukku. Tapi aku merasa ini adalah keputusan yang terbaik untukku." Ardhi: "Siapa dia? Apa dia lebih baik dari aku?" Lusi...

Menggugah Hati : Kisah Haru Dadang dan Perjuangannya Melawan Diabetes

Image
Dadang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Sudah bertahun-tahun ia berjuang melawan diabetes, tapi penyakit itu tak kunjung sembuh. Justru kondisinya semakin memburuk. Istrinya, Ina, duduk di samping ranjang Dadang, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Ia menggenggam tangan suaminya yang terkulai lemas. Ina: Sayang, bertahanlah. Kau pasti bisa melewati ini semua. Dadang: (terbata-bata) Ina... aku lelah... sudah terlalu lama aku menderita . Aku... tidak yakin bisa bertahan lebih lama lagi. Ina: Jangan bicara begitu! Kau pasti akan sembuh. Kita akan berusaha lebih keras lagi, mengikuti semua saran dokter. Dadang: (batuk-batuk) Ina... aku... aku takut. Aku tidak ingin menyakitimu dan anak-anak. Mungkin... mungkin lebih baik jika aku pergi. Ina: (menangis) Tidak, Sayang! Jangan berkata begitu. Kami semua membutuhkanmu. Kau tidak boleh menyerah! Dadang: (menatap Ina dengan lemah) Maafkan aku, Ina... aku benar-benar tidak kuat lagi... Ina: (memeluk Dadan...

Dilema Pernikahan Antara Hati Yang Tersakiti

Image
Lidya mengetuk layar ponselnya dengan frustrasi. Sudah hampir setengah jam ia menunggu Bagas membalas pesannya, tapi pria itu tak kunjung merespon. Akhirnya, pesan itu masuk juga. Lidya segera membukanya dengan harapan bisa berdiskusi baik-baik dengan Bagas. Lidya: Bagas, kita perlu bicara. Kapan kau pulang? Bagas: Entahlah, mungkin malam. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor. Lidya: Tapi ini penting. Aku sudah menunggu dari tadi. Bagas: Aku sibuk, Lid. Kau tahu aku harus mengejar deadline. Lidya: Tapi... ini menyangkut hubungan kita. Tidakkah kau bisa menyempatkan diri sebentar saja? Bagas: Aku lelah, Lid. Bisa kita bicarakan nanti saja? Lidya menelan ludah dengan susah payah. Ia bisa merasakan matanya memanas, menahan air mata yang siap tumpah kapan saja. Lidya: Bagas, aku... aku merasa kau sudah tidak peduli lagi padaku dan pernikahan kita. Bagas: Jangan berlebihan. Kau tahu aku bekerja keras demi kita. Lidya: Tapi kau selalu mengutamakan pekerjaan daripada k...

Toni dan Dina : Antara Cinta dan Pengkhianatan di Atas Kapal

Image
Toni menghempaskan tubuhnya di kursi kabin kapalnya, wajahnya penuh dengan gurat kelelahan setelah berminggu-minggu berlayar di laut lepas. Hatinya rindu akan keluarganya - Dina, istrinya yang cantik, dan Rani, buah hati mereka yang masih balita. Namun, sebagai tulang punggung keluarga, Toni harus rela meninggalkan mereka demi mencari nafkah. Toni meraih pigura foto keluarganya dan memandanginya dengan sendu. "Dina, Rani, ayah rindu kalian," bisiknya lirih. Sementara itu, di rumah, Dina duduk gelisah di ruang tamu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. Di sampingnya, seorang pria asing duduk dengan santai, merangkul Dina mesra. "Sudahlah, sayang. Toni tak akan pernah tahu tentang kita," bisik pria itu. Dina mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, menyembunyikan air matanya. "Tapi aku merasa bersalah pada Toni dan Rani," isak Dina pelan. "Sstt... jangan pikirkan mereka. Sekarang kau hanya milikku," pria itu menenangkan...