26 Juni 2009

I Hate Monday

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Minggu yang indah terasa sangat menghimpit waktuku bersama keluarga. Saat - saat itu begitu sangat berharga bagiku. Ku usahakan tiada waktu yang sia-sia bersama mereka. Terkadang kami makan bersama keluarga di rumah makan pemancingan dengan berharap anak-anak menikmati kebersamaan kami. Kadang juga mengunjungi sanak saudara kami atau hanya berdiam diri, asyik bermain bersama, menikmati indahnya menjadi seorang ibu rumah tangga seutuhnya.


Bila anak-anak kami ajak ke pemancingan, mereka tampak antusias sekali. Sebab di sana diberikan sarana bermain anak. Ada ayun-ayunan, jungkat jungkit dan permainan anak lainnya. Udara yang dingin dan segar menyelimuti indahnya hati kami yang merindukan kebersamaan. Sampai-sampai si bungsu enggan diajak pulang.

Sesekali kami mengajak anak-anak ke tempat hiburan, seperti bermain game atau permainan anak-anak dengan memasukkan coin atau kartu layaknya sebuah ATM yang tinggal gesek. Si kakak yang sudah menginjak bangku SD kelas 1 tentunya lebih memilih bermain game balap mobil. Adiknya karena masih balita, ia memilih menaiki kereta mini atau mobil-mobilan atau bebek-bebekan yang bergoyang-goyang di tempatnya.

Mengunjungi Kakek dan Nenek cukup melelahkan. karena Kakek dan Nenek tinggal di daerah lain. Karena kami belum punya mobil pribadi jadilah kami menaiki bus umum. kami lebih memilih yang ber-AC untuk kenyamanan si bungsu, apalagi tarifnya hanya beda tipis dari yang biasa. Sesampainya di sana kami sekeluarga saling berpelukan, melepas rindu yang tiada tara seiring menebus dosa karena tak mampu hidup bersamanya.

Ya,... karena aku adalah seorang ibu dengan titel wanita karier, dimana dari Senin hingga Jum'at aku harus duduk di kursi tempat kerjaku meninggalkan anak-anakku. Sabtunya aku juga masih masuk kerja setengah hari, hingga pulang kerja aku harus beristirahat sejenak melepas lelah setelah memeras otak dan tenaga selama bekerja.

Begitu terlukanya batinku kala harus melambai-lambai tangan sambil mengucap salam ketika hendak berangkat kerja, sampai-sampai si bungsu melambai-lambaikan tangannya hingga aku telah berada di tikungan rumahku. Senyumnya yang manis menyisakan rindu yang teramat dalam untuk bisa bersamanya selalu. Atau ia malah tak berexpresi sama sekali. Tatapannya dingin, seolah memberi isyarat padaku jika ia sedang protes padaku.

Terkadang, bila si bungsu sedang tak ingin ditinggalkan olehku, ia benar-benar marah sambil berteriak keras sekali.
"Mama ga' boleh kerja !" rengeknya.
"Kalo mama ga' kerja, nanti beli susu gimana ?, kan Mama kerja cari uang, uangnya untuk beli susu dede" aku mencoba berdalih.
"ga' boleh !" si bungsu tambah keras merengek.
"Nanti kalo Mama ga' kerja, nanti dede ga' bisa mimi cucu" lagi-lagi aku merayunya.
Akhirnya si bungsu mengangguk. Meski ia memeprbolehkan aku bekerja, namun aku mampu merasakan apa yang dirasakannya kala itu. Mungkin ia belum puas melepas rindunya bersamaku.

Senin itu, aku berangkat menuju tempat kerjaku seiring dengan bayang-bayang raut wajah anak bungsuku. Wajahnya yang lugu seolah memberiku semangat untuk melalui hari Senin yang amat kubenci. Saat aku menciumnya, ciuman hangat dariku seakan kucium wangi surga. Pelukan erat yang tak ingin kulepas membayangi detik demi detik waktuku di tempat kerja.

Rutinitas ini harus kulalui dengan ikhlas dengan berharap berbuah pahala dari Sang Illahi. Aku berada dalam dilema tiada bertepi. Antara membantu mengais rejeki bersama suami atau hanya menjadi ibu rumah tangga untuk mengasuh buah hati kami dan mengurusi pekerjaan-pekerjaan di rumah.