29 Oktober 2024

Akibat Membeli Dengan Cicilan

Akibat Membeli Dengan Cicilan
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisahSeorang yang Terjebak dalam Keinginan untuk Punya Tas bermerk Termahal dengan Cara yang Salah.

Di sebuah kota yang gemerlap, ada seorang wanita muda bernama Mila. Mila bekerja sebagai asisten di sebuah perusahaan fashion ternama. Meskipun posisinya cukup rendah, ia berada di lingkungan orang-orang kaya dan berpengaruh yang sering terlihat mengenakan pakaian serta tas-tas mewah keluaran desainer papan atas. Setiap hari, ia melihat para wanita yang lalu-lalang di kantornya dengan tas bermerk yang harganya mungkin lebih mahal daripada gaji bulanannya.

Mila merasa iri dan sedikit tidak percaya diri. Dia merasa harus punya tas mewah juga agar dihormati dan dipandang setara dengan wanita-wanita lain di kantornya. Namun, gaji Mila jelas tidak cukup untuk membeli tas mahal itu. Sebagai seorang asisten, gajinya pas-pasan untuk membayar sewa apartemen dan kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari saat makan siang dengan temannya, Tika, yang juga asisten di perusahaan tersebut, percakapan mengarah ke barang-barang branded.

    Tika: "Mil, lu lihat nggak tuh Mbak Lita? Dia baru aja beli tas keluaran terbaru dari Paris. Itu harganya setara mobil, lho!"

    Mila: "Gila ya, kayaknya semua orang di kantor ini punya barang branded. Kadang gue ngerasa minder, Tika."

    Tika (tertawa): "Sama, gue juga. Tapi ya, kalau dipikir-pikir, duit dari mana? Kita cuma asisten, Mil."

Mila tersenyum tipis, tapi di dalam hatinya ada tekad yang semakin kuat. Dia ingin sekali punya tas mahal agar bisa tampil seperti wanita-wanita sukses di kantornya. Keinginan itu semakin hari semakin menjadi-jadi, sampai suatu hari ia menemukan solusi yang kelihatannya seperti jawaban atas ambisinya.

Di suatu forum online, Mila melihat banyak postingan yang menawarkan "pinjaman cepat tanpa agunan". Tawarannya tampak menggiurkan: hanya perlu melampirkan kartu identitas dan dalam hitungan hari uang akan masuk ke rekening. Mila tahu risikonya tinggi, tapi rasa ingin punya tas mewah sudah mengaburkan akal sehatnya.

Dengan degup jantung yang tak menentu, Mila pun menghubungi salah satu nomor kontak di forum tersebut.

Telepon antara Mila dan Agen Pinjaman

    Agen: "Selamat siang, dengan Ibu Mila, ya? Terima kasih telah menghubungi kami. Jadi, ibu membutuhkan pinjaman untuk keperluan apa, ya?"

    Mila: "Iya, betul. Saya butuh pinjaman sekitar… ya, cukup besar sih. Sekitar 30 juta."

    Agen: "Baik, Ibu. Untuk pinjaman sebesar itu, kami hanya butuh data identitas dan tanda tangan kontrak. Nanti ada bunga bulanan yang harus dibayar, tapi tidak perlu khawatir. Ini prosedur cepat, besok uang bisa cair."

Mila menelan ludah, mendengar penjelasan agen itu. Ia tahu bahwa ini berisiko tinggi, tapi keinginan untuk memiliki tas impiannya begitu besar.

    Mila: "Oke, saya setuju. Kapan bisa saya tandatangani kontraknya?"

Keesokan harinya, Mila menandatangani kontrak tanpa banyak berpikir. Hanya dalam waktu sehari, uang itu masuk ke rekeningnya. Dan tanpa menunggu waktu lama, Mila langsung menuju butik ternama dan membeli tas mewah yang sudah lama ia idamkan. Begitu melihat dirinya membawa tas itu di depan cermin, hatinya berdebar penuh kebanggaan. Akhirnya, ia merasa dirinya setara dengan wanita-wanita sukses di kantornya.

Namun, kebahagiaan Mila tidak berlangsung lama.

Setiap bulan, ia harus membayar cicilan pinjaman yang bunganya jauh lebih tinggi daripada yang ia bayangkan. Tidak lama, hampir seluruh gajinya habis hanya untuk membayar cicilan, dan sisanya nyaris tidak cukup untuk kebutuhan dasar. Mila mulai kewalahan.

Di kantor, Mila bertemu lagi dengan Tika, yang mulai menyadari perubahan pada Mila.

    Tika: "Mil, gue perhatiin akhir-akhir ini lu sering murung. Kenapa, ya? Lu nggak kayak biasanya."

Mila menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. Akhirnya, ia memutuskan untuk bercerita kepada Tika.

    Mila: "Gue… Gue nyesel banget, Tika. Gue minjem uang ke rentenir cuma buat beli tas mahal ini. Gue pikir bakal bikin hidup gue bahagia, tapi sekarang malah jadi beban. Cicilannya nggak masuk akal, dan gue nggak tau harus gimana buat bayar."

Tika terdiam, kaget dan merasa prihatin. Dia menggenggam tangan Mila, mencoba menguatkannya.

    Tika: "Mil, kenapa lu nggak bilang dari awal? Gue ngerti, tapi ini nggak bisa lu tanggung sendiri. Mungkin kita bisa cari cara buat keluar dari masalah ini."

Mila hanya bisa mengangguk sambil menahan air matanya.

Minggu-minggu berikutnya, hidup Mila semakin terpuruk.

Karena tak mampu membayar cicilan tepat waktu, bunga hutangnya terus menumpuk. Debt collector mulai mendatangi apartemennya, bahkan menelepon berkali-kali ke kantornya. Mila merasa malu dan stres, sampai tidak lagi bisa fokus bekerja. Teman-temannya mulai mempertanyakan perubahan sikap Mila yang semakin pendiam dan sering terlihat murung.

Suatu malam, telepon dari debt collector datang lagi.

    Debt Collector: "Ibu Mila, ini sudah bulan ketiga dan Anda belum membayar cicilan Anda. Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Anda tahu apa konsekuensinya kalau pembayaran terus tertunda, kan?"

    Mila (suara bergetar): "Tolong, Pak. Saya belum punya uang. Saya janji bulan depan saya bayar."

    Debt Collector (ketus): "Kami tidak menerima janji, Ibu. Kami butuh uangnya sekarang, atau kami akan ambil tindakan."

Setelah telepon itu berakhir, Mila duduk di lantai, menangis sejadi-jadinya. Tas mewah yang dulu menjadi kebanggaannya kini hanya terasa seperti pengingat pahit atas kesalahan yang ia buat.

Suatu hari, saat Mila duduk sendirian di kafe, seseorang duduk di sebelahnya. Orang itu adalah seorang wanita bernama Laras, yang dulu pernah menjadi senior Mila di kantor. Laras, meski sudah lama tidak bertemu, masih mengenali Mila.

    Laras: "Mila? Kamu baik-baik saja? Maaf, aku lihat kamu tampak sedih."

Mila yang sudah terlalu lelah dengan beban pikirannya akhirnya terbuka dan menceritakan semuanya pada Laras. Laras mendengarkan dengan seksama dan tidak menyela sedikit pun.

    Laras: "Mila, kamu tahu, tidak semua yang berkilau itu membawa kebahagiaan. Aku dulu juga pernah terjebak dalam pola pikir yang sama. Merasa perlu memiliki barang mewah supaya dihargai. Tapi kamu tahu? Kehormatan sejati tidak datang dari apa yang kita pakai atau kita punya, tapi dari apa yang kita lakukan."

Mila terdiam, kata-kata Laras menembus hatinya. Laras kemudian menawarkan solusi yang lebih bijaksana.

    Laras: "Aku punya kenalan yang mungkin bisa membantu kamu merestrukturisasi hutang ini. Mungkin tidak mudah, tapi setidaknya ada jalan keluar. Dan satu lagi, kalau kamu sudah bisa lepas dari beban ini, coba pikirkan lagi apa yang sebenarnya kamu kejar."

Dengan bantuan Laras, Mila akhirnya bertemu dengan konsultan keuangan yang bisa membantunya mengatur ulang cicilan dengan bunga yang lebih ringan. Meski prosesnya panjang dan melelahkan, Mila mulai membayar hutang itu sedikit demi sedikit. Setiap gaji yang masuk, ia sisihkan sebagian untuk cicilan, dan sisanya untuk kebutuhan hidup sederhana.

Setelah bertahun-tahun menjalani hidup dengan lebih bijaksana, Mila akhirnya berhasil melunasi hutangnya. Kini, ia menjalani hidup dengan pola pikir yang sangat berbeda. Tas mewah yang dulu dibeli dengan penuh rasa bangga sudah ia jual jauh di bawah harga aslinya. Mila tidak lagi merasa perlu mengesankan orang lain dengan barang-barang mahal.

Suatu hari di kafe yang sama, ia bertemu dengan Tika yang langsung menyapanya.

    Tika: "Mil, lama nggak ketemu. Lu kelihatan beda banget sekarang, lebih santai. Udah bebas dari masalah lu yang dulu ya?"

Mila tersenyum, ada kilau damai di matanya.

    Mila: "Iya, Tik. Gue akhirnya sadar, kalau harga untuk kesombongan itu jauh lebih mahal dari apa pun. Sekarang gue fokus sama hal-hal yang lebih penting. Hidup sederhana itu ternyata jauh lebih membahagiakan."

Tika tersenyum, merasa bangga dengan perubahan Mila. Mereka pun melanjutkan obrolan sambil tertawa, tanpa rasa iri atau gengsi. Mila tahu, dirinya telah menemukan kedamaian sejati dalam hidup yang lebih bijaksana.

Setelah obrolan singkat dengan Tika di kafe, Mila merasa hidupnya benar-benar telah berubah. Semua rasa khawatir, beban, dan keinginan untuk terlihat seperti orang kaya yang dulu membebaninya, kini sirna. Dia menjalani hari-harinya dengan lebih ringan, tidak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain atau merasa minder karena tidak memiliki barang mewah. Dia mulai lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidup, seperti waktu berkumpul dengan keluarga, minum kopi di pagi hari, atau membaca buku di taman.

Suatu hari di kantor, manajernya, Pak Dimas, mengundangnya untuk rapat pribadi.

    Pak Dimas: "Mila, akhir-akhir ini saya perhatikan kinerja kamu luar biasa. Kamu kelihatan lebih fokus dan produktif. Ada perubahan yang bagus pada kamu."

Mila tersenyum, merasa senang mendengar pujian itu.

    Mila: "Terima kasih, Pak. Jujur, saya banyak belajar dari pengalaman pribadi saya. Itu membuat saya lebih menghargai pekerjaan ini dan memberikan yang terbaik."

Pak Dimas tersenyum puas.

    Pak Dimas: "Bagus, Mila. Saya selalu menghargai orang yang mau belajar dari kesalahan dan terus maju. Saya pikir, kamu sudah siap untuk naik ke posisi yang lebih tinggi. Kamu siap untuk menjadi asisten manajer?"

Mila terdiam, terkejut sekaligus bahagia. Tawaran itu adalah kenaikan yang telah lama ia impikan. Dia tidak menyangka bahwa perubahan kecil dalam dirinya akan membawa dampak sebesar ini.

    Mila: "Saya… saya sangat siap, Pak. Terima kasih banyak untuk kesempatan ini."

Beberapa bulan kemudian, Mila menjalani posisi barunya dengan penuh semangat. Gaji yang ia terima juga lebih tinggi, tapi kali ini ia lebih bijaksana dalam mengelolanya. Sebagian besar ia tabung dan sebagian ia gunakan untuk membantu keluarganya. Mila tidak lagi tergoda untuk membeli barang-barang mahal hanya untuk gengsi. Ia bahkan menemukan kepuasan dalam hidup sederhana dan merasa bahwa ketenangan jauh lebih berharga daripada kemewahan yang semu.

Di suatu acara perusahaan, Mila bertemu dengan Laras, senior yang dulu pernah menasihatinya. Laras, yang kini menjadi kepala divisi di kantor lain, terlihat bahagia dan penuh percaya diri.

    Mila: "Mbak Laras! Wah, senang banget bisa ketemu lagi. Saya harus berterima kasih ke Mbak, nasihat Mbak dulu benar-benar mengubah hidup saya."

Laras tersenyum hangat, merasa bangga dengan perkembangan Mila.

    Laras: "Mila, saya senang kamu bisa melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda. Kadang, kita memang harus melalui kesalahan besar untuk menemukan jalan yang benar."

Mereka berbincang panjang lebar, berbagi cerita tentang perubahan dalam hidup masing-masing. Mila merasa bahagia bisa berada di titik ini tanpa harus terjebak lagi dalam obsesi yang hanya membawa penderitaan.

Di akhir perbincangan, Laras memberikan nasihat yang akan selalu diingat Mila.

    Laras: "Mila, hidup bukan tentang apa yang kita punya, tapi tentang bagaimana kita menghargai yang sudah kita miliki. Jangan pernah merasa kurang hanya karena apa yang terlihat di luar. Hidup ini lebih berharga dari sekadar gengsi atau tampilan."

Mila mengangguk, menyimpan dalam-dalam nasihat Laras itu. Ia tahu, keinginan untuk terlihat sempurna memang bisa menyesatkan. Namun, pengalaman pahit yang ia alami telah mengajarkannya arti kebahagiaan yang sejati—kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan tas mahal atau barang branded.

Malam itu, saat pulang ke rumahnya yang sederhana, Mila duduk di balkon, menikmati semilir angin malam. Ia memejamkan mata, merasakan damainya malam itu, sambil tersenyum. Akhirnya, ia merasa telah menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup yang lebih bijaksana dan penuh syukur. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.