Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah Pahit tentang Penyuka Handphone Termahal yang Terjebak dalam Jerat Ambisinya sendiri.
Malam itu, lampu kota berkelap-kelip di kejauhan. Di kamar yang remang, hanya diterangi cahaya biru dari layar laptop, Arif duduk termenung. Di tangannya, ia menggenggam katalog HP terbaru, sebuah perangkat canggih yang sudah menjadi incaran orang-orang dengan harganya yang fantastis. Arif menatap lama katalog itu, menghela napas panjang.
“Beli nggak, ya? Ah, ini kesempatan langka!” gumamnya dalam hati. Di pikirannya, dia sudah membayangkan HP baru itu di tangannya, kamera canggihnya, layarnya yang penuh warna… Rasanya ingin langsung membeli.
Arif menghubungi Reza, sahabatnya.
Arif: "Bro, gue nggak tahan lagi, HP baru ini keren banget! Lu udah liat spesifikasinya? Gila banget! Bayangin gue punya itu, semua mata pasti ngelirik gue."
Reza: "Rif, HP lu aja baru berumur beberapa bulan. Mau sampai kapan ngumpulin gadget terus? Lu sadar nggak itu cuma buat gaya-gayaan?"
Arif terdiam, tapi dalam hatinya, ego dan gengsi sudah menutupi semua logika. “Gue pengen banget, dan gue yakin pasti bisa bayar,” pikirnya, seakan meyakinkan diri sendiri. Tapi, uangnya jelas nggak cukup, dan ide pinjaman online mulai menghantui.
Keesokan harinya, dia menyelinap di depan kantor, membuka aplikasi pinjaman online. Tangannya sedikit gemetar saat ia menekan tombol "Ajukan Pinjaman." Layar menunjukkan angka besar, bunga yang tinggi, tapi Arif menepis semua keraguan. “Sekali-sekali nyenengin diri sendiri nggak masalah!” pikirnya, tak sadar dia baru saja masuk ke perangkap berbahaya.
Beberapa hari kemudian, Arif sudah memegang HP baru di tangannya. Saat di kafe, dia dengan bangga menaruh HP itu di atas meja, sengaja biar orang bisa lihat. Suara notifikasi dari HP baru itu terdengar nyaring, menarik perhatian orang-orang sekitar.
Namun, di tengah kebanggaannya, HP-nya kembali bergetar. Ada telepon masuk.
Arif menatap layar dengan kening berkerut, nomor tidak dikenal.
Debt Collector: "Selamat malam, Pak Arif. Saya dari pihak aplikasi pinjaman. Kami ingin mengingatkan bahwa tenggat waktu pembayaran pinjaman Anda semakin dekat. Kami perlu konfirmasi kapan Anda bisa melunasi."
Arif (gugup, mencoba tenang): "Eh, malam juga, Pak. Eh, iya-iya, saya tahu kok. Tapi bisa nggak ditunda sebentar? Gaji saya belum keluar."
Suara di seberang berubah tajam, dengan nada tegas yang menusuk hati.
Debt Collector: "Maaf, Pak. Jika dalam tiga hari tidak ada pembayaran, bunga akan naik dua kali lipat, dan kami akan segera menghubungi orang-orang terdekat Anda."
Arif menelan ludah, tiba-tiba keringat dingin membasahi keningnya. “Gawat, bisa-bisa orang tua tahu!” pikirnya sambil meremas HP baru yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya.
Malam itu, ia kembali ke kamarnya, duduk di kasur sambil menatap kosong ke arah HP-nya. Suara notifikasi hutang terus muncul, seakan-akan mengejeknya. Pikirannya kalut, tak bisa fokus pada apa pun.
Keesokan harinya, Arif menemui Reza di taman, dengan wajah kusut.
Reza: "Rif, muka lu kok kusut gitu? Nyesel ya beli HP baru?"
Arif (sambil menghela napas): "Gue… Gue salah, bro. Gue ngambil pinjaman online buat beli HP ini, dan sekarang utangnya nggak bisa gue bayar. Bunganya terus naik, dan mereka udah ancam bakal nelpon orang tua gue kalau gue nggak bayar."
Reza terdiam, memandang Arif dengan pandangan prihatin.
Reza: "Gue udah bilang dari awal, Rif. Buat apa sih ngutang buat hal nggak penting kayak gini? Lu kan udah punya HP yang bagus."
Arif menunduk, hatinya penuh dengan penyesalan. Seakan baru tersadar betapa bodohnya keputusannya.
Arif: "Gue… Gue cuma pengen dilihat keren, bro. Pengen diakui. Ternyata ambisi gue malah bikin hidup gue berantakan."
Reza menghela napas, lalu menepuk bahu Arif. "Lu masih punya waktu buat beresin ini, Rif. Jual aja HP itu, setidaknya bisa buat bayar sebagian hutang."
Setelah menjual HP itu, Arif akhirnya hanya bisa melunasi sebagian hutangnya. Sisanya, ia harus bekerja keras dan menabung untuk bisa bebas dari beban pinjaman itu.
Beberapa bulan kemudian, Arif jadi lebih tenang, namun ia sadar dirinya harus menabung dari nol. Setiap kali ada HP baru diluncurkan, dia hanya bisa tersenyum pahit, ingatannya kembali pada momen ketika ambisinya membawanya ke lubang masalah yang dalam.
Dalam hati, dia berbisik, “Terima kasih, masa lalu, buat pelajaran ini. Gengsi bukan segalanya, dan kebahagiaan bukan dari barang yang kita genggam.”
Hari-hari Arif berlalu lebih berat dari sebelumnya. Setelah menjual HP mahalnya dan melunasi sebagian hutangnya, ia tetap harus menabung untuk menutup sisa pinjaman. Setiap gaji bulanan yang masuk, sebagian besar langsung habis untuk cicilan. Arif terpaksa menghemat besar-besaran. Nongkrong di kafe, beli pakaian baru, atau sekadar nonton bioskop dengan teman-teman, semua itu kini terasa mewah baginya.
Suatu sore, di kantor
Arif duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer sambil mengerjakan laporan yang tampak seperti tak ada habisnya. Rekannya, Dani, lewat dan menepuk pundaknya.
Dani: "Rif, ngopi sore yuk. Ada tempat baru, katanya keren banget buat nongkrong!"
Arif terdiam sejenak. Dulu, ajakan semacam ini pasti langsung ia terima. Tapi sekarang? Biaya ngopi saja bisa membuat anggaran bulanan jadi kacau.
Arif (memaksakan senyum): "Wah, kayaknya gue nggak bisa, Dan. Lagi banyak kerjaan juga."
Dani: "Oh yaudah deh. Btw, HP baru lu keren banget ya kemarin. Kok sekarang balik ke HP lama lagi?"
Pertanyaan Dani membuat hati Arif mencelos, mengingat kegilaan yang pernah ia lakukan.
Arif (tersenyum kecut): "Ah, itu… pinjem aja dari teman, cuma sementara kemarin."
Dani hanya mengangguk, lalu berlalu pergi. Setelah Dani pergi, Arif kembali menatap layar, merenung dalam sunyi. Ia merasa hidupnya begitu berbeda, tidak ada lagi euforia dari membeli barang mewah atau gadget baru. Tapi di balik kesunyian ini, ia juga merasa lebih ringan. Tanpa hutang menumpuk, ia mulai melihat keindahan kecil dalam kesederhanaan hidupnya sekarang.
Beberapa bulan kemudian
Arif telah berhasil melunasi semua hutangnya, meski butuh waktu yang tidak sebentar. Kini, gajinya bisa ia gunakan sepenuhnya tanpa rasa khawatir dihantui debt collector. Dia belajar untuk lebih menghargai uang dan tidak lagi mudah tergiur oleh tren dan keinginan gengsi semata.
Suatu hari, Arif diajak Reza untuk menemani ke pusat elektronik. Reza ingin membeli HP baru untuk adiknya yang sedang masuk kuliah. Saat mereka melewati etalase penuh gadget terbaru, Arif tak bisa menahan senyum kecil melihat deretan HP mahal berkilauan.
Reza: "Rif, lu beneran udah nggak kepikiran beli HP kayak gitu lagi? Dulu aja waktu HP terbaru muncul, lu yang paling semangat antri."
Arif tertawa kecil, teringat betapa gilanya ia dulu.
Arif: "Heh, sekarang sih kalau gue liat HP mahal, yang gue liat cuma angka cicilannya. Nggak worth it, bro."
Reza: "Nah, mantap. Jadi lebih bijak sekarang nih."
Arif mengangguk mantap, merasa bangga dengan perubahan dirinya. Kehidupan yang lebih sederhana membuatnya lebih tenang dan fokus pada hal-hal yang lebih penting.
Malam itu, Arif kembali di kamar, sendirian.
Ia menatap HP lamanya yang telah setia menemani, lalu merenung sambil berkata dalam hati, “Siapa sangka hidup tenang itu ternyata nggak semahal yang gue kira. Gue cuma perlu lebih menghargai apa yang ada.”
Arif kini hidup dengan lebih bijak. Ambisinya untuk terlihat keren kini tergantikan dengan keinginan untuk hidup nyaman dan damai, tanpa beban hutang atau keinginan gengsi yang mengekang. Setiap langkah hidupnya kini lebih penuh syukur, dan ia belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari apa yang terlihat di permukaan, melainkan dari hati yang merasa cukup. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.