09 Juni 2009

Yang Tak Punya Malu

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Dengan kulitku yang putih dan bersih, aku sekilas tak tampak seperti orang tak punya. Tetangga kami semua nampak bingung dengan kulitku yang putih dan bersih, karena kedua orang tuaku berkulit sangat berbeda denganku.

Kulit kedua orang tuaku agak sawo matang. Namun seputih kulitku ini tak seputih jalan kehidupanku. Telah begitu banyak pahit getir yang telah kulalui. terlahir dari keluarga tak mampu. Aku tak tau siapa sebenarnya ayahku. Ini disebabkan oleh Ibuku yang terpaksa harus mengamen di dalam bus kota di jakarta, pindah dari satu bus ke bus kota yang lain. Membuat ia terbiasa dengan hiruk pikuknya malam seperti tiada bertepi. Manusia - manusia yang mengadu nasib di jalan terbiasa dengan kehidupan bebas, mereka selalu lupa akan adanya aturan agama. Hingga mereka terbenam dalam lautan yang memabukkan meski ada sedikit batin yang bergejolak akan salah yang mereka jalani.

Ibuku telah pasrah, karena telah mengiba kepada beberapa laki-laki teman dekatnya sebelumnya, namun tak juga ada yang mau mengakui aku sebagai anaknya. Hingga suatu hari saat aku terlahir dan telah menghirup udara selama 7 bulan, ada seorang laki-laki yang mau mengakui sebagai ayahku. . Itupun ibuku sebagai istri keduanya. Istri pertamanya telah memiliki empat anak. Bagaimana mungkin ayah menghidupi kedua dapurnya padahal ia berbekal dengan hanya sebuah bajaj tua yang katanya terlampau sering mogok di jalan.

Ibuku yang tegar meski selalu saja ada terbesit kata-kata mengeluh, namun tak pernah aku melihat air matanya sedikitpun seumur hidupku. Ia selalu merawatku dengan kasih yang tulus, meski hidup kami sangat susah. kami semua berupaya untuk tetap dapat bertahan hidup. "Jangan pernah ada kata putus asa" begitu yang selalu kami tanam dalam-dalam di sanubari kami. Ah, begitu bangganya aku pada ibuku.

Di setiap malam tak pernah kami menghirau lagi akan tubuh yang letih sambil menggigil. Ibuku tak pernah lupa menyelimuti aku dengan mantel bekas. Mantel yang masih lumayan bagus, tak ada sisi kainnya yang sobek. Mantel itu berwarna kuning muda, dengan kerah berwarna putih yang pernah didapat dengan cuma-cuma dari bazar sekolah dekat dengan tempat tinggal kami. Pernah suatu ketika aku memohon "kenapa harus malam-malam mengamennya ?". Dengan nada datar ibuku menjelaskan "kalo siang panas, ibu kasian sama kamu".

Kami tinggal bersama nenek. Di sebuah rumah petakan yang kami kontrak per tahun, berukuran 3 X 8 meter. kamar mandi kami cuma satu yang kami pakai bersama dengan sesama tetangga kontrakan. Di rumah nenek, bersama ketiga anaknya kami tinggal bersama. Adik dan kakak ibuku juga harus membanting tulang dengan sama-sama mengadu nasib di jalan pula. Sedang nenek berjualan panganan kecil yang dijajakan di Terminal Bus Kota Blok M.

Bila penumpang bus keliatan telah menyusut, ibuku segera beranjak pulang. sebelumnya menghitung uang yang telah didapatnya hari itu. Kadang ibuku hanya terdiam, lalu bergegas pulang. Kadang juga ibuku nampak tersenyum, bahkan langsung meluncur ke rumah makan untuk membelikan makan malam untuk aku dan sekeluarga di rumah nenek. Mungkin senyumnya itu pertanda ia telah mendapat hasil yang lebih dari yang diinginkannya.

Kehidupan kami nampak terbalik dari kehidupan manusia-manusia normal lainnya. Malam kami jadikan siang, siang kami jadikan malam. Bila malam kami pergi mencari nafkah, Bila siang, kami tertidur dengan pulas. Namun tidur ibuku dan nenek tidak lama, mereka harus menyiapkan panganan yang akan dijual nenek malam nanti.

Mungkin kami ini telah disebut sebagai kaum yang disebut tak punya malu, Kami sudah tak memperdulikan lagi cercaan itu. Yang terpenting bagi kami adalah bagaimana kami bisa bertahan hidup tanpa mencuri.