Di tengah gemerlap kehidupan kota besar, terdapat seorang wanita muda bernama Lila. Lila adalah sosok yang memancarkan semangat dan cita-cita tinggi. Dia bercita-cita untuk mengejar karier di dunia mode, namun di balik senyumnya yang ceria, Lila berjuang dengan kenyataan hidupnya. Dia bekerja paruh waktu di sebuah toko pakaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu keluarganya.
Malam itu, Lila duduk bersama teman-temannya di sebuah kafe yang trendi, sambil menikmati secangkir kopi. Di meja sebelah, sekelompok perempuan berbicara tentang handphone terbaru yang baru diluncurkan. Lila menahan napas, mendengarkan setiap detail yang mereka bicarakan.
“Handphone itu punya kamera 108 MP dan bisa merekam video 8K! Bayangkan, foto-foto kita akan terlihat luar biasa!” seru salah satu teman.
“Dan harganya? Sekitar 20 juta!” jawab yang lain, tertawa. “Tapi siapa yang peduli? Kita butuh untuk terlihat modern dan keren!”
Lila merasa tertekan. Dia sudah menabung, tetapi uangnya belum cukup. Dia ingin sekali memiliki handphone itu agar bisa terlihat seperti teman-temannya, bisa berbagi foto-foto indah di media sosial, dan merasa percaya diri.
“Kenapa kita tidak punya pria kaya yang membelikan kita handphone itu?” Lila bercanda, namun hatinya merutuk.
“Kenapa tidak? Kita bisa mencari!” jawab teman yang lain, tertawa.
Saat Lila pulang malam itu, pikirannya tidak bisa lepas dari obrolan di kafe. Dia terus membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah jika dia memiliki handphone itu. Namun, dia juga tahu bahwa impian itu mungkin tidak akan terwujud dalam waktu dekat.
Beberapa hari kemudian, saat Lila sedang bekerja di toko, seorang pria tampan dan berkelas bernama Arman masuk. Dia mengenakan jas mahal dan memiliki aura yang menarik perhatian banyak orang.
“Hey, bisa bantu saya mencari sesuatu?” tanya Arman dengan suara yang menawan.
Lila, terpesona oleh pesonanya, langsung menjawab, “Tentu, Tuan. Apa yang Anda cari?”
Setelah bercakap-cakap, Lila merasa nyaman dengan Arman. Mereka mengobrol tentang mode, musik, dan impian. Arman tampak sangat tertarik padanya.
“Boleh saya minta nomor telepon Anda?” tanya Arman dengan senyum menggoda.
Lila merasa berdebar-debar. “Tentu saja,” jawabnya, sambil menuliskan nomornya di kertas.
Baca juga Arman, Seorang Driver Ojek Online yang Terjebak dalam Penipuan
Beberapa hari kemudian, Arman menghubungi Lila. Mereka mulai bertemu lebih sering, dan Lila merasa hidupnya berubah. Arman membawanya ke restoran mahal, membelikannya pakaian branded, dan menawarkan gaya hidup yang sebelumnya hanya bisa dia impikan.
Suatu malam, saat mereka makan malam di restoran mewah, Arman menatap Lila dengan serius. “Lila, saya melihat potensi besar dalam diri kamu. Kamu cantik, cerdas, dan penuh semangat. Tapi saya juga melihat bahwa kamu ingin lebih dari sekadar ini.”
“Lebih seperti apa?” tanya Lila, penasaran.
“Lebih dari sekadar pekerjaan paruh waktu. Saya bisa memberikanmu segalanya—mobil, perhiasan, dan juga handphone terbaru yang kamu inginkan. Tapi ada satu syarat,” kata Arman, suaranya lembut namun tegas.
Lila merasa berdebar. “Apa itu?”
“Jadilah wanita saya. Saya tidak akan meminta komitmen, hanya ingin kita saling menikmati hidup ini,” jawab Arman, menatapnya dengan penuh perhatian.
Lila terdiam. Dia tahu ini adalah tawaran yang menggiurkan, tetapi juga berisiko. Dia memikirkan impiannya, handphone yang selama ini diinginkannya, dan kehidupan yang glamor.
“Jadi, saya hanya perlu menjadi wanita simpanan?” tanya Lila, suaranya bergetar.
“Bukan hanya itu. Saya akan membuatmu merasa berarti. Kita akan menjalani hidup yang penuh petualangan,” jawab Arman, tersenyum.
Setelah berhari-hari berjuang dengan pikirannya, Lila akhirnya menerima tawaran itu. Dia terjebak dalam lingkaran kehidupan yang mewah. Arman membawanya ke acara-acara glamor, mengenalkannya dengan orang-orang kaya, dan memberinya barang-barang yang dia impikan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Lila mulai merasakan dampak dari keputusan itu. Meskipun hidupnya terlihat sempurna di permukaan, dia merasa kosong di dalam. Dia kehilangan jati dirinya, dan merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak dia inginkan.
Suatu malam, saat mereka berada di sebuah pesta mewah, Lila melihat sekelompok wanita berbicara tentang kehidupan mereka yang tidak seimbang. Salah satu dari mereka berkata, “Kita mungkin memiliki segalanya, tapi kita tidak memiliki cinta yang tulus.”
Lila merasa hatinya bergetar. Dia mulai menyadari bahwa meskipun Arman memberinya barang-barang mahal, cinta sejatinya tidak ada. Dia tidak ingin hidup hanya untuk memuaskan kebutuhan materi, tetapi juga ingin merasakan cinta yang tulus dan murni.
Setelah pesta itu, Lila memutuskan untuk berbicara dengan Arman. “Arman, kita perlu berbicara,” katanya dengan suara tegas.
Arman mengangkat alisnya, “Ada apa, Lila? Kau terlihat serius.”
“Ini bukan hidup yang aku inginkan. Aku merasa terjebak dalam hubungan ini. Aku ingin menemukan diriku sendiri, bukan hanya menjadi bayangan dari keinginanmu,” ungkap Lila, air mata mengalir di pipinya.
Arman terdiam. “Tapi aku bisa memberimu segalanya. Kenapa kamu ingin meninggalkan semua ini?”
“Karena ini bukan tentang segalanya. Ini tentang menjadi diri sendiri dan menemukan kebahagiaan sejati. Aku ingin mengejar mimpiku di dunia mode, bukan hanya menjadi wanita simpanan,” jawab Lila, dengan keberanian yang baru ditemukan.
Arman menghela napas. “Kalau itu yang kamu inginkan, aku tidak bisa memaksamu. Tapi ingat, hidup ini tidak selalu seindah yang kamu bayangkan.”
Lila menatapnya dengan penuh keyakinan. “Aku lebih memilih ketidakpastian dalam mengejar mimpiku daripada hidup dalam kemewahan tanpa makna.”
Setelah perpisahan itu, Lila merasa lega, meskipun hatinya masih berat. Dia memutuskan untuk kembali ke pekerjaannya di toko dan mulai berinvestasi dalam pendidikan serta karier di dunia mode.
Dengan kerja keras dan tekad, Lila mulai membangun hidupnya kembali. Dia mengikuti kursus desain, mempelajari tren terbaru, dan mulai membuat koleksi pakaian sendiri. Meskipun tidak mudah, dia merasa hidupnya kini memiliki tujuan yang jelas.
Suatu hari, saat dia bekerja di toko, seorang desainer terkenal datang untuk mencari bakat baru. Dia melihat Lila dan terkesan dengan kreativitasnya. “Saya ingin melihat lebih banyak dari karya-karyamu. Kamu punya potensi besar,” kata desainer itu.
Lila tidak bisa mempercayai telinganya. “Benarkah? Terima kasih banyak! Saya sangat ingin bisa bekerja di industri ini.”
Dengan dukungan dari desainer itu, Lila mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam acara mode bergengsi. Dia merasa hidupnya berubah sekali lagi, tetapi kali ini untuk yang lebih baik.
Saat dia melangkah di jalur runway, mengenakan karyanya sendiri, Lila merasa bangga. Dia tahu bahwa dia telah menemukan jalannya sendiri, tanpa harus terjebak dalam lingkaran kehidupan yang mewah tetapi kosong.
Di akhir pertunjukan, Lila berdiri di depan kerumunan, merasakan tepuk tangan yang meriah. Dia tahu bahwa hidupnya kini penuh makna. Dengan keyakinan dan keberanian, dia telah menemukan jalannya sendiri.
Dan meskipun dia tidak memiliki handphone terbaru atau barang-barang mahal, Lila memiliki sesuatu yang lebih berharga: kebahagiaan dan identitas yang telah dia perjuangkan. Dia belajar bahwa hidup yang berarti bukanlah tentang kemewahan, tetapi tentang mengejar impian dan menemukan diri sendiri.
Baca juga Suara-suara Terpinggirkan yang Tersirat dalam Gemerlapnya
Setelah pertunjukan mode yang sukses, Lila merasa seolah-olah dunia terbuka lebar untuknya. Media mulai meliput karyanya, dan dia mendapat tawaran untuk bekerja sama dengan beberapa merek terkenal. Namun, di balik semua kesuksesan itu, Lila tetap ingat akan perjalanan yang telah membawanya ke titik ini.
Suatu hari, saat dia sedang berada di studio untuk sesi pemotretan, Lila menerima pesan dari Arman. Hatinya bergetar ketika melihat namanya. Setelah perpisahan mereka, Lila belum pernah berkomunikasi dengan Arman lagi.
“Lila, aku ingin bertemu. Ada yang ingin kutanyakan.”
Setelah berdebat dalam hati, Lila memutuskan untuk memenuhi permintaan Arman. Dia merasa bahwa dia telah cukup kuat untuk menghadapi pertemuan ini.
Saat mereka bertemu di sebuah kafe, Arman sudah menunggu dengan ekspresi serius. “Makasih telah datang,” katanya. “Aku ingin tahu bagaimana kabarmu.”
Lila mengangguk. “Aku baik-baik saja, Arman. Aku baru saja menyelesaikan pertunjukan mode yang sangat sukses.”
Arman tersenyum tipis, tetapi matanya tampak penuh beban. “Aku senang mendengarnya. Aku juga ingin minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa terjebak dalam hubungan kita.”
“Aku mengerti, Arman. Aku juga berterima kasih atas semua yang kau berikan padaku. Tapi aku sudah memutuskan untuk mengejar mimpiku dengan caraku sendiri,” jawab Lila tegas.
Arman terdiam sejenak. “Aku tahu. Aku melihatmu berkembang dan itu membuatku bangga. Namun, aku juga merasa kehilangan. Mungkin aku tidak memberi cukup ruang untukmu menjadi dirimu sendiri.”
Lila merasakan ketulusan dalam kata-kata Arman. “Mungkin kita berdua belajar dari pengalaman ini. Aku rasa kita memiliki tujuan yang berbeda.”
“Benar,” kata Arman, “tapi aku ingin menawarkan sesuatu yang lain. Aku sedang mempertimbangkan untuk meluncurkan merek fashionku sendiri dan aku ingin kamu menjadi bagian dari itu. Kamu memiliki bakat yang luar biasa.”
Lila terkejut. “Kamu serius? Ini adalah kesempatan besar, tetapi...”
“Dengarkan aku, Lila. Aku tidak ingin kita kembali ke hubungan yang sama. Aku ingin ini murni profesional. Aku percaya kamu bisa membawa merek ini ke arah yang lebih baik,” kata Arman, penuh keyakinan.
Lila merasa bingung, tetapi juga bersemangat. “Ini adalah tawaran yang luar biasa, Arman. Tapi aku perlu waktu untuk memikirkan ini.”
“Ambil waktu yang kamu perlukan. Aku akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu,” jawab Arman, tersenyum tulus.
Setelah pertemuan itu, Lila pulang dengan pikiran yang penuh. Dia tahu bahwa bekerja dengan Arman bisa membuka banyak pintu, tetapi dia juga tidak ingin jatuh kembali ke dalam pola lama. Dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan ibunya.
Di rumah, Lila duduk bersama ibunya, Mira. “Ma, aku baru saja bertemu Arman. Dia menawarkan untuk bekerja sama dalam proyek fashion baru,” ungkap Lila.
Mira mengerutkan dahi. “Apakah kamu yakin itu keputusan yang tepat? Aku tahu hubunganmu dengan dia sebelumnya.”
“Iya, Ma, itu yang membuatku ragu. Tapi dia bilang ingin ini menjadi murni profesional. Aku merasa ini bisa jadi peluang bagus untukku,” kata Lila, berusaha meyakinkan ibunya.
“Kalau kamu merasa nyaman dan yakin bisa menjaga batasan, mungkin ini bisa menjadi langkah baik. Tapi jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri,” nasihat Mira.
Setelah berbicara dengan ibunya, Lila merasa lebih tenang. Dia memutuskan untuk menerima tawaran Arman, tetapi dengan syarat bahwa mereka harus menetapkan batasan yang jelas.
Setelah beberapa minggu bekerja sama, Lila mulai merasakan semangat baru. Mereka merancang koleksi yang terinspirasi oleh keindahan kota dan gaya hidup modern. Setiap harinya, Lila menemukan kebahagiaan baru dalam menciptakan sesuatu yang berarti.
Namun, di tengah kesibukan itu, Lila juga mulai merasakan kerinduan akan hidup yang lebih sederhana. Suatu malam, saat mereka sedang mengerjakan presentasi untuk peluncuran merek, Lila mengalihkan perhatian sejenak dan menatap ke luar jendela.
“Arman, apakah kamu pernah merasa bahwa hidup ini terlalu cepat berlalu?” tanyanya tiba-tiba.
Arman menatapnya, tampak berpikir. “Kadang-kadang, aku merasa terjebak dalam kesibukan dan tidak cukup menikmati momen. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.”
Lila mengangguk. “Aku merasakannya juga. Kita terlalu fokus pada kesuksesan dan pengakuan, sampai lupa untuk menikmati prosesnya.”
“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Arman, tertarik.
“Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga dan teman-temanku. Kita harus ingat bahwa mereka adalah bagian penting dari hidup kita,” jawab Lila.
Arman tersenyum. “Kau benar. Mungkin kita perlu merencanakan sesuatu untuk bersantai setelah peluncuran.”
Dengan semangat baru, mereka merencanakan liburan kecil setelah peluncuran merek. Lila merasa sangat antusias. Dia tahu bahwa meskipun dia telah terjebak dalam kehidupan yang mewah, dia tidak ingin kehilangan jati dirinya.
Akhirnya, peluncuran merek itu tiba. Lila dan Arman berdiri di tengah kerumunan, melihat para tamu yang terpesona oleh koleksi mereka. Lila merasa bangga dengan apa yang telah mereka capai.
Saat acara berlangsung, Arman berbisik, “Aku sangat bangga padamu, Lila. Tanpa kamu, merek ini tidak akan ada.”
“Terima kasih, Arman. Ini adalah hasil kerja keras kita bersama,” jawab Lila, merasakan kebahagiaan yang tulus.
Setelah peluncuran yang sukses, mereka pergi berlibur ke pantai. Di sana, Lila menikmati waktu bersama Arman dan tim mereka. Mereka bersenang-senang, bermain, dan beristirahat dari kehidupan yang penuh tekanan.
Suatu malam, saat matahari terbenam, Lila dan Arman duduk di tepi pantai. “Kau tahu, Lila, aku tidak ingin kita hanya menjadi rekan kerja. Aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita,” kata Arman.
Lila menatap Arman, hatinya bergetar. “Aku juga merasakannya, tapi aku takut kembali ke pola lama. Kita sudah sepakat untuk menjaga hubungan ini profesional.”
“Benar, tapi aku ingin mencoba lagi. Aku belajar banyak dari pengalaman kita sebelumnya, dan aku yakin kita bisa melakukannya dengan cara yang lebih baik,” kata Arman, dengan harapan di matanya.
Lila menimbang-nimbang. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mencintai dan dicintai, tetapi dia juga tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. “Kita bisa mencoba, tetapi dengan hati-hati. Kita harus saling jujur dan menjaga batasan,” ujarnya.
Arman mengangguk. “Aku setuju. Mari kita ambil langkah kecil.”
Hari-hari berlalu, dan Lila dan Arman mulai menjalin hubungan yang lebih dalam, tetapi tetap menjaga komitmen terhadap karier mereka. Mereka saling mendukung dan memberikan ruang untuk tumbuh, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan.
Dalam perjalanan menuju kesuksesan, Lila belajar bahwa hidup tidak hanya tentang materi dan kemewahan, tetapi tentang hubungan yang tulus dan saling menghargai. Dia menemukan kembali kebahagiaan yang sejati—sebuah kehidupan yang seimbang antara mengejar impian dan mencintai dengan tulus.
Akhirnya, Lila berhasil membangun merek fashion yang dikenal luas, tetapi lebih dari itu, dia menemukan cinta yang sejati dan persahabatan yang kuat. Dia menyadari bahwa perjalanan hidupnya adalah tentang menemukan arti sebenarnya dari kebahagiaan—bukan hanya dari kemewahan, tetapi dari hubungan yang saling menguatkan dan mendukung satu sama lain.
Dengan keberanian dan tekad, Lila melangkah ke masa depan yang cerah, siap menghadapi tantangan apa pun yang akan datang, sambil tetap setia pada jati dirinya. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.