Jakarta, ibu kota Indonesia, berdiri megah dengan cahaya neon yang berkelap-kelip dan suara klakson mobil yang berirama. Setiap malam, kota ini bagaikan lukisan hidup yang tak pernah pudar, memancarkan daya tarik yang menghipnotis jutaan orang. Namun, di balik gemerlap dan kemewahan itu, tersimpan kisah-kisah yang seringkali terabaikan—kisah tentang mereka yang terpinggirkan.
Di sebuah sudut kecil di kawasan Jakarta Selatan, tepat di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit, terdapat sebuah warung kecil yang dikelola oleh Ibu Sari, seorang janda berusia empat puluh tahun. Warungnya adalah satu-satunya tempat di mana suara-suara terpinggirkan ini berkumpul, berbagi cerita, dan berharap. Aroma nasi goreng dan sambal terasi memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya kehidupan urban.
Malam itu, ketika lampu-lampu kota bersinar terang, sekelompok lelaki dan perempuan duduk melingkar di depan warung. Ada Budi, seorang pemuda yang baru saja kehilangan pekerjaannya, dan Rina, seorang ibu muda yang berjuang untuk menyekolahkan anaknya. Mereka sering berkumpul di warung ini, berbagi harapan dan ketakutan.
“Budi, bagaimana keadaanmu setelah di PHK?” tanya Rina, suaranya lembut namun penuh kepedihan.
Budi menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah trotoar. “Susah, Rin. Aku sudah cari kerja ke sana sini, tapi semua pintu tertutup. Kadang aku merasa, apa gunanya semua ini? Di luar sana, orang-orang kaya semakin kaya, sementara kita... kita hanya berjuang untuk bertahan.”
Ibu Sari, yang mendengar percakapan mereka dari balik meja, menghampiri. “Nak, ingatlah, meskipun dunia ini keras, kita masih memiliki satu sama lain. Jangan biarkan kesulitan membuatmu putus asa.”
Baca juga Kehampaan Seorang Lusi yang Menghantui
Rina mengangguk, tetapi wajahnya menunjukkan beban yang berat. “Tapi, Bu, bagaimana aku bisa memberi makan anakku? Biaya sekolahnya terus meningkat. Teman-temanku di kantor juga bilang, untuk sukses di Jakarta, kita harus beradaptasi dengan cara-cara yang mereka lakukan.”
“Cara-cara apa, Rin?” Budi bertanya, nada suaranya mulai meninggi. “Apakah kita harus mengorbankan diri kita hanya untuk mengikuti permainan mereka?”
Suasana semakin tegang. Rina terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kadang aku berpikir, jika aku harus bekerja di tempat yang tidak seharusnya, demi anakku, apa itu salah?”
“Jangan pernah merasa bersalah untuk memperjuangkan hidupmu, Rin. Tapi ingat, ada batasan yang tidak boleh kita lewati,” Ibu Sari menambahkan, matanya tajam menatap Rina.
Di luar, suara riuh kota semakin membesar. Kereta cepat melintas, dan lampu-lampu dari pusat perbelanjaan mengingatkan mereka akan dunia lain yang berbeda—dunia yang tidak pernah mereka masuki.
“Lihat, di luar sana mereka berpesta,” Budi berkata sambil menunjuk ke arah mal megah yang ramai. “Tapi di sini, kita berjuang untuk makan dan bertahan hidup. Apakah mereka pernah berpikir tentang kita?”
“Kadang, aku bertanya-tanya, apa yang terjadi jika kita semua bersatu?” Rina berkata, harapan muncul di matanya. “Jika kita bisa menunjukkan kepada mereka, bahwa di balik kilau Jakarta ada banyak kehidupan yang layak diperjuangkan?”
Ibu Sari tersenyum lembut, “Itulah kekuatan kita, anak-anak. Suara-suara kita mungkin kecil, tetapi jika kita bersatu, bisa jadi kita akan mengguncang dunia mereka.”
Baca juga Melodi Kehidupan Elfa
Malam semakin larut, tetapi percakapan mereka belum juga usai. Di bawah langit Jakarta yang berkilau, mereka merangkai mimpi dan harapan, mengalir dalam suara-suara yang tak terpinggirkan. Di balik kilauan kota yang megah, mereka menemukan cahaya harapan yang takkan pernah padam.
Jakarta memang bersinar dengan segala kemewahan dan kesuksesan, tetapi di balik itu semua, ada jiwa-jiwa yang terus berjuang, bercerita, dan berusaha untuk mengubah takdir mereka. Dan di warung kecil ini, di tengah hingar bingar kehidupan, mereka menemukan kekuatan untuk terus melangkah.
Malam itu kian larut, tapi obrolan di warung Ibu Sari malah makin hidup. Setiap orang di sana punya cerita masing-masing, dan meskipun kisah mereka sering kali pahit, selalu ada secercah harapan yang membuat mereka bertahan. Budi, yang tadinya termenung, perlahan tersenyum kecil mendengar ucapan Rina dan Ibu Sari. Suara jangkrik samar-samar terdengar di kejauhan, berbaur dengan deru kendaraan yang tiada henti.
“Kalian bener,” kata Budi akhirnya, menatap kedua wanita itu. “Kita mungkin nggak punya apa-apa, tapi kita punya satu sama lain.”
Rina tersenyum lelah, tapi tulus. “Iya, Bud. Kita harus terus berjuang, nggak peduli gimana beratnya. Anak-anak kita masih butuh kita, dan aku percaya, pasti ada jalan kalau kita terus berusaha.”
Ibu Sari mengangguk setuju. “Jangan lupa, kita ini bagian dari Jakarta juga. Mungkin kita nggak ada di layar TV, atau di gedung-gedung tinggi itu, tapi kita adalah denyut nadi kota ini. Tanpa kita, mereka juga nggak akan bisa hidup seperti itu.”
Tiba-tiba, suara motor berhenti di depan warung. Seorang pria berjaket lusuh turun dengan kantong plastik di tangan. Itu Joko, tetangga mereka yang bekerja sebagai tukang ojek online. Dia sering mampir ke warung Ibu Sari untuk melepas lelah setelah seharian berkeliling kota.
“Nih, Bu, saya bawain sedikit bahan makanan buat tambah-tambah stok warung,” katanya sambil menyerahkan kantong itu ke Ibu Sari. “Rezeki hari ini lumayan, Alhamdulillah.”
“Wah, terima kasih banyak, Joko,” jawab Ibu Sari dengan senyum hangat. “Kamu selalu ingat sama warung kecil ini.”
Joko menggaruk-garuk kepala. “Ah, nggak ada apa-apanya, Bu. Ini cuma sebagian kecil dari yang saya dapat hari ini.”
Setelah itu, Joko bergabung dengan mereka, duduk di bangku panjang yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Percakapan mereka berlanjut, dari topik kerja keras hingga harapan mereka akan masa depan. Di tengah obrolan, tiba-tiba Rina teringat sesuatu.
“Kalian tahu nggak, ada gerakan di media sosial yang mulai viral, soal orang-orang kecil yang kayak kita. Mereka minta perhatian pemerintah buat nasib kita, yang sering diabaikan ini,” katanya antusias.
Budi mengangkat alis. “Gerakan apa, Rin? Kayaknya seru tuh.”
Rina mengambil ponselnya dan menunjukkan akun media sosial yang dia maksud. “Ini, namanya *Suara Jakarta*. Mereka udah mulai banyak pengikut, dan kayaknya bakal gede deh. Mereka ajak orang-orang buat bersuara, kasih tahu dunia kalau Jakarta nggak cuma soal yang gemerlap.”
Ibu Sari tersenyum mendengar itu. “Mungkin inilah waktunya. Kita memang kecil, tapi suara kita nggak boleh diabaikan. Kalau kita semua bersuara, mungkin Jakarta akan mendengar.”
Malam semakin larut, tapi ada semangat yang menyala dalam hati mereka. Di balik kilau kota yang terus berputar dengan cepat, ada kekuatan yang muncul dari mereka yang selama ini terpinggirkan. Di warung kecil itu, mereka tak hanya berbagi makanan, tetapi juga harapan. Harapan bahwa suatu hari, suara mereka akan didengar, dan mereka akan menjadi bagian dari Jakarta yang lebih adil dan merata.
Dan meskipun lampu kota di kejauhan tampak semakin terang, mereka tahu bahwa terang yang sesungguhnya ada di hati mereka, di dalam kebersamaan dan perjuangan yang tak pernah padam. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.