26 Oktober 2024

Derita Para Pekerja Malam yang Terlupakan

Derita Para Pekerja Malam yang Terlupakan
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisahMalam di Jakarta bukan hanya tentang pesta dan keceriaan, namun juga tentang derita para pekerja malam yang terpinggirkan oleh masyarakat. Bagaimana mereka bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan di kota yang seringkali melupakan eksistensi mereka ?

Malam di Jakarta memiliki dua wajah yang kontras. Di satu sisi, kita melihat lampu-lampu neon gemerlap, musik yang membahana dari klub malam mewah, dan orang-orang berdandan glamor yang siap merayakan kehidupan di salah satu kota terbesar di dunia. Namun di sisi lain, di balik bayang-bayang kemewahan itu, tersembunyi realitas yang keras—dunia para pekerja malam yang tak pernah tersorot kamera dan dilupakan oleh banyak orang.

Malam itu, Jamal, seorang pria berusia 35 tahun, mengayuh becaknya di tengah dinginnya malam. Wajahnya yang tirus dan kulitnya yang mulai keriput menunjukkan betapa kerasnya hidup yang dia jalani. Di bawah jembatan layang Cawang, Jamal sering berhenti sejenak untuk sekadar menghela napas atau menyeka peluh. Ia sudah 10 tahun menarik becak di Jakarta, dan setiap hari semakin sulit. Penumpang semakin jarang, sementara biaya hidup terus melambung.

Di sebelahnya, Wati, seorang perempuan berusia 28 tahun dengan dua anak yang harus diberi makan, berdiri di pinggir jalan dengan gerobak gorengan kecilnya. Ia mulai berjualan sejak sore, dan sampai malam belum juga habis dagangannya. Tubuhnya lelah, tapi tak ada pilihan lain. Setiap potongan gorengan yang terjual bisa membantu menghidupi anak-anaknya yang menunggu di rumah. Namun malam itu, Wati belum mendapatkan cukup uang untuk membeli susu anak bungsunya.

"Aduh, Mas Jamal, gimana ini ya?" keluh Wati, matanya memandang kosong ke jalanan yang sepi. "Udah tengah malam, gorengan ini masih banyak. Besok udah nggak bisa dijual lagi, pasti basi."

Jamal berhenti mengayuh becaknya, menoleh ke arah Wati. "Sabar, Bu Wati. Kita memang lagi diuji. Orang-orang sekarang lebih suka beli makanan di mal, di restoran mahal. Nggak kayak dulu. Tapi kita tetap harus berjuang."


Baca juga Cinta Terlarang Sahabatku


Wati menghela napas panjang, matanya yang lelah berkaca-kaca. "Iya, Mas. Tapi gimana ya, setiap hari rasanya makin berat. Kadang aku ngerasa nggak sanggup lagi. Anak-anak di rumah cuma bisa nunggu, nggak ngerti betapa susahnya cari uang di jalanan kayak gini."

Dari kejauhan, terlihat Bayu, seorang petugas kebersihan yang baru saja selesai menyapu jalan di kawasan Menteng. Masih mengenakan rompi hijau tuanya yang pudar, ia melangkah ke arah mereka dengan langkah gontai. Bau asap kendaraan yang menyengat sudah menjadi teman sehari-harinya, dan setiap malam ia harus membersihkan sampah yang ditinggalkan orang-orang yang menikmati gemerlap malam Jakarta. Bayu bergabung dengan mereka di bawah jembatan layang, duduk di pinggir trotoar dengan wajah yang juga lelah.

"Malem-malem gini, masih belum pulang, ya?" sapa Bayu sambil menyeka keringat di dahinya. "Rasanya, kalau kita nggak kerja malam, Jakarta ini bakal tenggelam sama sampah. Tapi ya begitulah, nggak ada yang peduli sama kita."

Jamal mengangguk, "Betul, Bayu. Orang-orang cuma lihat Jakarta yang bersih di pagi hari, tapi nggak ada yang tau siapa yang bikin semua itu terjadi. Kita ini cuma bayangan, terlupakan di balik semua keramaian kota."

Wati menunduk, mencoba menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. "Kita hidup di kota yang sama, tapi rasanya kita nggak benar-benar hidup di dalamnya. Aku lihat orang-orang naik mobil mewah, keluar dari restoran mahal, tapi kita? Kita bahkan nggak bisa beli makanan buat keluarga kita."

Bayu, dengan suara serak, menambahkan, "Aku kadang mikir, apa hidup ini adil? Kita yang kerja keras malam-malam, nguras tenaga, nggak pernah dapat penghargaan. Tapi mereka yang cuma duduk-duduk di kursi nyaman, bisa dapet segala-galanya."

Mereka bertiga terdiam sejenak, hanya ditemani suara klakson kendaraan yang sesekali memecah keheningan malam. Kota Jakarta terus bergerak, tak peduli pada derita yang tersembunyi di balik bayang-bayangnya.

Tiba-tiba, sebuah motor berhenti di depan mereka. Seorang pria muda turun, mengenakan jaket kulit yang terlihat cukup mahal. Dia menoleh ke arah Jamal, Wati, dan Bayu, seolah-olah menyadari sesuatu.

"Permisi, Pak. Bu. Bisa minta tolong beli gorengan?" pria itu bertanya pada Wati.

Wati terkejut, tak menyangka akan ada yang membeli gorengannya di tengah malam seperti ini. Dengan cepat, ia berdiri dan menyiapkan beberapa bungkus gorengan.

"Tentu, Mas. Mau yang mana aja?" tanya Wati dengan senyum samar, meski hatinya masih dibayangi kelelahan.

"Semua deh, Bu. Saya beli semua gorengan Ibu," jawab pria itu dengan nada tenang.

Wati tertegun. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir. "Makasih, Mas... Makasih banyak..."

Pria itu hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma kebetulan lewat. Semoga ini bisa sedikit membantu."


Baca juga Sakit Karena Jerat Arisan

 
Setelah membayar, pria itu segera pergi, meninggalkan mereka dalam keheningan. Wati memandang uang di tangannya, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasakan harapan.

Jamal menatap Wati, tersenyum kecil. "Lihat, Bu. Mungkin memang ada orang-orang yang peduli sama kita, meski kita nggak selalu lihat."

Bayu menambahkan, "Betul. Kita memang sering dilupakan, tapi itu bukan berarti kita nggak ada artinya. Mungkin nggak semua orang tahu apa yang kita alami, tapi selama kita masih punya harapan, kita bisa terus bertahan."

Malam itu, meski kota Jakarta terus berputar dalam gemerlapnya, di bawah jembatan layang itu, ada secercah harapan yang terlahir. Mereka adalah para pekerja malam yang sering terlupakan, tapi mereka adalah bagian dari denyut nadi Jakarta. Di tengah kerasnya kehidupan kota, mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan, dan meski hidup tak selalu adil, mereka terus berjuang, malam demi malam.

Kehidupan memang keras bagi mereka yang bekerja dalam gelap, jauh dari sorotan lampu kota. Namun, dalam keheningan malam, suara mereka yang tak terdengar itu sesungguhnya sangat berarti. Di balik deru kendaraan dan gemerlap malam Jakarta, ada cerita tentang keteguhan hati, tentang keberanian, dan tentang harapan yang tak pernah padam. 

Malam kian larut, namun suasana di bawah jembatan layang Cawang tetap terasa hangat meski dingin mulai menggigit. Wati, Jamal, dan Bayu masih duduk di sana, memandangi jalan yang semakin sepi. Tangan Wati terus memegang uang dari pria tadi, seolah tak percaya bahwa sedikit keberuntungan baru saja menghampirinya. Namun, di balik senyum yang mulai merekah, hati mereka tahu bahwa kehidupan malam di Jakarta tetap penuh tantangan.

“Masih nggak percaya ya, Bu?” tanya Jamal, sedikit menertawakan wajah terkejut Wati.

Wati mengangguk pelan. “Iya, Mas. Sepertinya kayak mimpi. Biasanya kalau ada yang lewat malem-malem gini, paling cuma nanya-nanya nggak penting. Tapi tadi... dia beli semua gorengan. Semua.”

Bayu, yang masih duduk dengan rompi hijaunya, menatap jalan dengan tatapan kosong. “Yah, itu memang sedikit keajaiban di tengah malam yang kelam. Tapi yang kayak gitu jarang banget terjadi. Besok, kita kembali lagi ke kenyataan.”

Percakapan itu mendadak terhenti saat suara langkah kaki mendekat dari kejauhan. Seorang perempuan dengan pakaian lusuh, membawa tas besar di pundaknya, berjalan gontai ke arah mereka. Wajahnya penuh debu, dan matanya sembab seolah habis menangis. Dia terlihat kebingungan, mencari sesuatu di antara tumpukan kardus bekas dan gerobak-gerobak pedagang yang berserakan.

Wati menoleh, memandang perempuan itu dengan cemas. “Mbak, kenapa? Ada yang bisa kami bantu?”

Perempuan itu berhenti di depan mereka, menunduk dan menangis pelan. “Saya... saya nggak punya tempat buat tidur malam ini. Suami saya baru saja dipecat, dan kami diusir dari kontrakan. Kami nggak tahu harus ke mana.”

Air mata Wati ikut mengalir mendengar cerita perempuan itu. Rasanya sangat akrab—kesulitan yang dihadapi perempuan itu juga pernah ia rasakan.

“Tenang, Mbak,” kata Jamal, mencoba menenangkan. “Di sini memang nggak ada banyak, tapi kita bisa duduk bareng dulu. Mungkin ada jalan nanti.”

Perempuan itu, yang mengaku bernama Nia, duduk bersama mereka. Dia menceritakan bagaimana suaminya, yang bekerja sebagai kuli bangunan, dipecat tanpa pesangon karena proyek tempat dia bekerja ditunda tanpa kejelasan. Kontrakan mereka menunggak, dan si pemilik rumah tidak mau lagi memberi tenggang waktu. Akhirnya, mereka diusir. Suaminya kini entah di mana, pergi mencari pekerjaan baru sementara Nia dan anaknya terlunta-lunta di jalan.

Wati mengusap punggung Nia, mencoba memberi sedikit kenyamanan di tengah dinginnya malam. “Mbak Nia, saya ngerti rasanya. Saya juga pernah ada di posisi Mbak. Tapi kita nggak boleh putus asa. Lihat saya sekarang, jualan gorengan tiap malam buat anak-anak di rumah. Memang berat, tapi hidup kita nggak akan berhenti di sini.”

Jamal, yang sedari tadi diam, akhirnya bicara. “Kamu tahu, Nia? Di Jakarta ini, kita yang kerja di malam hari sering dilupakan. Tapi tanpa kita, kota ini nggak akan bisa berdiri seperti sekarang. Kita mungkin terpinggirkan, tapi kita adalah pahlawan yang tak terlihat.”

Bayu menimpali, “Dan meskipun kita nggak dihargai, kita harus saling bantu. Itu satu-satunya cara kita bisa bertahan di kota besar ini. Kalau kita nggak saling peduli, siapa lagi?”

Nia menatap mereka bertiga, wajahnya mulai sedikit tenang meski masih diliputi ketakutan. “Tapi bagaimana caranya bertahan? Semua terasa begitu sulit.”

Wati tersenyum lembut. “Satu hari, satu langkah. Mulai dari hal kecil. Kamu bisa bantuin saya jualan besok kalau mau. Kita bagi hasil. Yang penting, kamu nggak sendirian. Di Jakarta ini, kita semua sama-sama berjuang.”

Mata Nia berbinar sejenak, seolah menemukan secercah harapan di tengah kegelapan hidupnya. “Beneran, Mbak? Saya boleh bantuin?”

“Tentu saja, Nia. Di sini nggak ada yang berjuang sendirian,” jawab Wati dengan tegas.

Malam terus berlalu, tapi di bawah jembatan layang itu, mereka menemukan sesuatu yang tak ternilai harganya—sebuah solidaritas yang muncul dari penderitaan yang sama. Jamal, Bayu, Wati, dan Nia mungkin adalah bagian dari sisi Jakarta yang tak pernah terlihat oleh kebanyakan orang, tapi mereka adalah bukti bahwa di balik kerasnya kehidupan malam di kota ini, ada kekuatan besar yang terletak dalam persaudaraan dan saling peduli.

Ketika Nia bersiap untuk tidur di gerobak milik Wati, Jamal kembali mengayuh becaknya, menyusuri jalanan Jakarta yang mulai sepi. Bayu melangkah pulang dengan langkah lelah, tapi ada senyum kecil yang menghiasi wajahnya. Sementara itu, Wati berbaring sejenak di dekat gerobaknya, merenungkan malam yang baru saja ia lalui. Ia tahu besok akan kembali berat, tapi setidaknya malam ini mereka berhasil bertahan—bersama-sama.

Dan begitu fajar mulai menyingsing, cahaya pertama yang memecah kegelapan adalah simbol harapan kecil bagi mereka yang terlupakan di malam Jakarta. Kota ini mungkin penuh dengan kesenjangan dan ketidakadilan, tapi bagi mereka yang bekerja dalam gelap, malam adalah waktu untuk saling mendukung dan terus bertahan, melawan semua tantangan yang menghadang.
Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.