Olivia dan Mufti telah bersahabat sejak SMA. Mereka berdua selalu bisa saling mengandalkan, berbagi tawa dan air mata, serta saling mendukung dalam segala hal. Namun, ada satu hal yang Olivia simpan rapat-rapat—perasaannya yang mendalam kepada suami Mufti, Dito.
Dito adalah pria yang penuh pesona, dengan senyum yang dapat membuat siapa pun jatuh hati. Ketika Mufti menikah dengan Dito, Olivia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dan merelakan cintanya demi kebahagiaan sahabatnya.
Suatu sore, Olivia dan Mufti duduk di kafe favorit mereka. Aroma kopi segar dan kue manis memenuhi udara. Mufti terlihat gelisah, memainkan gelasnya. “Olivia, aku butuh bicara tentang Dito,” katanya dengan suara yang penuh beban.
Olivia menahan napas, merasakan detak jantungnya meningkat. “Tentu, Mufti. Ada apa? Kau tahu aku selalu ada untukmu.”
Mufti menghela napas panjang, “Aku merasa akhir-akhir ini Dito menjauh. Dia seolah-olah lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan tidak lagi peduli padaku seperti dulu.”
Olivia berusaha menenangkan sahabatnya, meskipun hatinya terasa sakit. “Mungkin dia hanya sibuk dengan pekerjaan. Kalian baru saja menikah, jadi ada banyak hal yang perlu disesuaikan.”
“Tapi aku khawatir,” Mufti melanjutkan, “Dia tidak seperti biasanya. Seakan ada sesuatu yang mengganggunya. Aku mencoba berbicara dengannya, tapi dia selalu mengalihkan topik.”
Olivia ingin memberi dukungan tanpa terlihat mencurigakan. “Cobalah untuk lebih terbuka. Mungkin dia butuh waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan baru.”
Mufti mengangguk, tapi Olivia bisa melihat kecemasan di mata sahabatnya. “Aku hanya ingin hubungan kami kembali seperti semula. Dia adalah segalanya bagiku.”
Seminggu berlalu, Mufti terus curhat kepada Olivia tentang pernikahannya. Olivia mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi hatinya semakin tertekan. Setiap kali Mufti menyebut nama Dito, seolah-olah ada jarum yang menusuk hatinya.
Suatu malam, mereka bertemu di rumah Mufti untuk makan malam. Dito datang terlambat, dan saat dia masuk, suasana terasa lebih ceria. Olivia tidak bisa menahan senyumnya melihat Dito, tetapi ia segera mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam perasaan itu.
“Maaf, aku terlambat. Ada meeting yang berjalan lebih lama dari yang kuharapkan,” Dito berkata sambil tersenyum kepada Mufti.
“Tidak apa-apa, sayang. Yang penting kamu sudah datang,” Mufti menjawab, berusaha keras menunjukkan senyuman.
Baca juga Sakit Karena Jerat Arisan
Selama makan malam, Olivia memperhatikan interaksi mereka. Ada ketulusan di mata Mufti ketika melihat Dito, tapi ada juga bayang-bayang kesedihan. Olivia mencoba berpartisipasi dalam percakapan, tetapi hatinya terasa berat.
Setelah makan malam, saat Dito pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Mufti mendekati Olivia dan berbisik, “Apa kamu melihat betapa senangnya dia? Aku hanya berharap itu bisa bertahan.”
Olivia tersenyum, meski hatinya hancur. “Tentu saja. Dito adalah orang yang baik, Mufti. Kau sangat beruntung memilikinya.”
Ketika Dito kembali, Olivia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dito berbicara dengan hangat dan tertawa, tetapi Olivia bisa melihat sorot matanya—seolah ada sesuatu yang mengganjal. Saat malam berakhir, Olivia berusaha berpikir positif. Namun, setiap senyuman Dito terasa semakin menyakitkan.
Beberapa bulan berlalu, dan masalah dalam pernikahan Mufti semakin rumit. Dito semakin sering pulang larut malam, dan Mufti merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Olivia, yang tetap menjadi tempat curhat Mufti, merasa tertekan. Ia ingin membantu sahabatnya, tetapi setiap kata-kata Mufti tentang Dito semakin membuat hatinya teriris.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman, Mufti memandang Olivia dengan serius. “Olivia, aku merasa ada yang tidak beres dengan Dito. Dia terlihat jauh, dan aku takut ada yang salah.”
Olivia berusaha tetap tenang, meskipun hatinya bergetar. “Mungkin dia sedang menghadapi masalah di tempat kerja. Cobalah untuk memberi dukungan dan kasih sayang lebih.”
“Tapi aku sudah melakukannya!” Mufti menjawab dengan frustrasi. “Aku sudah mencoba semuanya, tapi sepertinya dia tidak mau terbuka padaku!”
Dalam hati, Olivia berdoa agar Mufti bisa mendapatkan jawaban yang ia cari, tetapi ia juga tahu bahwa setiap kebenaran akan menyakitkan.
Baca juga Cinta Sejati Seorang Irda
Beberapa hari kemudian, Mufti mengajak Olivia untuk menemui Dito di sebuah acara keluarga. Saat mereka tiba, suasana terlihat ceria, namun Olivia merasakan ketegangan di antara Mufti dan Dito. Ketika acara berakhir, Mufti meminta Dito untuk pulang lebih awal.
“Dito, bisa kita bicara sebentar?” Mufti berkata dengan nada serius.
Dito menatapnya, tampak bingung. “Tentu, ada apa?”
Olivia berdiri di samping mereka, merasakan jantungnya berdebar. “Aku akan menunggu di mobil,” katanya sambil pergi menjauh.
Di dalam mobil, Olivia duduk dengan gelisah, menunggu kabar dari Mufti. Beberapa menit terasa seperti selamanya, dan akhirnya Mufti masuk ke mobil dengan wajah pucat.
“Mufti, apa yang terjadi?” tanya Olivia cemas.
Mufti hanya bisa menundukkan kepala. “Dito… dia bilang… dia merasa tertekan dengan pernikahan ini. Dia merasa tidak siap.”
Olivia merasakan hatinya terjepit. “Apa maksudnya?”
“Dia bilang dia butuh waktu untuk menemukan dirinya sendiri,” Mufti menjelaskan, suaranya bergetar. “Dia ingin berpisah.”
Air mata mengalir di pipi Mufti. Olivia merasa hatinya hancur melihat sahabatnya menderita. “Tapi, Mufti, kau sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya bahagia. Ini bukan kesalahanmu.”
“Tidak! Aku tidak bisa membiarkannya pergi! Dia adalah segalanya bagiku!” Mufti terisak.
Olivia menahan tangisnya. Ia ingin menghibur Mufti, tetapi juga merasakan kegelisahan yang mendalam. “Kau harus memberi dia ruang. Mungkin ini yang dia butuhkan.”
Setelah beberapa minggu yang menyakitkan, Mufti berusaha untuk berdamai dengan situasinya. Olivia selalu ada di sampingnya, tetapi perasaan yang terpendam di hati Olivia semakin sulit ditahan.
Suatu malam, mereka berada di rumah Mufti, dan setelah berbincang-bincang, Olivia merasa saatnya telah tiba. “Mufti, ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
Mufti menatapnya, terlihat lelah. “Apa itu, Olivia?”
Olivia menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku mencintai Dito.”
Suasana seketika hening. Mufti menatap Olivia dengan mata penuh kejutan dan sakit hati. “Apa… apa yang kau katakan?”
“Aku tahu ini sulit. Tapi perasaanku sudah ada sejak lama. Aku mencoba untuk tidak merasakannya, terutama ketika kau menikah, tetapi aku tidak bisa lagi menyimpannya,” Olivia mengakui, air mata mengalir di pipinya.
“Jadi, selama ini… saat aku curhat tentang pernikahanku, kau hanya berpura-pura?” Mufti berbisik, suaranya pecah.
“Tidak! Aku tidak ingin menyakitimu! Aku mencintaimu sebagai sahabat, tapi aku juga mencintai Dito. Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi,” Olivia menjelaskan, merasa tertekan.
“Dan aku seharusnya mempercayaimu? Seharusnya aku merasa bahagia ketika kau menginginkan suamiku?” Mufti berteriak, suaranya penuh kemarahan dan kepedihan.
“Mufti, aku tidak pernah ingin menyakiti hatimu. Aku berjuang melawan perasaanku sendiri!” Olivia mencoba menjelaskan.
“Cinta ini sudah merusak segalanya. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa kembali seperti dulu,” Mufti berkata, suaranya lembut tetapi tajam. “Kau harus pergi dari hidupku.”
Olivia merasa seolah seluruh dunianya runtuh. “Tapi, Mufti… aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Jika kau mencintainya, maka kau harus pergi. Aku tidak bisa melihat wajahmu tanpa mengingat rasa sakit ini,” Mufti berkata dengan tegas, air mata mengalir di wajahnya.
Setelah pernyataan itu, Olivia tahu tidak ada lagi jalan kembali. Ia mengumpulkan kekuatannya dan memutuskan untuk menjauh, memberi Mufti waktu untuk menyembuhkan luka hatinya.
Selama berbulan-bulan, Olivia menjauh dari keduanya, mencoba untuk memperbaiki hidupnya. Ia berusaha untuk fokus pada pekerjaan dan kegiatan baru, tetapi bayangan Mufti dan
Dito terus menghantuinya.
Suatu malam, saat Olivia duduk di sebuah kafe sendirian, Dito tiba-tiba muncul. “Olivia? Apa kau baik-baik saja?”
Mata Olivia melebar, dan ia berusaha untuk tetap tenang. “Aku baik-baik saja, Dito. Apa kabar denganmu?”
Dito duduk di depannya, terlihat bingung. “Aku merasa ada yang tidak beres. Mufti dan aku sedang berusaha untuk memperbaiki semuanya. Tapi, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentangmu.”
Jantung Olivia berdegup kencang. “Dito, kita tidak seharusnya berbicara tentang ini.”
“Tapi aku harus tahu, apakah kau masih mencintaiku?” Dito bertanya, tatapannya penuh harapan.
Olivia merasakan konflik dalam hatinya. “Dito, kita tidak bisa. Mufti adalah sahabatku.”
“Tapi aku merasa terikat denganmu,” Dito mengungkapkan, “Ada sesuatu di antara kita yang tidak bisa diabaikan.”
Olivia menunduk, air mata kembali mengalir. “Tapi bagaimana dengan Mufti? Dia sudah cukup menderita.”
Dito menggenggam tangan Olivia. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Olivia. Aku ingin kita bersama.”
Olivia merasa terjebak antara cinta dan persahabatan. Ia tahu bahwa mengambil langkah ini akan menghancurkan semuanya. “Dito, kita perlu waktu untuk berpikir.”
Akhirnya, setelah momen yang penuh ketegangan itu, Olivia mengambil keputusan yang sulit. Ia memilih untuk menjauh dari Dito dan Mufti, meskipun hatinya terasa hancur. Cinta yang terlarang dan persahabatan yang kuat terasa saling menghancurkan.
Beberapa bulan kemudian, Olivia memutuskan untuk pergi ke luar kota untuk melanjutkan hidupnya. Meskipun rasanya sakit, ia tahu bahwa kadang-kadang cinta dan persahabatan bisa menjadi dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan.
Mufti dan Dito berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka, tetapi bayangan Olivia tetap ada di antara mereka. Waktu berlalu, dan meskipun tidak ada kata akhir yang jelas, semua orang tahu bahwa mereka harus melanjutkan hidup mereka, meskipun dengan cara yang berbeda.
Olivia belajar bahwa cinta tidak selalu berakhir bahagia, dan terkadang, melepaskan adalah tindakan paling mencintai. Dalam keheningan malam, ia tahu bahwa cinta sejati tidak selalu memiliki jalan yang mudah, tetapi itulah yang membuatnya berharga. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.