Irda adalah seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sangat mencintai ibunya, Sari. Sejak kecil, ia sudah diajarkan untuk menghargai dan menyayangi orang tua, terutama setelah ayahnya, Rahmat, meninggal dunia akibat sakit yang berkepanjangan. Kehilangan itu membuat Irda semakin dekat dengan ibunya. Mereka berdua selalu saling menguatkan, berbagi cerita, dan bertukar pikiran di tengah kesedihan yang menggelayuti keluarga mereka.
Seiring berjalannya waktu, Irda melihat bagaimana ibunya berjuang untuk melanjutkan hidup tanpa suaminya. Sari adalah sosok wanita kuat, tetapi Irda merasakan kesedihan yang mendalam di matanya. Tiga tahun setelah kepergian ayahnya, Sari tampak lebih rentan. Adik kakak Irda yang tinggal jauh, tidak pernah pulang untuk menjenguk, dan Irda merasa beban tanggung jawab merawat ibunya ada di pundaknya.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, Irda pulang ke rumah dan menemukan ibunya duduk di sofa dengan wajah lelah. Ia langsung menghampiri ibunya dan duduk di sampingnya.
“Malam, Bu. Maaf, aku pulang terlambat. Apa Ibu sudah makan?” tanya Irda dengan penuh perhatian.
“Ibu sudah makan, Nak. Tapi Ibu khawatir tentangmu. Kamu terlalu keras bekerja,” jawab Sari, memandang putranya dengan rasa khawatir.
“Jangan khawatir, Bu. Aku bisa mengatur semuanya. Yang penting Ibu baik-baik saja,” kata Irda, menggenggam tangan ibunya.
Namun, dalam hati Irda, ia tahu bahwa merawat ibunya tidaklah mudah. Ia bertekad untuk menjaga Sari agar tidak merasa kesepian. Suatu hari, saat mereka sedang berbincang, Irda mengungkapkan niatnya.
“Bu, bagaimana kalau kita tinggal bersama di sini? Aku ingin merawat Ibu. Aku tidak ingin Ibu sendirian,” ujar Irda dengan serius.
Sari terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Tapi Nak, kamu sudah dewasa. Kamu harus membangun hidupmu sendiri. Ibu tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu.”
“Ibu tidak mengganggu! Ibu adalah segalanya bagiku. Tanpa Ibu, aku tidak bisa apa-apa,” Irda menegaskan.
Di sisi lain, Irda sudah menjalin hubungan dengan seorang gadis bernama Mira. Mira adalah sosok yang mandiri dan memiliki ambisi besar. Meskipun mereka saling mencintai, Mira khawatir dengan fokus Irda yang terlalu besar kepada ibunya.
Suatu sore, saat mereka duduk di kafe, Mira mulai berbicara. “Irda, aku tahu kamu sangat menyayangi ibumu. Tapi aku merasa kamu terlalu mengorbankan dirimu untuknya. Kita juga harus memikirkan masa depan kita.”
“Ibu butuh aku, Mira. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian,” jawab Irda dengan tegas.
“Dan aku menghormati itu. Tapi kita juga perlu memikirkan hubungan kita. Cintamu sepertinya hanya untuk ibumu,” Mira mengatakan dengan nada khawatir.
Irda terdiam. “Mira, aku mencintaimu, tetapi ibuku adalah prioritas utamaku. Aku tidak bisa hanya duduk diam melihatnya berjuang sendirian.”
Baca juga Cinta di Ujung Layar Yang Tersakiti
Mira merasa frustrasi. “Tapi kamu juga harus memperhatikan perasaanku! Aku tidak ingin menjadi bayangan ibumu. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, bukan penghalang antara kamu dan ibumu.”
Mereka berdebat cukup lama, dan akhirnya Mira bangkit dari kursinya. “Aku perlu waktu untuk berpikir, Irda. Mungkin kita harus memberi jarak untuk sementara.”
Irda merasa hatinya hancur melihat Mira pergi. Ia ingin menjelaskan betapa pentingnya ibunya baginya, tetapi ia juga tahu bahwa Mira berhak atas perhatian dan cinta yang seharusnya ia dapatkan.
Beberapa minggu kemudian, Irda merasa tekanan yang semakin berat. Ia berusaha merawat ibunya, tetapi rasa kesepian dan kerinduan terhadap Mira mengganggu pikirannya. Sari merasakan perubahan dalam diri Irda.
“Nak, ada yang ingin Ibu bicarakan,” Sari memulai percakapan saat mereka sedang makan malam.
“Ada apa, Bu?” Irda bertanya, merasa khawatir.
“Ibu melihat kamu tidak bahagia. Apa ada masalah dengan Mira?” Sari bertanya lembut.
Irda menunduk, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu, Bu. Dia merasa aku terlalu fokus kepada Ibu dan mengabaikannya.”
“Cinta tidak boleh menjadi beban. Ibu ingin kamu bahagia, Nak. Jika Mira adalah orang yang tepat untukmu, Ibu mendukungmu. Tapi ingat, kamu juga perlu memberi ruang untuk cinta itu,” Sari menjelaskan dengan bijak.
Irda mengangguk, tetapi hatinya bergejolak. “Tapi Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak ingin kehilangan Ibu, dan aku juga tidak ingin kehilangan Mira.”
Keesokan harinya, Irda memutuskan untuk mencari Mira. Ia pergi ke tempat kerja Mira dan menemukan gadis itu sedang istirahat. Mira terlihat terkejut melihatnya.
“Irda, ada apa? Kenapa kamu datang?” tanya Mira dengan nada campur aduk.
“Aku ingin minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa diabaikan. Ibu adalah bagian besar dalam hidupku, tetapi aku juga ingin kamu menjadi bagian itu,” Irda berkata dengan tulus.
Baca juga Langkah Menuju Harapan Anadia
Mira memandang Irda dengan mata yang penuh haru. “Irda, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku juga mencintaimu. Tapi aku ingin kita berdua bisa saling mendukung.”
“Aku janji, Mira. Aku akan berusaha seimbang. Ibu tidak akan pernah menjadi penghalang antara kita. Mari kita hadapi ini bersama,” Irda menjelaskan, menggenggam tangan Mira.
Setelah berbicara, mereka berdua merasa lebih lega. Irda kemudian mengajak Mira untuk bertemu Sari.
“Bu, ini Mira. Dia adalah orang yang aku cintai,” Irda memperkenalkan dengan penuh rasa bangga.
Sari tersenyum hangat, “Senang bertemu denganmu, Mira. Terima kasih sudah ada untuk Irda.”
Mira tersenyum, tetapi ada keraguan di matanya. “Ibu, saya ingin Irda bahagia. Saya akan mendukungnya dalam merawat Ibu.”
Sari mengangguk, merasa lega. “Terima kasih, Mira. Ibu percaya pada kalian berdua. Yang terpenting adalah saling mendukung dan memahami satu sama lain.”
Hari-hari berlalu, dan Irda, Sari, dan Mira berusaha menemukan keseimbangan dalam hubungan mereka. Meskipun ada tantangan, mereka berusaha saling mendukung dan berkomunikasi.
Suatu malam, saat mereka semua berkumpul untuk makan malam, Sari berbicara dengan lembut, “Keluarga adalah segalanya. Aku ingin kalian berdua bahagia. Jika kalian berdua bahagia, aku juga akan bahagia.”
Mira menatap Sari dengan penuh rasa hormat. “Ibu, terima kasih atas dukunganmu. Saya berjanji akan selalu ada untuk Irda dan juga untuk Ibu.”
Irda merasa hatinya penuh. Ia tahu bahwa cinta sejatinya tidak hanya untuk ibunya, tetapi juga untuk Mira. Mereka berjanji untuk terus saling mendukung, menghadapi setiap tantangan dengan semangat dan kasih sayang.
Dari sana, ketiganya belajar bahwa cinta dapat menciptakan ikatan yang lebih kuat, dan dengan saling memahami, mereka bisa mengatasi segala hal. Cinta Irda kepada ibunya dan kepada Mira tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, membentuk sebuah keluarga yang utuh dan saling mendukung.