Aifa dan Odi adalah dua siswa di SMA Harapan Bangsa yang selalu berseteru. Mereka bersekolah di kelas yang sama, tetapi hubungan mereka bak anjing dan kucing. Odi, yang dikenal sebagai jagoan basket di sekolah, selalu merasa bahwa Aifa adalah saingan terberatnya. Di sisi lain, Aifa, yang cerdas dan ambisius, merasa bahwa Odi seringkali meremehkan kemampuan perempuan.
Setiap kali ada tugas kelompok, mereka selalu berusaha untuk tidak satu kelompok. Suatu hari, saat guru meminta semua murid untuk membagi kelompok, Aifa dan Odi terpaksa bekerja sama.
“Kenapa sih kita harus satu kelompok?” Aifa mencibir, matanya menatap tajam Odi.
“Karena guru yang memutuskan, bukan aku,” Odi menjawab dengan nada sinis. “Lagipula, siapa yang mau kerja sama denganmu? Kamu kan selalu ngotot.”
“Tentu saja aku lebih baik daripada kamu yang hanya bisa bermain bola,” Aifa membalas, menyilangkan tangan di dada.
Awalnya, kerja sama mereka berlangsung dengan penuh ketegangan. Setiap kali Aifa memberikan ide, Odi akan mencemooh, “Kamu yakin itu ide yang bagus? Apa kita sedang bikin proyek atau mengadakan lomba catwalk?”
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai menemukan kesamaan. Saat mengerjakan tugas sejarah, Aifa menunjukkan pengetahuan yang luar biasa, sementara Odi menyumbangkan ide-ide kreatif untuk presentasi mereka. Perlahan, pertikaian mereka mulai memudar.
“Eh, kamu juga ternyata pintar ya, Aifa,” Odi mengakui suatu hari setelah sesi brainstorming yang panas.
“Terima kasih, Odi. Tapi jangan berharap aku akan memuji kamu juga,” Aifa menjawab dengan senyum sinis.
Menjelang ujian akhir, Aifa dan Odi mulai lebih sering belajar bersama. Mereka bertemu di perpustakaan, dan di situlah mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Odi menceritakan tentang mimpinya untuk menjadi atlet profesional, sementara Aifa berbagi harapannya untuk bisa melanjutkan studi ke luar negeri.
“Jadi, kamu sebenarnya bukan hanya otot, ya?” Aifa menatap Odi dengan kagum.
Odi tersenyum, “Dan kamu juga bukan hanya buku. Kita berdua punya impian, kan?”
Namun, suasana berubah ketika Odi melihat Aifa sedang bercanda dengan teman laki-laki. Tanpa sadar, rasa cemburu menyelinap di hatinya.
“Apa kamu suka dia?” Odi melontarkan pertanyaan tajam.
“Kenapa? Cemburu?” Aifa balik bertanya, matanya menyala.
Baca juga Sakit Akan Cinta Yang Dihianati
“Siapa yang cemburu? Ini hanya perhatian teman saja!” Odi menjawab dengan nada defensif.
Setelah insiden itu, mereka saling menjauh. Aifa merasa marah karena Odi terlalu posesif, sedangkan Odi merasa kecewa karena Aifa tampak lebih dekat dengan orang lain. Namun, rasa rindu mulai menggerogoti mereka.
Suatu hari, ketika mereka tidak sengaja bertemu di kafe setelah sekolah, suasana menjadi canggung.
“Aku… aku kangen berantem sama kamu,” Odi mengakui, matanya tidak bisa menatap Aifa.
“Jadi, kamu tidak benci aku lagi?” Aifa bertanya, setengah berharap.
“Aku tidak pernah membenci kamu. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan ini,” Odi mengungkapkan dengan suara pelan.
Aifa terdiam, hatinya berdebar. “Perasaan apa?”
Setelah beberapa saat hening, Odi mengumpulkan keberanian. “Aku suka kamu, Aifa. Mungkin aku memang jagoan basket, tapi kamu yang membuatku merasa seperti pemula. Kamu membuatku ingin menjadi lebih baik.”
Aifa terkejut. “Odi, aku juga… aku juga merasakan hal yang sama. Awalnya aku hanya menganggapmu musuh, tetapi sekarang aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.”
Keduanya saling menatap, seolah waktu berhenti. Odi meraih tangan Aifa dan menggenggamnya erat. “Jadi, kita tidak lagi saling membenci?”
“Tidak. Sekarang kita bisa saling mencintai,” Aifa tersenyum.
Mereka mulai menjalin hubungan yang penuh warna. Dari belajar bersama hingga berlatih basket, Aifa dan Odi saling mendukung satu sama lain. Mereka bahkan sering menggoda satu sama lain dengan candaan yang mengingatkan pada masa-masa permusuhan mereka.
“Jadi, bagaimana rasanya jatuh cinta dengan musuh bebuyutan?” Odi bertanya sambil tersenyum.
“Rasanya seperti berjuang dalam pertandingan final, tetapi dengan hadiahnya berupa kamu,” Aifa menjawab sambil tertawa.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Aifa dan Odi semakin kuat. Mereka menjadi pasangan yang saling mendukung, menghadapi setiap rintangan yang muncul di SMA Harapan Bangsa. Namun, perjalanan cinta mereka tidak selalu mulus.
Baca juga Orang Baik Itu Telah Pergi Meninggalkan Kita
Suatu hari, saat sedang menunggu di kantin, Aifa melihat Odi berbicara dengan teman-teman atletnya. Tiba-tiba, seorang teman lama Odi, Rani, datang dan memeluknya. Melihat itu, Aifa merasa sedikit cemburu, meskipun ia tahu bahwa Odi tidak memiliki perasaan terhadap Rani.
“Aifa!” Odi memanggilnya dengan senyuman. “Ini Rani, teman lama. Dia baru kembali dari sekolah di luar negeri.”
Aifa memaksakan senyum. “Oh, halo Rani. Senang bertemu denganmu.”
“Senang bertemu juga, Aifa! Odi sering bercerita tentangmu,” kata Rani dengan antusias.
“Apa? Tentang apa?” Aifa bertanya, rasa cemburu mulai menyusup.
“Oh, hanya tentang betapa hebatnya dia di debat,” Rani menjawab sambil tertawa. “Dan tentang bagaimana kalian berdua dulu saling berlawanan.”
Aifa merasa sedikit lebih tenang mendengar itu, namun rasa cemburu masih menyelinap. Setelah Rani pergi, Aifa berusaha menenangkan diri.
“Odi, apakah kamu sudah lama berteman dengan Rani?” tanya Aifa, berusaha menjaga nada suaranya.
“Sejak kecil. Dia teman masa kecilku. Tapi sekarang dia hanya teman, Aifa. Aku lebih suka menghabiskan waktu denganmu,” jawab Odi dengan tulus.
Meskipun Odi meyakinkan Aifa, perasaan cemburu tetap mengganggu pikirannya. Malamnya, saat mereka berbicara melalui pesan, Aifa merasa perlu untuk membicarakan perasaannya.
“Od, aku ingin jujur denganmu tentang sesuatu,” tulis Aifa.
“Apa? Kamu tahu kamu bisa bilang apa saja padaku,” Odi membalas dengan cepat.
“Aku merasa sedikit cemburu melihatmu dengan Rani. Dia tampak sangat dekat denganmu,” tulis Aifa, mengungkapkan keraguannya.
Odi membalas dengan serius, “Aifa, kamu tidak perlu cemburu. Rani adalah teman masa kecil, tapi kamu adalah segalanya bagiku. Aku sudah berjanji untuk selalu bersamamu.”
Aifa terdiam sejenak. “Aku tahu, tapi kadang aku khawatir. Kita berdua datang dari dunia yang berbeda.”
“Apa maksudmu?” Odi bertanya, merasa khawatir.
“Rasa persaingan kita di awal, orang-orang mungkin masih berpikir kita tidak seharusnya bersama. Aku tidak ingin hubungan kita terganggu karena masa lalu,” jawab Aifa.
Odi mengetik beberapa detik sebelum membalas. “Aifa, semua itu sudah berlalu. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku tidak akan membiarkan orang lain memisahkan kita. Kita adalah tim sekarang.”
Aifa merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Odi. “Terima kasih, Odi. Aku hanya perlu merasa aman. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Dan kamu tidak akan pernah kehilanganku. Kita bisa menghadapi apa pun bersama-sama,” Odi menjawab dengan penuh keyakinan.
Malam itu, Aifa merasa lebih baik. Namun, tantangan berikutnya segera datang. Di sekolah, Rani mulai menunjukkan ketertarikan lebih pada Odi, membuat Aifa semakin merasa terancam.
Suatu sore, Rani mengajak Odi untuk pergi ke sebuah acara olahraga, tanpa memberitahukan Aifa. Saat Aifa mendengar tentang itu dari teman-teman sekelas, hatinya bergetar.
“Apa maksudmu Odi pergi dengan Rani?” Aifa bertanya dengan nada dingin ketika Odi menceritakan rencananya.
“Dia hanya mengajakku untuk menonton pertandingan. Kami hanya teman, Aifa,” jawab Odi, berusaha menenangkan Aifa.
“Tapi mengapa tidak memberitahuku? Aku ingin mendukungmu di acara itu!” Aifa membela diri.
“Maaf, aku tidak berpikir itu akan menjadi masalah. Aku seharusnya memberitahumu. Tapi jangan khawatir, aku akan meneleponmu sepanjang waktu,” Odi mencoba meyakinkan.
“Aku hanya tidak ingin merasa terpinggirkan, Odi,” Aifa menjawab, suaranya sedikit bergetar.
Odi meraih tangan Aifa dan memandangnya dalam-dalam. “Aifa, kamu adalah segalanya bagiku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Rani, mengubah itu. Kamu adalah pasanganku, dan itu tidak akan pernah berubah.”
Aifa menatap Odi, merasakan ketulusan dalam setiap kata. “Baiklah, aku akan mencoba mempercayaimu.”
Hari pertandingan tiba, dan meski sedikit cemas, Aifa memutuskan untuk datang dan mendukung Odi. Saat ia memasuki stadion, ia melihat Odi bersorak bersama teman-teman atlet, dengan Rani di sampingnya. Aifa merasa jantungnya berdegup kencang, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
Setelah pertandingan, Odi mencari Aifa di kerumunan. “Aifa! Aku mencarimu!” Ia berlari mendekat dan memeluknya erat.
“Aku di sini,” jawab Aifa sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa cemburunya.
“Ooh, kamu datang! Aku senang sekali!” Odi berkata penuh semangat. “Kita menang!”
“Selamat!” Aifa bertepuk tangan dengan tulus, merasa bangga.
Rani mendekat. “Aifa, kamu harusnya ikut merayakan! Odi hebat sekali!”
Aifa tersenyum, tetapi perasaannya campur aduk. “Terima kasih, Rani. Aku sudah mendengar tentang itu.”
Di tengah suasana meriah, Aifa mencoba menjalin percakapan dengan Rani. “Jadi, kamu baru kembali dari luar negeri ya?”
“Ya, aku baru pulang dan sangat senang bisa bertemu Odi lagi,” jawab Rani dengan antusias.
Aifa berusaha tetap bersikap ramah, meskipun ada sedikit ketegangan. Namun, di tengah semua kegembiraan, Odi memperhatikan Aifa dan merasakan ketidaknyamanan di wajahnya.
“Eh, Rani, bisa kita bicara sebentar?” Odi meminta, menggenggam tangan Aifa. “Aku ingin mengenalkannya lebih baik.”
Ketika mereka menjauh dari keramaian, Odi berbisik pada Aifa, “Kamu baik-baik saja?”
“Aku baik, hanya sedikit lelah,” jawab Aifa, mencoba tersenyum.
Odi memperhatikan Aifa dan berkata, “Aku tahu Rani adalah teman lama, tapi percayalah, kamu adalah orang yang ada di hatiku. Mari kita nikmati malam ini bersama.”
Aifa mengangguk, merasakan kehangatan dalam hatinya. Malam itu, mereka merayakan kemenangan Odi dengan keceriaan, dan Aifa mulai merasa lebih nyaman dengan keberadaan Rani.
Beberapa minggu kemudian, Odi mengundang Aifa untuk menghadiri acara seni di sekolah. “Ayo, kita bisa melihat karya teman-teman kita dan menikmati waktu bersama,” ajaknya.
“Baiklah, aku akan siap-siap!” Aifa menjawab penuh semangat.
Saat acara berlangsung, Aifa dan Odi berjalan berkeliling, mengagumi setiap karya seni yang dipamerkan. Tiba-tiba, Odi memperhatikan lukisan yang sangat indah.
“Aifa, lihat ini! Ini luar biasa!” Odi berseru, menunjukkan lukisan abstrak yang menarik perhatian.
“Wow, siapa yang melukis ini?” Aifa bertanya, terpesona.
“Sepertinya itu karya Rani,” Odi menjawab, tanpa sadar membuat Aifa sedikit tegang.
“Rani lagi?” Aifa mencoba terdengar santai, tetapi hatinya bergetar.
“Oke, mungkin kita perlu mendekati Rani dan memberinya pujian. Kamu mau?” Odi bertanya.
Aifa mengangguk, meskipun ada keraguan dalam hatinya. Mereka mendekati Rani, yang sedang dikerumuni teman-teman.
“Rani! Karya lukisanmu luar biasa! Aku sangat terkesan,” kata Odi dengan tulus.
“Terima kasih, Odi! Aifa, apa pendapatmu?” Rani bertanya, langsung memandang Aifa.
“Itu sangat kreatif. Warna-warnanya benar-benar mencolok,” jawab Aifa, berusaha terlihat antusias.
Rani tersenyum. “Aku sangat senang kalian menyukainya!”
Saat percakapan berlangsung, Aifa mulai merasakan kedekatan yang berbeda antara Odi dan Rani. Namun, Odi segera menyadari raut wajah Aifa yang tidak nyaman.
“Aifa, bagaimana kalau kita pergi melihat karya seni lainnya?” Odi tiba-tiba menawarkan.
“Ya, ayo!” Aifa setuju dengan cepat, merasa bersyukur Odi memahami situasinya.
Setelah berpisah dengan Rani, Aifa dan Odi menemukan sudut tenang di luar gedung. “Aifa, kamu oke?” Odi bertanya, khawatir melihat ekspresi Aifa.
“Ya, aku hanya merasa sedikit cemburu. Tapi aku berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.