Dian adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang dikenal sebagai sosok penuh kasih dan perhatian. Ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar, di mana ia selalu membawa keceriaan bagi murid-muridnya. Suaminya, Rian, adalah seorang manajer di perusahaan swasta, yang awalnya sangat mencintai Dian. Mereka telah menikah selama lima tahun dan membangun kehidupan yang indah bersama.
Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka mulai goyah. Rian mulai terlibat dalam persahabatan dekat dengan kolega perempuan bernama Tika. Tika adalah wanita cantik dan karismatik, selalu berpenampilan menarik, dan sering menjadi pusat perhatian di kantor. Awalnya, Dian tidak mencurigai apapun, tetapi lambat laun, ia mulai merasakan perubahan dalam sikap Rian.
Suatu malam, setelah seharian bekerja, Dian menyiapkan makan malam yang istimewa untuk Rian. Saat Rian pulang, ia terlihat lelah dan tidak bersemangat.
“Sayang, bagaimana harimu?” tanya Dian sambil menyajikan hidangan.
“Baik-baik saja. Aku hanya lelah,” jawab Rian, terlihat sedikit acuh tak acuh.
Dian merasa ada yang aneh, tetapi ia tidak ingin menambah beban pikiran suaminya. “Aku membuat masakan kesukaanmu. Makanlah yang banyak, ya,” katanya dengan harapan bisa menghibur Rian.
Rian hanya mengangguk, tetapi pandangannya tampak kosong. Satu bulan berlalu, dan semakin jelas bahwa Rian menjauh. Dian sering kali menemukan pesan-pesan di ponsel Rian, namun setiap kali ia bertanya, Rian selalu menjawab dengan defensif.
“Siapa Tika?” Dian bertanya dengan nada penuh keraguan suatu sore, saat mereka sedang duduk di ruang tamu.
“Dia hanya teman kerja, Dian. Jangan berpikir yang aneh-aneh,” Rian menjawab, terlihat sedikit kesal.
“Tapi, kamu menghabiskan banyak waktu bersamanya. Kenapa aku tidak pernah mendengar tentangnya sebelumnya?” Dian mendesak, merasa sakit hati.
“Karena kamu tidak perlu tahu semua hal yang terjadi di kantorku. Berhentilah bertanya!” Rian hampir berteriak, dan Dian terdiam, hatinya remuk.
Beberapa minggu setelahnya, Dian mulai merasakan gejala sakit yang aneh. Awalnya hanya sakit kepala dan kelelahan, tetapi seiring waktu, kondisi tubuhnya semakin memburuk. Dian merasa cemas dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter.
“Dok, saya merasa sangat lelah dan sering sakit kepala. Apa yang terjadi dengan saya?” tanyanya saat konsultasi.
Dokter memeriksa Dian dan menjelaskan, “Kondisi Anda mungkin disebabkan oleh stres yang berkepanjangan. Ini bisa mempengaruhi kesehatan fisik Anda.”
Baca juga Dua Hati dengan Satu Rahasia
Dian pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya merasa sakit, dan itu adalah kerinduan akan cinta Rian yang semakin pudar. Di rumah, ia berusaha tampil ceria, tetapi setiap kali melihat Rian yang semakin jauh, hatinya terasa tertekan.
Suatu malam, saat Dian terbaring di tempat tidur, ia melihat Rian yang sedang bermain ponsel. Tiba-tiba, ponsel Rian bergetar dan sebuah pesan dari Tika muncul di layar.
“Selamat malam, sayang. Rindu kamu,” tulis Tika.
Dian merasakan hatinya hancur. Ia tidak bisa menahan air matanya lagi. “Rian, apakah kamu mencintai Tika?” tanyanya dengan suara bergetar.
Rian terkejut dan tampak bingung. “Dian, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia hanya….”
“Dia hanya apa? Hanya teman?” potong Dian dengan nada penuh kesedihan. “Aku melihat pesanmu, Rian. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”
Rian terdiam, wajahnya menunjukkan rasa bersalah. “Dian, aku… aku minta maaf. Aku tidak bermaksud melukaimu.”
“Tapi kamu sudah melukainya, Rian. Kamu telah membuatku merasa sepi di rumah ini,” jawab Dian, air mata mengalir di pipinya.
Rian merasa tertegun, tetapi pada saat itu, ia merasa terjebak antara dua cinta. “Dian, aku tidak ingin kehilanganmu, tetapi aku juga tidak bisa berpura-pura.”
Dian menutup wajahnya dengan tangan. “Apa kau benar-benar mencintaiku, Rian? Jika iya, kenapa kau membiarkan Tika masuk ke dalam hidupmu?”
Rian tidak bisa menjawab, dan suasana di antara mereka semakin membekukan. Dian akhirnya memutuskan untuk pergi tidur, sementara Rian hanya terdiam, merasa bersalah dan bingung.
Keesokan harinya, Dian bangun dengan rasa sakit yang semakin parah. Ia berusaha menyiapkan sarapan untuk Rian, tetapi tubuhnya lemah. Saat Rian masuk ke dapur, ia melihat Dian terhuyung-huyung.
“Dian, kamu tidak baik-baik saja. Kenapa tidak istirahat saja?” Rian mengatakan dengan nada khawatir.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya… butuh sedikit waktu,” jawab Dian, tetapi suaranya tampak lemah.
Hari-hari berlalu, dan kesehatan Dian semakin memburuk. Ia sering merasa pusing dan lelah, tetapi masih berusaha untuk tersenyum di depan Rian. Suatu malam, ketika Rian pulang, Dian sudah terbaring di tempat tidur, tidak berdaya.
“Rian, aku ingin kita bicara,” ucap Dian dengan suara lirih.
Rian duduk di tepi tempat tidur, terlihat cemas. “Apa yang terjadi, sayang?”
“Aku merasa sangat sakit. Aku tidak bisa terus bertahan seperti ini. Rian, aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan,” kata Dian, air mata mulai mengalir di pipinya.
Rian meraih tangan Dian, merasa hatinya remuk. “Jangan bilang begitu. Kamu harus berjuang, Dian. Aku akan ada di sini bersamamu.”
“Bersama? Rian, hatimu tidak ada untukku lagi. Aku merasa seperti bayangan dalam hidupmu,” Dian mengeluh, menyadari betapa jauh mereka terpisah.
Rian terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. “Aku… aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, tetapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa.”
“Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah jujur. Jujur pada dirimu sendiri, dan jujur pada diriku,” Dian berkata dengan penuh emosi.
Baca juga Bayang-Bayang Kebahagiaan Zea dan Ditra
Rian menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Dian, aku memang terjebak antara kamu dan Tika. Aku tidak ingin kehilanganmu, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku.”
Dian menatap Rian dengan mata penuh kesedihan. “Jadi, kamu sudah memilih? Apakah aku bukan pilihanmu lagi?”
“Tidak! Aku tidak ingin memilih. Aku… aku hanya bingung,” Rian menjawab dengan suara serak.
Dian merasakan hatinya hancur. “Rian, jika kamu mencintaiku, berjuanglah untuk kita. Jika tidak, lepaskan aku dengan baik. Aku tidak ingin menjadi beban bagimu.”
Rian terdiam, merasakan beratnya keputusan yang harus diambil. Akhirnya, Dian menutup matanya, kelelahan dan kesedihan menggelayuti pikirannya.
Beberapa hari kemudian, Dian dibawa ke rumah sakit karena kondisinya semakin memburuk. Rian selalu berada di sisinya, tetapi hati Dian semakin terasa hampa. Di rumah sakit, saat Dian terbaring lemah, Rian berusaha untuk menghiburnya.
“Dian, aku akan melakukan apapun untukmu. Aku akan berjuang agar kamu bisa sembuh,” Rian berkata, matanya berkaca-kaca.
“Rian, apa kamu benar-benar ingin berjuang untuk kita?” Dian bertanya, suaranya lemah.
“Aku… aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha. Aku mencintaimu, Dian,” jawab Rian, tetapi hatinya masih terasa berat.
Hari demi hari, Dian semakin melemah. Suatu malam, saat Rian duduk di sampingnya, Dian membuka matanya yang lelah. “Rian, jika aku pergi… tolong ingatlah bahwa aku selalu mencintaimu, meskipun saat-saat terakhir kita penuh dengan kesedihan.”
Rian menahan air matanya. “Jangan bicara seperti itu, Dian. Kamu akan baik-baik saja. Aku akan melakukan apapun untukmu.”
Dian tersenyum lemah. “Kadang, cinta tidak cukup untuk menyelamatkan kita. Aku ingin kamu bahagia, Rian. Jika Tika bisa memberimu kebahagiaan itu, aku akan merelakanmu.”
Rian merasa hatinya teriris. “Tapi aku tidak ingin merelakanmu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.”
“Kadang, kita harus melepaskan untuk memberi kebahagiaan kepada orang yang kita cintai,” Dian berkata, suaranya semakin lemah.
Akhirnya, setelah beberapa hari perawatan, kondisi Dian semakin memburuk. Rian merasa putus asa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Suatu malam, saat Dian terbaring di ranjangnya, ia memanggil Rian.
“Rian…,” panggil Dian
Dian memanggil Rian dengan suara yang semakin lemah, “Rian…”
Rian segera mendekat, menggenggam tangan Dian dengan penuh harap. “Aku di sini, sayang. Apa yang ingin kamu katakan?”
Dian memandangnya dengan tatapan yang penuh makna. “Jika aku pergi… ingatlah bahwa aku selalu mencintaimu, meskipun semua ini sulit.”
Air mata Rian mulai mengalir. “Jangan bilang begitu. Kamu tidak akan pergi, Dian. Kita masih bisa melewati ini bersama.”
“Tapi, Rian,” Dian berbisik, “aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Cintaku tidak akan pernah pudar, tetapi aku ingin kamu bahagia, bahkan jika itu berarti kau harus melanjutkan hidupmu tanpa aku.”
Rian terdiam, hatinya terombang-ambing antara cinta dan ketakutan. “Tapi aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu. Kamu adalah segalanya bagiku.”
Dian tersenyum lemah, “Cinta kita tidak harus berakhir di sini. Kamu bisa terus hidup dan menemukan kebahagiaanmu. Jika Tika membuatmu bahagia, aku tidak akan marah. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Rian merasa hancur mendengar kata-kata Dian. “Tapi itu tidak adil! Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain ketika hatiku masih untukmu?”
Dian menatap Rian dengan penuh kasih. “Cinta sejati adalah memberi. Sekarang, berikan aku ketenangan. Jadilah bahagia, Rian. Itu yang aku inginkan.”
Suasana di ruangan semakin hening, hanya ada suara detak jam yang berirama pelan. Rian merasa seolah waktu berhenti, melihat Dian yang semakin lemah. “Aku berjanji, aku akan berjuang untukmu,” katanya, berusaha menahan air matanya.
“Tapi aku sudah berjuang cukup lama,” jawab Dian. “Dan sekarang, aku hanya ingin kamu ingat semua kenangan indah kita.”
Rian menggenggam tangan Dian lebih erat. “Kita akan menciptakan lebih banyak kenangan, sayang. Aku tidak akan menyerah.”
Dian tersenyum lagi, tetapi senyumnya tidak seterang dulu. “Rian, terkadang kita tidak memiliki kontrol atas apa yang terjadi. Jangan biarkan rasa bersalah mengikatmu. Cinta harus bebas.”
Ketika Dian menyelesaikan kalimatnya, Rian merasakan hatinya semakin berat. Dalam keheningan itu, Dian menutup matanya, mencoba merasakan kedamaian. Rian mengusap rambut Dian dengan lembut, tidak ingin melepaskan momen itu.
Hari-hari berikutnya terasa semakin berat. Rian selalu berada di sisi Dian, tetapi kondisi Dian tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Ia terus berjuang, tetapi tubuhnya semakin lemah. Akhirnya, pada suatu malam yang dingin, Dian memanggil Rian untuk terakhir kalinya.
“Rian…,” panggilnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Aku di sini, sayang. Aku di sini,” Rian menjawab, mendekat dan merangkul Dian.
“Jangan menangis. Aku akan baik-baik saja di tempat yang lebih baik,” katanya, suaranya bergetar.
Rian tidak bisa menahan tangisnya lagi. “Dian, jangan pergi. Aku masih butuh kamu di sini.”
Dian membuka matanya, dan meski terlihat lemah, ada sinar di matanya. “Aku akan selalu bersamamu, dalam setiap kenangan kita. Ingatlah cintaku padamu.”
“Aku tidak akan pernah lupa, Dian. Cintamu adalah segalanya bagiku,” Rian menjawab, suaranya terisak.
Dian tersenyum lemah, “Selamat tinggal, sayang. Jangan biarkan kesedihan mengikatmu. Hiduplah dan temukan kebahagiaanmu.”
Dan saat itu, detak jantung Dian perlahan melambat. Rian merasakan kehangatan tangan Dian yang mulai memudar. “Dian…,” Rian berbisik, “Jangan pergi. Aku mencintaimu.”
Tetapi, tanpa peringatan, Dian menutup matanya untuk selamanya, meninggalkan Rian dalam kesedihan yang mendalam. Rian merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia merangkul tubuh Dian yang tak lagi bergerak, air mata tak henti-hentinya mengalir.
Kehilangan Dian membuat Rian terpuruk dalam duka. Ia tahu, cinta yang mereka miliki akan selalu hidup dalam kenangan, tetapi rasa sakitnya begitu dalam. Dalam perjalanan hidupnya, Rian berjanji untuk menghormati cinta Dian dan berusaha menemukan kebahagiaan, meskipun tanpa kehadiran wanita yang selalu dicintainya.
Dengan setiap langkah yang diambil, Rian membawa cinta Dian dalam hatinya, berusaha untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan, sekaligus mengingat pesan terakhir yang selalu terngiang di telinganya: "Hiduplah dan temukan kebahagiaanmu." Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.