Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, terdapat sebuah sekolah menengah atas bernama SMA Bintang. Di sekolah ini, ada seorang gadis bernama Zea yang dikenal karena kecerdasan luar biasa dan prestasinya yang mengagumkan. Dia selalu menjadi juara kelas, dan guru-guru sering kali menjadikannya teladan. Di antara teman-temannya, ada Ditra, seorang remaja yang cerdas dan berbakat, tetapi selalu merasa bayang-bayang Zea terlalu besar untuk dihadapi.
Ditra mengenal Zea sejak mereka duduk di bangku SMP. Dari luar, Zea terlihat sempurna—cantik, pintar, dan berkepribadian hangat. Sementara Ditra merasa dirinya tidak lebih dari sekadar teman bayangan. Dia menyimpan rasa suka yang mendalam terhadap Zea, namun tidak pernah berani mengungkapkannya. Dia takut jika perasaannya terungkap, hubungan mereka akan hancur. Ditra sering kali mengamati Zea dari jauh, menikmati senyumnya, tertawa di saat-saat kecil, tetapi selalu mengubur perasaannya dalam-dalam.
Suatu hari, ketika mereka duduk di taman sekolah, Zea bercerita tentang cita-citanya untuk melanjutkan studi di luar negeri. “Aku ingin sekali belajar di MIT,” katanya dengan semangat. Ditra tersenyum, tetapi hatinya merintih. “Pasti seru sekali. Kamu pasti akan sukses,” ucapnya, berusaha menahan rasa yang membara.
Waktu berlalu, dan mereka lulus dari SMA. Zea melanjutkan studinya ke luar negeri dan Ditra memilih untuk bekerja di kota tersebut. Selama bertahun-tahun, mereka kehilangan kontak, meski Ditra selalu mengikuti berita tentang Zea di media sosial. Hingga suatu hari, Ditra mendengar kabar bahwa Zea sudah menikah. Hatinya hancur, tetapi dia tetap berusaha tegar.
Beberapa tahun kemudian, Ditra kembali bertemu dengan Zea di sebuah acara reuni SMA. Saat melihat Zea yang kini sudah dewasa, cantik dalam balutan gaun sederhana, jantung Ditra berdebar kencang. Dia mendekati Zea, yang tampak ceria dan bersahabat, meski ada sesuatu yang berbeda di matanya.
“Zea!” serunya, mencoba menyembunyikan ketegangan. Zea menoleh dan tersenyum lebar. “Ditra! Sudah lama sekali! Apa kabar?”
Baca juga Kalian Tak Pantas Aku Sakiti
Mereka berbincang, mengenang kembali masa-masa indah di SMA. Ditra merasa senang bisa berbicara dengan Zea lagi, tetapi di sudut hatinya, rasa sakit itu tidak hilang. Mereka berbicara tentang cita-cita, kehidupan, dan keputusan yang diambil masing-masing. Ditra merasa hangat melihat senyuman Zea, tetapi ada rasa pahit yang selalu mengikuti.
“Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah menemukan apa yang kamu inginkan?” tanya Zea, menatap Ditra dengan penuh perhatian.
Ditra terdiam sejenak, ingatan akan perasaannya yang tak terungkap melintas di benaknya. “Aku… aku bekerja di perusahaan lokal sekarang. Cukup menyenangkan,” jawabnya, berusaha tampak santai. “Tapi aku merasa belum menemukan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Zea mengangguk, memahami. “Terkadang, kita harus berani mengambil langkah meski takut gagal, bukan? Aku belajar itu selama kuliah,” katanya dengan keyakinan.
Ditra menatapnya, merindukan saat-saat di mana mereka berbagi mimpi dan harapan. “Ya, tapi terkadang, langkah itu bisa terasa terlalu berat. Seperti saat kita harus merelakan sesuatu yang berharga,” balas Ditra, suaranya penuh emosi.
Zea terdiam, ada kerinduan di matanya. “Aku tahu perasaan itu. Kadang, hidup membawa kita ke arah yang tidak kita harapkan.”
Suasana menjadi hening sejenak, dan Ditra merasakan dorongan untuk mengungkapkan perasaannya. “Zea, ada sesuatu yang ingin aku katakan…” katanya dengan suara bergetar. “Selama bertahun-tahun, aku… aku menyimpan rasa ini untukmu. Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya.”
Zea terkejut, matanya membesar. “Ditra, aku—”
“Dengar, aku tahu kamu sudah menikah, dan aku menghormati itu. Tapi aku merasa kamu perlu tahu betapa berharganya kamu bagiku. Kecerdasanmu, kebaikanmu, semua tentang dirimu… itu selalu menginspirasi aku,” potong Ditra, menghela napas.
Zea menunduk, terlihat emosional. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku selalu menganggap kita sebagai teman baik. Tetapi aku juga merasakan ikatan yang dalam denganmu. Ketika aku jauh, aku sering memikirkan kita.”
“Apakah kamu menyesali pilihanmu?” tanya Ditra, suaranya nyaris berbisik.
Baca juga Perjalanan Seorang Anak Petani Karet
Zea mengangkat wajahnya, air mata menggenang di matanya. “Tidak, aku bahagia dengan pilihanku. Tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang kita miliki. Itu adalah bagian yang indah dalam hidupku.”
Ditra merasa hatinya terbakar, tetapi ada juga kedamaian. “Mungkin kita tidak ditakdirkan bersama, Zea. Tetapi aku akan selalu menghargai kamu.”
Zea tersenyum pahit. “Aku akan selalu mengingatmu, Ditra. Temanku, yang selalu ada di sisiku, bahkan ketika aku tidak menyadarinya.”
Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang berat, tetapi Ditra merasa lega karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya. Dia tahu bahwa meskipun jalan mereka berbeda, kenangan indah tentang Zea akan selalu menyertainya.
Saat Ditra meninggalkan reuni, dia menatap bintang-bintang di langit malam, merasakan kehangatan kenangan yang takkan pernah pudar. Dia tersenyum, berjanji untuk melanjutkan hidup dan mengejar mimpinya sendiri, terinspirasi oleh sosok yang akan selalu ia cintai dari jauh.
Beberapa bulan setelah reuni, Ditra berusaha mengalihkan perhatian dari perasaannya terhadap Zea. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman dekatnya dan mengembangkan hobi baru, seperti fotografi. Dengan kamera di tangan, Ditra menemukan cara untuk mengekspresikan diri dan mengalihkan pikirannya dari kenangan tentang Zea.
Namun, bayang-bayang Zea selalu menghantui pikiran Ditra. Setiap kali ia melihat pemandangan indah, ia teringat akan betapa Zea pasti menyukainya. Ketika Ditra mengambil gambar pemandangan senja di tepi danau, ia membayangkan senyuman Zea saat melihatnya.
Suatu malam, saat Ditra mengedit foto-fotonya, ia menerima pesan dari Zea. “Ditra, aku harap kamu baik-baik saja. Aku ingin sekali bertemu, jika kamu tidak keberatan.” Jantung Ditra berdegup kencang. Ia tidak yakin apa yang akan mereka bicarakan, tetapi rasa rindunya terhadap Zea membuatnya setuju.
Mereka sepakat untuk bertemu di kafe kecil di pinggir kota. Ketika Ditra tiba, Zea sudah ada di sana, mengenakan gaun sederhana namun anggun. Dia tampak lebih matang dan bahagia. Ditra merasakan campur aduk antara kegembiraan dan ketegangan saat melihatnya.
“Ditra!” seru Zea dengan senyuman. “Aku senang kita bisa bertemu.”
“Begitu juga aku,” jawab Ditra, berusaha mengendalikan emosi. Mereka duduk dan mulai berbincang tentang kehidupan masing-masing. Zea menceritakan pengalamannya di luar negeri, bagaimana ia belajar banyak hal, tidak hanya akademis tetapi juga tentang kehidupan.
“Semua pengalaman itu mengubah pandanganku tentang cinta dan hubungan,” kata Zea. “Aku mulai memahami bahwa hidup itu tidak selalu berjalan sesuai rencana.”
Ditra menatap Zea, ingin tahu lebih jauh. “Apa maksudmu?” tanyanya, berharap bisa menggali lebih dalam.
Zea menghela napas. “Aku sempat berpikir bahwa aku sudah menemukan segalanya dengan menikahi orang yang aku cintai. Tetapi aku menyadari, cinta bukan hanya tentang rasa suka. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dihadapi.”
“Apakah kamu menyesali keputusanmu?” tanya Ditra, hatinya berdebar.
Zea menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya. “Aku tidak menyesali keputusanku, tetapi aku juga merasa ada banyak hal yang belum aku jelajahi. Aku merindukan kebebasan dan mengejar impian tanpa batasan.”
Ditra merasakan ada kesedihan di balik kata-kata Zea. “Apakah kamu bahagia?” tanyanya lembut.
Zea tersenyum pahit. “Aku tidak bisa mengatakan aku sepenuhnya bahagia. Tapi aku berusaha untuk menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri.”
Mendengar itu, Ditra merasa tergerak. “Zea, jika kamu merasa terjebak, mungkin kamu perlu berpikir ulang tentang apa yang kamu inginkan. Kebahagiaanmu penting.”
Zea menatap Ditra, ada haru di matanya. “Kamu selalu bisa melihat sisi lain, ya? Itu yang membuatmu istimewa.”
Percakapan mereka berlanjut, menjelajahi topik-topik yang dalam dan kadang emosional. Seiring waktu, Ditra merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Zea. Dia tidak hanya teman masa lalu, tetapi juga seseorang yang kini berjuang untuk menemukan jati dirinya.
Setelah beberapa jam berbincang, Ditra merasa seolah waktu terhenti. “Zea, ada satu hal yang ingin aku katakan…” katanya, suaranya penuh keraguan. “Mungkin ini tidak pantas, tetapi aku… aku tidak pernah berhenti peduli padamu.”
Zea menatapnya, ekspresi campur aduk di wajahnya. “Ditra, aku—”
“Dengar, aku tahu kamu sudah berkomitmen. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Jika kamu butuh seseorang untuk mendukungmu, aku akan ada di sana.”
Air mata mulai menggenang di mata Zea. “Kamu selalu menjadi tempat yang aman bagiku, Ditra. Ketika aku merasa bingung, aku selalu ingat betapa berartinya kamu dalam hidupku.”
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap dengan penuh pengertian. Ditra merasa ada harapan dalam kata-kata Zea. “Apakah kamu sudah berbicara dengan pasanganmu tentang perasaanmu?” tanya Ditra, suaranya lembut.
Zea menggelengkan kepala. “Belum. Aku merasa tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, tetapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Ditra mengangguk, merasakan beban yang dipikul Zea. “Keputusan itu sulit. Tapi ingat, kamu berhak untuk bahagia, Zea. Dan kadang, kita perlu berani mengambil langkah untuk menciptakan kebahagiaan itu.”
Zea terdiam, merenungkan kata-kata Ditra. “Kamu benar. Mungkin aku harus lebih berani dalam menghadapi kehidupanku.”
Malam itu, Ditra merasa ada kebangkitan dalam dirinya. Meskipun situasinya rumit, mereka berdua tahu bahwa percakapan ini adalah langkah penting menuju pemahaman yang lebih dalam.
Ketika mereka berpisah, Ditra menatap Zea dengan harapan. “Ingat, aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendiri.”
Zea tersenyum, meski dengan air mata di pipinya. “Terima kasih, Ditra. Kamu selalu membuatku merasa dihargai. Aku akan memikirkan semua ini.”
Saat Ditra melangkah pergi, dia merasa ada perubahan dalam dirinya. Dia tahu jalan di depan tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk mendukung Zea, apa pun yang akan terjadi. Dengan harapan baru, Ditra melanjutkan hidupnya, bersiap untuk menjalani setiap hari dengan semangat dan kebangkitan yang lebih kuat. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.