24 Oktober 2024

Langit Mendung di Hati Irma

Langit Mendung di Hati Irma
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisahIrma yang seketika menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal karena tabrakan maut dalam mobil fortuner yang digunakannya.

Di sebuah kota kecil yang sunyi, Irma adalah gadis berusia 17 tahun yang ceria. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Budi dan Rina, di sebuah rumah sederhana yang dipenuhi tawa dan cinta. Irma adalah siswa yang rajin, bercita-cita menjadi dokter untuk membantu orang-orang di sekitarnya. Namun, kehidupan seringkali penuh kejutan yang tidak terduga.

Suatu sore yang tenang, Irma duduk di kamarnya, mengerjakan tugas sekolah. Suara deru mobil Fortuner yang biasa digunakan orang tuanya keluar, mengalihkan perhatiannya. Ia menunggu dengan penuh harapan, merindukan kehadiran mereka yang selalu membawa pulang cerita dari tempat kerja. Namun, waktu berlalu dan mereka belum juga tiba.

Setelah beberapa jam, ponsel Irma bergetar. Ia melihat nomor dari seorang kerabat dekatnya. Hatinya mulai berdebar.

"Ibu? Ayah?" tanyanya ketika menjawab panggilan itu.

"Irma...," suara kerabatnya terputus-putus, "ada kecelakaan... mobil... mereka tidak selamat."

Dunia Irma seolah runtuh seketika. Suara kerabatnya seperti gema yang membangunkan ketidakpercayaan. “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Mereka pasti baik-baik saja!” teriaknya, air mata mulai mengalir.

Irma duduk di ruang tunggu rumah sakit, menunggu dengan gelisah. Dia merasakan semua orang mengawasinya dengan tatapan penuh belas kasihan, tetapi dia tidak ingin menghadapinya. Setiap detik terasa seperti satu tahun. Setelah beberapa saat, dokter keluar, dan Irma bergegas mendekatinya.

"Dokter, bagaimana dengan orang tua saya?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter itu menghela napas, tampak berat. "Saya minta maaf, Nak. Mereka sudah berusaha, tetapi... kecelakaan itu sangat parah."

Baca juga Aku Rindu Kamu Yang Dulu Mencintaiku

Irma terdiam. Kepalanya berputar, dan dia merasa terperangkap dalam kenyataan yang tidak dapat dia terima. Dia menggelengkan kepala, berusaha menolak kenyataan ini. "Tidak, ini tidak mungkin! Mereka harus kembali!"

Dokter itu hanya bisa menatapnya dengan penuh empati. "Saya tahu ini sangat sulit. Kami akan selalu ada untuk membantu, tetapi sekarang kamu harus kuat."

Beberapa hari kemudian, Irma menghadiri pemakaman orang tuanya. Hujan turun deras, seolah langit turut berduka. Irma berdiri di samping makam, tangisnya tidak dapat dibendung lagi.

"Ibu, Ayah... kenapa kalian pergi?" Ia berseru, suara penuh isak tangis. "Aku masih butuh kalian! Siapa yang akan mengajariku cara memasak? Siapa yang akan mendengarkan keluhanku tentang sekolah?"

Seorang kerabat, Tante Mira, mendekatinya. "Irma, sayang, mereka selalu bersamamu dalam hati. Mereka mencintaimu dan ingin kamu kuat."

Irma menatap Tante Mira dengan tatapan kosong. "Tapi bagaimana aku bisa kuat tanpa mereka? Aku merasa sendirian."

Tante Mira memeluknya erat. "Kamu tidak sendiri. Kami semua ada di sini untukmu. Kita akan melalui ini bersama."

Hari-hari setelahnya berjalan lambat bagi Irma. Dia merasa seperti berjalan di atas awan, kehilangan arah. Ia kembali ke sekolah, tetapi setiap tatapan teman-temannya yang penuh belas kasih hanya membuatnya merasa lebih hancur. Suatu hari, saat pelajaran berlangsung, dia tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia berdiri di depan kelas dan berkata, "Kenapa semua ini terjadi? Kenapa dunia ini begitu kejam?"

Salah satu temannya, Rani, mengangkat tangan. "Irma, kami di sini untukmu. Jika kamu butuh bicara, kami siap mendengarkan."

Irma merasa sedikit terhibur. "Tapi kalian tidak mengerti. Rasanya seperti kehilangan seluruh dunia."

Rani menjawab, "Memang sulit, tapi kita bisa saling mendukung. Apa pun yang kamu butuhkan, kami akan ada untukmu."

Baca juga Sakit Akan Cinta Yang Dihianati

Waktu berlalu, meskipun rasa sakit itu tidak sepenuhnya hilang, Irma mulai beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Dia berusaha keras di sekolah, bertekad untuk memenuhi impian orang tuanya. Di balik kesedihannya, ada semangat yang mulai menyala kembali.

Suatu malam, saat duduk di balkon, Irma melihat langit berbintang. Dia teringat dengan ayah dan ibunya, bagaimana mereka selalu menceritakan kisah-kisah indah di bawah langit malam.

“Ibu, Ayah,” bisiknya. “Aku berjanji akan terus berjuang. Aku akan menjadi dokter, seperti yang kalian impikan untukku. Kalian tidak akan dilupakan.”

Dari jauh, angin berhembus lembut, seolah menyampaikan pesan kasih sayang dari orang tuanya. Irma tahu, meski mereka telah pergi, cinta mereka akan selalu bersamanya.

Setelah beberapa bulan berlalu, Irma mulai beranjak dari kesedihan yang mendalam. Dia melanjutkan pendidikan di sekolah, meskipun bayang-bayang orang tuanya seringkali menghantuinya. Namun, seiring waktu, ia menemukan kekuatan dalam diri sendiri.

Suatu sore, saat ia duduk di taman sekolah, Rani mendekatinya. "Irma, ada kegiatan amal yang akan diadakan akhir pekan ini. Aku pikir itu bisa jadi cara yang baik untuk mengalihkan perhatianmu. Bagaimana?"

Irma tersenyum tipis. "Kegiatan amal? Apa yang akan kita lakukan?"

"Kita akan mengumpulkan dana untuk anak-anak yatim piatu," jawab Rani. "Aku tahu itu mungkin membuatmu merasa dekat dengan orang tua kamu. Mereka pasti ingin kamu membantu yang lain."

Irma terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Rani. "Baiklah, aku akan ikut."

Hari kegiatan amal pun tiba. Irma dan teman-teman sekelasnya berkumpul di alun-alun kota. Mereka membuat stan makanan, menjual kue dan minuman untuk mengumpulkan dana. Irma merasa sedikit lebih baik, melihat senyuman di wajah anak-anak yang datang.

Saat menjual kue, Irma melihat seorang bocah kecil yang duduk sendiri di pinggir alun-alun. Wajahnya pucat dan matanya penuh kesedihan. Irma merasa tergerak. Dia berjalan menghampiri bocah itu.

“Hai, kenapa kamu sendirian?” tanya Irma lembut.

Bocah itu menatapnya dengan mata yang penuh air. “Aku... tidak punya siapa-siapa. Ibuku pergi, dan aku tidak tahu ke mana dia pergi.”

Irma merasakan hatinya tercekat. Dalam sekejap, dia melihat dirinya sendiri di bocah itu. "Aku juga kehilangan orang tua. Tapi kita masih bisa saling mendukung. Nama aku Irma, dan kamu?"

"Budi," bocah itu menjawab pelan.

“Budi, maukah kamu ikut bersamaku? Kita bisa bermain dan mungkin membuat beberapa kue?” tawar Irma dengan senyuman.

Budi mengangguk perlahan, dan mereka berdua berjalan ke stan. Di sana, Irma mengajarinya cara membuat kue sambil berbagi cerita tentang orang tua mereka.

Saat malam tiba dan kegiatan amal berakhir, Irma merasa hatinya lebih hangat. Mereka berhasil mengumpulkan banyak dana, dan ia merasa bangga bisa membantu anak-anak lain yang juga merasakan kehilangan. Dalam perjalanan pulang, dia berbicara dengan Rani.

"Terima kasih sudah mengajak aku, Rani. Hari ini sangat berarti bagiku," ujar Irma.

"Senang mendengarnya. Aku tahu kadang-kadang sulit, tapi melihatmu tersenyum itu membuatku bahagia," balas Rani.

Irma tersenyum, menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Dukungan teman-temannya memberi kekuatan yang ia butuhkan.

Seiring berjalannya waktu, Irma terus berusaha keras di sekolah. Dia mulai aktif dalam organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler. Setiap kali dia merasa lelah, ia ingat tujuan dan cita-cita yang diimpikan orang tuanya. Dalam hatinya, dia tahu mereka selalu ada bersamanya.

Suatu hari, di tengah persiapan ujian akhir, Irma menerima kabar bahwa ada beasiswa untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan pendidikan ke fakultas kedokteran. Ketika membaca informasi tersebut, semangatnya terbangun kembali.

Dia bertekad untuk mendaftar. "Aku harus melakukan ini. Untuk mereka," bisiknya kepada diri sendiri.

Di malam hari, Irma duduk di meja belajar, menyiapkan semua dokumen dan persyaratan yang diperlukan. Setiap lembar kertas yang ia isi, setiap jawaban yang ia tulis, adalah ungkapan rasa cintanya pada orang tua yang telah pergi.

Di tengah proses itu, Rani sering menemaninya belajar. "Irma, kamu pasti bisa! Ingat, kita akan melalui ini bersama," dukung Rani.

"Iya, terima kasih, Rani. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dukunganmu," balas Irma sambil tersenyum.

Hari ujian tiba, dan Irma merasa gugup. Namun, saat memasuki ruang ujian, ia mengingat wajah orang tuanya. “Aku bisa melakukan ini,” ucapnya dalam hati. Dia mengerjakan soal dengan penuh fokus, dan setiap kali ada yang sulit, dia membayangkan orang tuanya memberi semangat.

Setelah ujian selesai, Irma pulang dengan perasaan campur aduk. Dia sudah melakukan yang terbaik, dan yang terpenting, ia merasa bangga dengan dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, saat Irma sedang duduk di taman, ponselnya bergetar. Dia membuka pesan dari sekolah. “Selamat, Irma! Kamu mendapatkan beasiswa untuk fakultas kedokteran!”

Tangis haru mengalir dari matanya. “Aku berhasil, Ayah, Ibu! Aku bisa jadi dokter,” serunya, mengangkat wajah ke langit.

Dia tahu, meski orang tuanya tidak lagi bersamanya secara fisik, cinta dan impian mereka akan selalu menyertainya. Irma berdiri, merasakan angin sepoi-sepoi, seolah mendengar suara orang tuanya. "Kami bangga padamu, sayang," bisik angin itu dalam hatinya.

Dengan semangat baru, Irma melangkah maju, siap menghadapi tantangan baru dan mengukir masa depannya. Dia akan melanjutkan perjalanan ini, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang orang tuanya yang selalu dicintainya. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.