Di balik gemerlapnya pencakar langit Jakarta, berdiri para pekerja bangunan yang menyaksikan kota ini dari sudut pandang berbeda. Ketika langit senja mulai diselimuti kegelapan, lampu-lampu kota menyala, dan orang-orang berpakaian rapi meninggalkan kantor dengan penuh kegembiraan. Namun, di sudut-sudut proyek yang dikelilingi pagar besi tinggi dan berkarat, kehidupan mereka terus bergulir tanpa henti—seolah malam dan siang tak lagi punya batas.
Sudirman, seorang pria berusia 40 tahun dengan wajah legam penuh debu, duduk di lantai semen kasar, bersandar pada dinding bangunan yang belum selesai. Topi proyeknya tergeletak di sebelahnya, sementara kedua tangannya memegang lutut yang gemetar kelelahan. Hari itu, dia dan rekan-rekannya baru saja menyelesaikan pengecoran di lantai 10 gedung yang belum diketahui kapan selesai.
Di sekitarnya, para pekerja bangunan lain, yang rata-rata datang dari desa-desa terpencil di seluruh pelosok Indonesia, duduk terdiam, sama lelahnya dengan Sudirman. Ada Kardi, pemuda berusia 25 tahun yang meninggalkan desanya di Sumatra untuk mencari peruntungan di Jakarta, serta Udin, yang usianya belum genap 20 tahun, namun sudah bekerja di proyek ini selama tiga tahun. Mereka sama-sama lelah, namun mereka tahu besok mereka harus bangun lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang seakan tiada habisnya.
Suara gergaji mesin dan palu masih terdengar di sudut lain bangunan, bahkan ketika jam sudah menunjukkan tengah malam. Tidak ada hari libur, tidak ada waktu untuk benar-benar beristirahat. Istirahat hanya datang ketika tubuh mereka menyerah, dan mesin-mesin konstruksi berhenti beroperasi untuk sesaat.
"Pak Dirman, kapan ya proyek ini selesai?" tanya Udin dengan suara serak, mencoba mengajak bicara di tengah kelelahan yang menyelimuti.
Sudirman tersenyum pahit, mengusap keringat yang bercampur dengan debu di wajahnya. “Entahlah, Din. Aku sudah kerja di sini hampir dua tahun, tapi rasanya bangunan ini nggak ada ujungnya. Jakarta nggak pernah selesai dibangun.”
Baca juga Indra dan Kenangan Masa Tua
Kardi yang sedari tadi diam, ikut bicara, suaranya lebih dalam dan penuh kepedihan. “Kita ini membangun kota yang nggak pernah peduli sama kita. Kita cuma jadi bayangan di antara gedung-gedung ini, Mas. Orang-orang di luar sana mungkin nggak pernah tau siapa yang bikin mereka bisa duduk nyaman di kantor-kantor tinggi itu.”
Sudirman mengangguk pelan, memandangi langit malam Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung megah dan lampu jalanan. “Kita bangun gedung-gedung ini, tapi kita nggak pernah bisa masuk ke dalamnya. Cuma pekerja yang tahu capek, tapi kita nggak pernah merasakan hasilnya.”
Percakapan terhenti sejenak, suara mesin-mesin proyek masih terdengar lirih, mengisi keheningan yang canggung. Di tengah kelelahan fisik, beban mental semakin berat. Banyak di antara mereka yang datang ke Jakarta dengan impian besar—impian untuk mengubah nasib, membangun kehidupan yang lebih baik bagi keluarga di kampung halaman. Namun, kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih kejam daripada mimpi-mimpi yang mereka bawa.
“Dulu, aku pikir dengan kerja keras di sini, aku bisa kirim uang lebih banyak buat anak-istriku di desa,” kata Sudirman lirih, matanya memandang ke jauh. “Tapi sekarang? Setiap bulan, uang habis buat biaya hidup di kota ini. Dan yang paling sakit, aku nggak pernah bisa pulang. Anakku tumbuh tanpa aku, hanya kenal suara dari telepon.”
Kardi memandang Sudirman dengan tatapan iba. “Mas Dirman, kenapa nggak pulang aja? Udah capek kayak gini, mendingan balik kampung, kan? Ngapain lagi tinggal di Jakarta kalau hanya bikin kita tambah sengsara.”
Sudirman menghela napas panjang. “Pulang? Aku mau pulang dengan apa, Kard? Tanpa uang, tanpa pekerjaan, aku malah jadi beban buat keluarga. Di sini, meski susah, paling nggak aku masih bisa kirim sedikit uang buat mereka.”
Kardi menunduk. Kata-kata Sudirman seperti mencerminkan ketakutannya sendiri. Ia masih muda, tapi sudah merasakan kerasnya kehidupan di Jakarta. Gaji yang ia terima tak pernah cukup untuk menyisihkan lebih banyak untuk keluarganya di kampung. Setiap bulan ia kirim uang, tapi sisanya hanya cukup untuk makan sehari-hari di Jakarta. Ia bekerja, tetapi tetap merasa terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berujung.
Udin, yang masih hijau namun penuh tekad, menatap kedua seniornya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa ini artinya kita harus selamanya begini, Mas? Bangun gedung-gedung yang nggak pernah kita tinggali, capek-capek di tengah malam tanpa tahu kapan selesai?”
Sudirman menatap Udin, merasa getir. Anak muda ini masih punya harapan, masih punya mimpi yang belum hancur oleh kerasnya realitas. “Aku nggak tahu, Din. Yang pasti, kita harus terus bertahan. Hidup di sini memang keras, tapi kalau kita nyerah, nasib kita malah bisa lebih buruk.”
Suara hujan mulai terdengar, rintik-rintik membasahi beton dan besi di sekeliling mereka. Para pekerja mulai bergegas mencari tempat berlindung. Namun, bagi mereka yang terbiasa dengan kerja keras di bawah panas terik dan hujan lebat, cuaca bukanlah hal yang bisa menghalangi mereka. Mereka berjalan menuju pondokan kecil di sisi proyek, tempat mereka tidur berdesak-desakan dalam ruangan sempit yang terbuat dari kayu dan seng.
Di dalam pondokan, atap seng bocor di beberapa sudut, dan udara dingin menyelinap masuk. Di tempat tidur yang hanya berupa tikar tipis, mereka merebahkan tubuh yang lelah. Kelelahan itu terasa begitu mendalam, hingga kata-kata pun sulit diucapkan. Sudirman, Kardi, dan Udin tidur bersebelahan, menatap atap yang bocor tanpa sepatah kata.
Baca juga Langit Mendung di Hati Irma
Pagi akan datang, dan mereka akan bangun lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang seolah tak pernah selesai. Gedung yang mereka bangun semakin tinggi, namun kehidupan mereka tetap di bawah—terkubur oleh impian yang terkikis oleh realitas.
Malam semakin larut, dan suara hujan semakin deras. Dalam hati masing-masing, ada harapan kecil yang tak pernah padam, meski hidup seolah tidak memberi mereka ruang untuk bernapas. Mereka tetap bertahan, di balik pintu besi proyek-proyek megah Jakarta, membangun kota yang mereka tahu takkan pernah menjadi milik mereka.
Namun, di antara kelelahan dan kesunyian malam, satu hal yang membuat mereka terus melangkah: keluarga di kampung, anak-anak yang mereka cintai, dan impian sederhana tentang kehidupan yang lebih baik—meskipun itu terasa semakin jauh setiap harinya.
Ketika fajar menyingsing, mereka bangun, merapikan diri, dan kembali bekerja. Pintu besi yang berat terbuka, menyambut mereka kembali ke kenyataan yang tak pernah memberikan istirahat. Tapi mereka tetap berdiri, dengan tangan kokoh yang membangun fondasi kota ini, sambil berharap suatu saat nanti, ada secercah harapan yang bisa mengubah nasib mereka.
**Cerita di Balik Pintu Besi: Kehidupan Para Pekerja Bangunan yang Tak Pernah Beristirahat**
Di balik gemerlapnya pencakar langit Jakarta, berdiri para pekerja bangunan yang menyaksikan kota ini dari sudut pandang berbeda. Ketika langit senja mulai diselimuti kegelapan, lampu-lampu kota menyala, dan orang-orang berpakaian rapi meninggalkan kantor dengan penuh kegembiraan. Namun, di sudut-sudut proyek yang dikelilingi pagar besi tinggi dan berkarat, kehidupan mereka terus bergulir tanpa henti—seolah malam dan siang tak lagi punya batas.
Sudirman, seorang pria berusia 40 tahun dengan wajah legam penuh debu, duduk di lantai semen kasar, bersandar pada dinding bangunan yang belum selesai. Topi proyeknya tergeletak di sebelahnya, sementara kedua tangannya memegang lutut yang gemetar kelelahan. Hari itu, dia dan rekan-rekannya baru saja menyelesaikan pengecoran di lantai 10 gedung yang belum diketahui kapan selesai.
Di sekitarnya, para pekerja bangunan lain, yang rata-rata datang dari desa-desa terpencil di seluruh pelosok Indonesia, duduk terdiam, sama lelahnya dengan Sudirman. Ada Kardi, pemuda berusia 25 tahun yang meninggalkan desanya di Sumatra untuk mencari peruntungan di Jakarta, serta Udin, yang usianya belum genap 20 tahun, namun sudah bekerja di proyek ini selama tiga tahun. Mereka sama-sama lelah, namun mereka tahu besok mereka harus bangun lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang seakan tiada habisnya.
Suara gergaji mesin dan palu masih terdengar di sudut lain bangunan, bahkan ketika jam sudah menunjukkan tengah malam. Tidak ada hari libur, tidak ada waktu untuk benar-benar beristirahat. Istirahat hanya datang ketika tubuh mereka menyerah, dan mesin-mesin konstruksi berhenti beroperasi untuk sesaat.
"Pak Dirman, kapan ya proyek ini selesai?" tanya Udin dengan suara serak, mencoba mengajak bicara di tengah kelelahan yang menyelimuti.
Sudirman tersenyum pahit, mengusap keringat yang bercampur dengan debu di wajahnya. “Entahlah, Din. Aku sudah kerja di sini hampir dua tahun, tapi rasanya bangunan ini nggak ada ujungnya. Jakarta nggak pernah selesai dibangun.”
Kardi yang sedari tadi diam, ikut bicara, suaranya lebih dalam dan penuh kepedihan. “Kita ini membangun kota yang nggak pernah peduli sama kita. Kita cuma jadi bayangan di antara gedung-gedung ini, Mas. Orang-orang di luar sana mungkin nggak pernah tau siapa yang bikin mereka bisa duduk nyaman di kantor-kantor tinggi itu.”
Sudirman mengangguk pelan, memandangi langit malam Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung megah dan lampu jalanan. “Kita bangun gedung-gedung ini, tapi kita nggak pernah bisa masuk ke dalamnya. Cuma pekerja yang tahu capek, tapi kita nggak pernah merasakan hasilnya.”
Percakapan terhenti sejenak, suara mesin-mesin proyek masih terdengar lirih, mengisi keheningan yang canggung. Di tengah kelelahan fisik, beban mental semakin berat. Banyak di antara mereka yang datang ke Jakarta dengan impian besar—impian untuk mengubah nasib, membangun kehidupan yang lebih baik bagi keluarga di kampung halaman. Namun, kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih kejam daripada mimpi-mimpi yang mereka bawa.
“Dulu, aku pikir dengan kerja keras di sini, aku bisa kirim uang lebih banyak buat anak-istriku di desa,” kata Sudirman lirih, matanya memandang ke jauh. “Tapi sekarang? Setiap bulan, uang habis buat biaya hidup di kota ini. Dan yang paling sakit, aku nggak pernah bisa pulang. Anakku tumbuh tanpa aku, hanya kenal suara dari telepon.”
Kardi memandang Sudirman dengan tatapan iba. “Mas Dirman, kenapa nggak pulang aja? Udah capek kayak gini, mendingan balik kampung, kan? Ngapain lagi tinggal di Jakarta kalau hanya bikin kita tambah sengsara.”
Sudirman menghela napas panjang. “Pulang? Aku mau pulang dengan apa, Kard? Tanpa uang, tanpa pekerjaan, aku malah jadi beban buat keluarga. Di sini, meski susah, paling nggak aku masih bisa kirim sedikit uang buat mereka.”
Kardi menunduk. Kata-kata Sudirman seperti mencerminkan ketakutannya sendiri. Ia masih muda, tapi sudah merasakan kerasnya kehidupan di Jakarta. Gaji yang ia terima tak pernah cukup untuk menyisihkan lebih banyak untuk keluarganya di kampung. Setiap bulan ia kirim uang, tapi sisanya hanya cukup untuk makan sehari-hari di Jakarta. Ia bekerja, tetapi tetap merasa terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berujung.
Udin, yang masih hijau namun penuh tekad, menatap kedua seniornya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa ini artinya kita harus selamanya begini, Mas? Bangun gedung-gedung yang nggak pernah kita tinggali, capek-capek di tengah malam tanpa tahu kapan selesai?”
Sudirman menatap Udin, merasa getir. Anak muda ini masih punya harapan, masih punya mimpi yang belum hancur oleh kerasnya realitas. “Aku nggak tahu, Din. Yang pasti, kita harus terus bertahan. Hidup di sini memang keras, tapi kalau kita nyerah, nasib kita malah bisa lebih buruk.”
Suara hujan mulai terdengar, rintik-rintik membasahi beton dan besi di sekeliling mereka. Para pekerja mulai bergegas mencari tempat berlindung. Namun, bagi mereka yang terbiasa dengan kerja keras di bawah panas terik dan hujan lebat, cuaca bukanlah hal yang bisa menghalangi mereka. Mereka berjalan menuju pondokan kecil di sisi proyek, tempat mereka tidur berdesak-desakan dalam ruangan sempit yang terbuat dari kayu dan seng.
Di dalam pondokan, atap seng bocor di beberapa sudut, dan udara dingin menyelinap masuk. Di tempat tidur yang hanya berupa tikar tipis, mereka merebahkan tubuh yang lelah. Kelelahan itu terasa begitu mendalam, hingga kata-kata pun sulit diucapkan. Sudirman, Kardi, dan Udin tidur bersebelahan, menatap atap yang bocor tanpa sepatah kata.
Pagi akan datang, dan mereka akan bangun lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang seolah tak pernah selesai. Gedung yang mereka bangun semakin tinggi, namun kehidupan mereka tetap di bawah—terkubur oleh impian yang terkikis oleh realitas.
Malam semakin larut, dan suara hujan semakin deras. Dalam hati masing-masing, ada harapan kecil yang tak pernah padam, meski hidup seolah tidak memberi mereka ruang untuk bernapas. Mereka tetap bertahan, di balik pintu besi proyek-proyek megah Jakarta, membangun kota yang mereka tahu takkan pernah menjadi milik mereka.
Namun, di antara kelelahan dan kesunyian malam, satu hal yang membuat mereka terus melangkah: keluarga di kampung, anak-anak yang mereka cintai, dan impian sederhana tentang kehidupan yang lebih baik—meskipun itu terasa semakin jauh setiap harinya.
Ketika fajar menyingsing, mereka bangun, merapikan diri, dan kembali bekerja. Pintu besi yang berat terbuka, menyambut mereka kembali ke kenyataan yang tak pernah memberikan istirahat. Tapi mereka tetap berdiri, dengan tangan kokoh yang membangun fondasi kota ini, sambil berharap suatu saat nanti, ada secercah harapan yang bisa mengubah nasib mereka. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.