Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggallah seorang wanita muda bernama Sarah. Sejak kecil, Sarah selalu terpesona dengan teknologi terbaru, terutama handphone canggih yang sering dilihatnya di iklan televisi dan media sosial. Handphone yang bisa melakukan segalanya: dari memotret dengan kualitas tinggi hingga terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia. Namun, impian itu terasa begitu jauh, karena Sarah tidak memiliki pekerjaan tetap dan hidup dalam keadaan serba kekurangan.
Sarah tinggal di sebuah rumah kecil bersama ibunya, Mira, yang bekerja sebagai penjual makanan di pasar. Setiap pagi, Mira bangun lebih awal untuk menyiapkan dagangannya. Sarah, meski ingin membantu, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mencoba mencari pekerjaan sambil merawat adiknya yang masih kecil.
Suatu sore, setelah pulang dari pasar, Mira mendapati Sarah duduk di depan televisi, menatap iklan handphone terbaru dengan tatapan penuh harap.
“Mama, lihat! Handphone itu luar biasa! Bisa merekam video 4K dan ada fitur kecerdasan buatan!” seru Sarah dengan antusias.
Mira tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Itu memang sangat canggih, Sarah. Tapi kita harus realistis. Kita tidak bisa membeli barang-barang seperti itu.”
“Kenapa tidak? Aku bisa kerja paruh waktu. Aku bisa menabung!” jawab Sarah dengan semangat.
Mira menghela napas. “Aku tahu kamu ingin sekali memiliki handphone itu, tapi kita harus fokus pada kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu.”
Sarah menunduk, merasa kecewa. “Tapi Mama, semua teman-temanku sudah punya handphone canggih. Aku merasa terasing tanpa itu.”
Mira meraih bahu Sarah, “Kita semua memiliki perjalanan yang berbeda. Ingat, yang terpenting bukanlah barang-barang, tapi bagaimana kita memanfaatkan apa yang kita punya.”
Malam itu, saat Sarah terbaring di ranjangnya, dia merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Dia ingin sekali memiliki handphone itu, bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk membantunya mencari pekerjaan dan belajar lebih banyak.
Keesokan harinya, Sarah memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan. Dia berjalan menyusuri jalanan kota, melamar di berbagai tempat, tetapi semua jawaban yang didapatnya sama: “Maaf, kami tidak sedang mencari karyawan baru.”
Baca juga Gaspol Demi Rupiah
Setelah berhari-hari mencoba, Sarah akhirnya mendapatkan pekerjaan paruh waktu di sebuah kafe kecil. Meski gajinya tidak seberapa, dia merasa itu adalah langkah awal menuju impiannya. Setiap malam, dia menyisihkan sedikit uang dari gajinya untuk ditabung.
Suatu sore, saat Sarah pulang dari kafe, dia menemukan ibunya sedang duduk di ruang tamu dengan wajah cemas.
“Mama, ada apa?” tanya Sarah.
“Mama baru saja mendengar kabar bahwa pasar tempat Mama jualan akan ditutup sementara karena renovasi,” jawab Mira. “Kita mungkin harus mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan.”
Hati Sarah seakan tercekat. “Tapi Mama, aku sudah mulai menabung untuk handphone itu. Kenapa harus ada masalah lagi?”
“Uang yang kamu tabung harus digunakan untuk kebutuhan kita dulu, Sarah. Kita tidak bisa mengorbankan makanan hanya untuk sebuah handphone,” kata Mira dengan lembut.
Tentu saja, Sarah mengerti. Namun, rasa frustasi semakin menggerogoti semangatnya. Dia berusaha keras untuk tetap positif, tetapi bayangan handphone impiannya terus menghantuinya.
Beberapa bulan berlalu, dan Sarah terus bekerja keras di kafe. Suatu hari, saat dia sedang membersihkan meja, dia mendengar dua pelanggan berbicara tentang aplikasi baru yang bisa membantu orang mencari pekerjaan atau menghasilkan uang dari rumah.
“Kalau aku bisa menggunakan aplikasi itu, mungkin aku bisa mendapatkan penghasilan tambahan,” pikir Sarah dalam hati.
Setelah jam kerja, Sarah pulang dan langsung mencari informasi tentang aplikasi tersebut. Dia berhasil mengunduhnya dan mulai belajar cara menggunakannya. Dengan keterampilan yang dia pelajari, Sarah mulai mendapatkan proyek kecil-kecilan yang membantunya menambah tabungan.
Hari demi hari, tabungannya mulai bertambah. Dia merasa semangatnya kembali. Namun, saat dia menceritakan rencananya kepada ibunya, Mira tampak khawatir.
“Sarah, kamu harus ingat untuk tidak mengabaikan kesehatanmu. Jangan terlalu memaksakan diri hanya untuk membeli sesuatu yang mungkin tidak kamu butuhkan,” kata Mira.
“Ma, aku sudah berusaha keras. Aku ingin sekali handphone itu. Ini bukan hanya tentang keinginan, tapi juga tentang masa depanku,” jawab Sarah, berusaha meyakinkan ibunya.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan menabung, Sarah mengumpulkan cukup uang untuk membeli handphone impiannya. Dia merasa sangat bangga dan bersemangat.
“Ma, aku berhasil! Aku bisa membeli handphone itu!” serunya dengan gembira.
Mira tersenyum, meski ada campuran rasa bangga dan khawatir. “Aku tahu kamu telah berusaha keras, Sarah. Tapi ingatlah untuk selalu bersyukur atas apa yang kamu miliki.”
Hari itu, Sarah pergi ke toko dan membeli handphone yang selama ini diimpikannya. Saat dia memegang handphone baru itu, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Dia merasa semua kerja kerasnya terbayar.
Di rumah, dia menunjukkan handphone itu kepada ibunya. “Lihat, Ma! Semua ini berkat kerja keras kita!”
Mira memeluk Sarah dengan penuh kasih. “Aku bangga padamu, Sarah. Tapi ingat, teknologi itu hanya alat. Yang terpenting adalah apa yang kamu lakukan dengan itu.”
Baca juga Derita Para Pekerja Malam yang Terlupakan
Sarah mengangguk. Dia tahu bahwa impian bukan hanya tentang memiliki barang, tetapi juga tentang perjalanan dan usaha yang dilakukan untuk mencapainya. Dengan handphone barunya, Sarah bertekad untuk terus belajar dan mencari peluang, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk membantu keluarganya.
Setelah membeli handphone impiannya, Sarah merasa hidupnya berubah. Dengan teknologi di tangannya, dia mampu mengakses berbagai informasi, mengikuti kursus online, dan bahkan berkomunikasi dengan orang-orang dari seluruh dunia. Dia mulai mendapatkan proyek freelance yang lebih banyak, dan pendapatannya pun meningkat.
Suatu pagi, saat Sarah sedang mengerjakan proyek di kafe tempatnya bekerja, dia menerima pesan dari seorang teman lama, Dika, yang kini tinggal di kota besar.
“Hey, Sarah! Kapan terakhir kali kita bertemu? Aku lihat di media sosial, kamu sudah punya handphone baru. Keren! Mau ngopi bareng?” tulis Dika.
Sarah merasa senang. Dia membalas pesan itu dengan cepat. “Tentu, Dika! Aku belum lama ini mulai freelancing. Aku ingin berbagi kabar baik!”
Ketika mereka bertemu di kafe, Dika terkesan dengan perkembangan Sarah. “Kau benar-benar berubah, Sarah. Aku ingat ketika kita sama-sama bermimpi tentang masa depan. Apa rahasianya?”
Sarah tersenyum. “Kerja keras dan keberanian untuk mencoba hal baru. Handphone ini membantuku banyak, tapi yang terpenting adalah semangatku untuk tidak menyerah.”
Dika mengangguk. “Kau tahu, aku punya koneksi di sebuah perusahaan teknologi. Mereka sedang mencari orang untuk proyek baru. Mungkin kau bisa melamar?”
Hati Sarah berdebar. “Benarkah? Tapi aku tidak punya pengalaman di bidang itu.”
“Apa kau ingat ketika kita belajar coding bersama? Kau punya potensi, Sarah. Jangan ragu untuk mencoba!” ujar Dika.
Setelah pertemuan itu, Sarah merasa terinspirasi. Dia segera mengumpulkan portofolio dan melamar pekerjaan di perusahaan yang Dika sebutkan. Beberapa minggu kemudian, dia mendapatkan panggilan untuk wawancara.
Saat hari wawancara tiba, Sarah merasa gugup. Dia mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki dan pergi ke kantor perusahaan itu. Di sana, dia bertemu dengan seorang manajer yang tampak ramah.
“Sarah, terima kasih telah datang. Kami tertarik dengan portofoliomu. Apa yang membuatmu ingin bergabung dengan kami?” tanya manajer tersebut.
Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Saya percaya teknologi dapat mengubah hidup seseorang. Saya ingin berkontribusi dalam menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Saya sudah bekerja keras untuk mencapai ini dan siap belajar lebih banyak.”
Manajer itu tersenyum. “Kami menghargai semangatmu. Kami mencari seseorang yang tidak hanya memiliki keterampilan, tetapi juga dedikasi. Kami akan memberi tahu hasilnya dalam beberapa hari.”
Kembali ke rumah, Sarah tidak bisa menahan rasa cemas dan bersemangat. Dia menceritakan semua kepada ibunya. “Ma, aku baru saja wawancara kerja! Aku berharap bisa diterima!”
Mira menatap putrinya dengan bangga. “Aku percaya kamu sudah melakukan yang terbaik. Apapun hasilnya, yang terpenting adalah proses yang kamu jalani.”
Beberapa hari kemudian, Sarah menerima email yang ditunggu-tunggu. Dengan hati berdegup kencang, dia membuka email tersebut. “Selamat, Sarah! Kami ingin menawarkanmu posisi di tim kami.”
Tears of joy mengalir di wajahnya. Dia melompat dan berlari memeluk ibunya. “Ma! Aku diterima! Aku mendapatkan pekerjaan itu!”
Mira menangis bahagia. “Aku tahu kamu bisa melakukannya! Ini adalah langkah awal yang hebat untuk masa depanmu.”
Sejak saat itu, Sarah bekerja keras di perusahaan baru. Dia belajar banyak dan bertemu dengan banyak orang hebat. Setiap kali dia melihat handphone-nya, dia teringat perjalanan yang telah dilaluinya dan semua usaha yang telah dia lakukan untuk mencapai impiannya.
Namun, tantangan baru pun muncul. Di tengah kesibukan pekerjaan, Sarah harus tetap menjaga keseimbangan antara karier dan tanggung jawab keluarganya. Dia mulai merasa tertekan dan lelah.
Suatu malam, setelah pulang dari kerja, dia duduk di ruang tamu, menatap layar handphone-nya. Mira memperhatikannya dan duduk di sampingnya.
“Sarah, kau terlihat lelah. Apa ada yang membuatmu khawatir?” tanya Mira dengan lembut.
“Ma, aku merasa seperti tidak bisa mengimbangi semuanya. Pekerjaan, proyek freelance, dan adik. Rasanya terlalu banyak,” kata Sarah, suaranya bergetar.
Mira merangkulnya. “Kau tidak perlu melakukan semuanya sendiri. Kita adalah keluarga. Kita bisa saling membantu.”
Sarah mengangguk, menyadari betapa pentingnya dukungan keluarga. “Aku hanya ingin membuat semuanya lebih baik untuk kita.”
“Membuat semuanya lebih baik tidak harus berarti melakukan segalanya sendirian. Terkadang, meminta bantuan adalah langkah yang paling bijak,” jawab Mira.
Setelah berbicara dengan ibunya, Sarah merasa lebih ringan. Dia mulai membagi tugas dengan anggota keluarga lainnya dan berusaha lebih baik dalam manajemen waktu. Dengan cara ini, dia bisa menikmati hidup dan pekerjaannya tanpa merasa terbebani.
Beberapa bulan kemudian, Sarah mendapatkan promosi di tempat kerjanya. Dia merasa bangga dan bersemangat. Dia tidak hanya sukses dalam kariernya, tetapi juga belajar untuk menemukan keseimbangan dalam hidupnya.
Di hari perayaannya, Sarah mengundang Dika dan beberapa teman dekat untuk merayakan pencapaiannya. Di tengah suasana yang ceria, Dika mengangkat gelasnya.
“Untuk Sarah! Sebuah inspirasi bagi kita semua! Semoga ini menjadi awal dari perjalanan yang lebih luar biasa lagi!”
Semua orang bertepuk tangan, dan Sarah merasa bahagia dikelilingi orang-orang yang mendukungnya.
“Terima kasih, semua. Aku tidak akan berada di sini tanpa dukungan kalian. Perjalanan ini mengajarkan bahwa mimpi itu bisa dicapai, asalkan kita berusaha dan tidak takut untuk meminta bantuan saat kita membutuhkannya,” kata Sarah dengan penuh rasa syukur.
Di dalam hatinya, Sarah tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan. Masih banyak impian dan tantangan yang akan dihadapi. Namun, dengan semangat yang tak pernah padam dan dukungan orang-orang terkasih, dia siap menghadapi apapun yang datang.
Mimpi yang awalnya tampak jauh kini menjadi kenyataan. Sarah belajar bahwa impian tidak hanya tentang memiliki sesuatu, tetapi tentang bagaimana kita bertumbuh dan belajar dalam prosesnya. Dan yang terpenting, dia menemukan bahwa cinta dan dukungan keluarga adalah fondasi terkuat dalam mencapai impian. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.