27 Oktober 2024

Di Balik Helm

Di Balik Helm
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah perjuangan seorang driver ojek online yang merasa kecewa dengan layanan perusahaan tempatnya bekerja. Dari gaji yang tak kunjung naik hingga kurangnya perlindungan bagi driver, cerita ini akan menyoroti ketidakadilan yang sering dialami oleh para driver online.

Sore itu, langit mulai mendung, menggantungkan awan gelap di atas kota Jakarta. Di sudut jalan yang ramai, Farid, seorang driver ojek online, duduk di atas motornya yang sudah lusuh. Keringat bercucuran di dahinya, meski angin sore berhembus kencang. Ponsel di genggamannya tak henti-hentinya berbunyi, tapi itu bukan notifikasi orderan—melainkan tagihan listrik, air, dan pesan dari sekolah anaknya yang mengingatkan pembayaran SPP bulan ini.

Farid (mengerutkan dahi):"Astaga, gimana ini? Habis narik seharian, saldo cuma segini? Tagihan segini banyak. Gaji nggak pernah naik, malah dipotong terus sama aplikasi. Kok hidup makin susah, ya?"

Farid sudah bekerja sebagai driver ojek online selama lebih dari empat tahun. Pada awalnya, segalanya terasa baik. Pendapatan cukup untuk kebutuhan keluarga, dan meskipun lelah, dia merasa pekerjaannya ini membawa berkah. Namun, belakangan, segalanya berubah. Perusahaan tempatnya bekerja semakin sering memotong insentif, dan tarif perjalanan yang dulu cukup besar, kini terasa sangat kecil. Sementara biaya hidup terus naik, harga bahan bakar, servis motor, dan perawatan kesehatan—semuanya menjadi beban yang semakin berat.

Farid (berbicara sendiri):"Dulu, tarikan sehari bisa buat bawa pulang cukup. Sekarang? Dikasih bonus pun kaya bohong, nggak cukup buat nutupin pengeluaran."

Farid menatap layar ponselnya, melihat penghasilan hari itu yang terasa jauh dari harapan. Dia teringat pesan istrinya, Sari, yang tadi pagi mengingatkan bahwa beras di rumah hampir habis. Ditambah lagi, anak mereka, Yana, baru saja masuk sekolah dasar dan butuh seragam baru. Semua itu menjadi tekanan yang semakin menumpuk di pundaknya.

Farid (menerawang):"Ya Allah, kok rasanya makin berat aja."

Farid tidak hanya merasa kecewa karena penghasilannya menurun, tetapi juga karena perusahaan ojek online tempatnya bekerja seolah-olah tidak peduli dengan para drivernya. Mereka hanya sibuk memperkenalkan fitur-fitur baru untuk pelanggan, sementara kesejahteraan driver seperti dirinya diabaikan.

Sambil menghela napas panjang, Farid memutuskan untuk pulang lebih awal. Badannya sudah terlalu lelah, baik fisik maupun mental. Di perjalanan pulang, notifikasi masuk lagi dari aplikasi.

"*Perubahan skema insentif: Mulai minggu depan, Anda harus menyelesaikan 20 trip per hari untuk mendapatkan bonus harian.*"

Farid (dengan suara gemetar):"Apaan ini? Dulu 10 trip udah dapet bonus, sekarang harus 20? Emang mereka kira kita ini robot? Perusahaan makin nggak masuk akal!"


Baca juga Suara-suara Terpinggirkan yang Tersirat dalam Gemerlapnya


Sesampainya di rumah, Farid disambut oleh istrinya, Sari. Wajah Sari terlihat cemas, mungkin karena tahu suaminya pulang lebih awal dari biasanya. Sari sudah mendengar banyak cerita dari tetangga-tetangga lain yang suaminya juga bekerja sebagai driver ojek online. Mereka sering mengeluh tentang skema baru perusahaan yang tidak menguntungkan, dan Sari tahu betul Farid pasti merasakan hal yang sama.

Sari (dengan lembut):"Mas, gimana hari ini? Kok pulang cepet?"

Farid (menggeleng pelan):"Sari, kayaknya makin susah aja. Perusahaan sekarang makin seenaknya. Gaji dipotong-potong terus. Bonus susah dapetnya, padahal trip yang diminta makin gila. Mau makan apa kita nanti?"

Sari (berusaha menenangkan):"Mas, tenang dulu. Mungkin ada jalannya nanti. Kita bisa cari cara lain, yang penting Mas jangan sampai sakit gara-gara stres."

Namun, Farid tidak bisa menenangkan diri begitu saja. Dalam hatinya, dia merasa tidak dihargai. Setiap hari, dia berjuang di jalanan, menghadapi macet, panas, hujan, dan risiko kecelakaan. Tapi perusahaan tidak pernah memberikan perlindungan yang layak bagi drivernya. Asuransi? Hanya kata-kata manis yang tak pernah nyata. Setiap kali ada driver yang kecelakaan, semua biaya harus ditanggung sendiri.

Farid (dengan suara tegas):"Ini udah nggak bener, Sari. Kita yang kerja keras, tapi mereka yang duduk di belakang meja nggak pernah tahu rasanya panas-panasan seharian. Mereka nggak ngerti apa artinya jatuh di jalan. Nggak ada perlindungan buat kita."

Sari tahu bahwa suaminya sedang dalam titik terendah. Ia hanya bisa berharap ada perubahan, tapi dia juga tahu bahwa Farid bukan tipe orang yang menyerah.

Sari (dengan lembut):"Mas, mungkin kita bisa cari alternatif lain. Kalau narik ojek makin nggak ada hasilnya, mungkin Mas bisa coba cari kerjaan lain sambil tetap narik. Atau mungkin kita bisa buka usaha kecil-kecilan di rumah. Aku siap bantu, Mas."

Namun, Farid hanya bisa menghela napas. Ia tahu Sari benar, tapi dia juga tahu bahwa menemukan pekerjaan lain di tengah ekonomi yang sulit ini bukanlah hal yang mudah. Lagipula, dia sudah terlanjur bergantung pada pekerjaan ini.

Keesokan harinya, Farid memutuskan untuk bertemu dengan beberapa teman sesama driver ojek online di sebuah warung kopi. Tempat itu sering menjadi titik kumpul para driver untuk saling berbagi cerita dan keluh kesah.

Di sana, Farid bertemu dengan Andi, salah satu teman lama yang juga sudah lama menjadi driver ojek online.

Andi (mengeluh):"Bro, lo juga ngerasain kan sekarang makin parah? Gue seharian narik, dapatnya nggak seberapa. Dulu bisa dapet insentif, sekarang cuma janji-janji doang."

Farid:"Iya, Nd. Gue juga ngerasa makin lama makin nggak manusiawi. Gue ngerasa kayak sapi perah, terus dipaksa buat kerja lebih keras, tapi hasilnya nggak ada."


Baca juga Indra dan Kenangan Masa Tua

 
Mereka berdua berbicara panjang lebar tentang bagaimana perusahaan semakin serakah. Andi juga bercerita tentang temannya yang mengalami kecelakaan parah di jalan, tapi perusahaan tak memberikan bantuan apa pun. Semua tanggung jawab diserahkan ke driver, seolah-olah mereka bukan bagian penting dari roda ekonomi perusahaan.

Andi (dengan nada frustrasi):"Gue bener-bener kecewa, Rid. Mereka ngomong soal kesejahteraan driver, tapi buktinya? Lo lihat aja, makin banyak driver yang nyari kerja sampingan karena nggak cukup."

Farid terdiam, merasa senasib. Ia tahu bahwa kondisi ini tidak hanya dialaminya seorang diri. Ribuan driver lain di luar sana juga merasakan hal yang sama—berjuang keras, tapi tetap tidak dihargai.

Farid (dengan nada putus asa):"Kita ini cuma angka buat mereka, Nd. Mereka nggak peduli gimana kita di jalan. Yang penting target mereka tercapai, kita mau capek, mau sakit, itu urusan kita."

Andi (mengangguk):"Iya, bro. Gue nggak tahu sampai kapan bisa bertahan kayak gini. Mau berhenti tapi nggak ada kerjaan lain."

Sepulang dari pertemuan dengan Andi, Farid duduk merenung. Ia tahu bahwa kehidupannya sebagai driver ojek online tidak akan mudah berubah, kecuali ada tindakan nyata. Ia mulai berpikir untuk bergabung dengan serikat driver, yang akhir-akhir ini sering melakukan protes dan demonstrasi menuntut hak mereka.

Namun, di satu sisi, Farid juga tahu bahwa demonstrasi mungkin tidak akan langsung membuahkan hasil. Ia sadar bahwa perubahan besar membutuhkan waktu, dan dalam waktu itu, keluarganya tetap harus makan. Farid merasa terjebak di antara keinginan untuk memperjuangkan keadilan dan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup.

Pada akhirnya, Farid memutuskan untuk berbicara lebih banyak dengan driver lain, mencari dukungan, dan bergabung dalam gerakan bersama. Meskipun hidupnya belum pasti, dia tahu bahwa dia tidak bisa terus-terusan diam. Harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya adalah satu-satunya hal yang membuatnya terus berjuang.

Farid (dalam hati):"Ini bukan cuma soal aku, ini soal kita semua. Kalau nggak ada yang bicara, kita akan terus diperlakukan seperti ini. Aku nggak akan menyerah."

Ketidakadilan dalam dunia kerja seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang berkuasa, tetapi para pekerja di lapangan selalu merasakan dampaknya secara langsung. Penting untuk terus memperjuangkan hak dan kesejahteraan, karena suara yang bersatu bisa menjadi kekuatan untuk perubahan yang lebih baik.

Seiring berjalannya waktu, Farid semakin terdorong untuk melakukan sesuatu. Setiap hari, rasa frustrasinya terhadap perusahaan makin membesar. Namun, dia sadar bahwa mengeluh saja tidak akan menyelesaikan masalah. Maka, dengan tekad kuat, Farid mulai bergabung dengan kelompok driver lain yang juga mengalami hal yang sama.

Beberapa malam setelah pertemuan di warung kopi, Andi menghubungi Farid dan mengajak bertemu di sebuah posko serikat driver. Di sana, Farid bertemu dengan puluhan driver lainnya yang memiliki keluhan serupa—tentang bonus yang tidak jelas, tarif rendah, dan kurangnya perlindungan dari perusahaan.

Ketua Serikat (Pak Anto):"Teman-teman, kita semua di sini sepakat kalau kita butuh perubahan. Perusahaan nggak bisa terus memperlakukan kita kayak sapi perah. Mereka yang enak duduk di kantor, kita yang di lapangan harus banting tulang dengan hasil yang nggak sepadan."

Farid mendengarkan dengan penuh perhatian. Pak Anto, seorang driver yang sudah berpengalaman, tampak bersemangat memimpin pertemuan ini. Ia menceritakan bagaimana serikat mereka berencana mengajukan petisi ke perusahaan, menuntut kenaikan tarif dan insentif yang lebih layak, serta asuransi yang benar-benar bisa diandalkan.

Pak Anto:"Kita nggak bisa diam. Kita harus bergerak. Kalau kita semua bersatu, suara kita akan lebih kuat. Perusahaan nggak bisa terus menutup mata kalau kita bersama-sama menuntut hak kita."

Farid merasakan semangat yang sama membara di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya atau keluarganya, tapi juga tentang para driver lain yang mengalami nasib serupa. Dengan penuh tekad, Farid berdiri dan mengutarakan pikirannya.

Farid:"Pak Anto, saya setuju. Kita harus bersatu. Saya juga udah capek ngerasa nggak dihargai. Tarif makin kecil, bonus makin sulit, dan asuransi nggak jelas. Saya ikut!"

Tepuk tangan menyambut ucapan Farid. Banyak driver lain yang juga setuju bahwa sudah waktunya mereka melakukan sesuatu.

Hari demi hari, serikat driver semakin kuat. Mereka mulai menyebarkan informasi ke lebih banyak driver melalui grup WhatsApp, media sosial, dan pertemuan kecil-kecilan. Mereka juga merencanakan aksi damai di depan kantor pusat perusahaan ojek online. Tujuannya jelas: menuntut kenaikan tarif dasar, insentif yang adil, dan perlindungan asuransi yang nyata.

Pada hari yang ditentukan, ratusan driver berkumpul di depan kantor perusahaan. Dengan mengenakan jaket hijau khas mereka, Farid dan Andi berdiri di barisan depan, memegang poster yang bertuliskan "KAMI BUKAN MESIN, KAMI MANUSIA!" dan "TARIF LAYAK UNTUK DRIVER!". Rasa cemas bercampur dengan semangat membara di hati Farid.

Andi (berbisik ke Farid):"Rid, ini kesempatan kita. Semoga aja perusahaan denger suara kita."

Farid (mengangguk): "Iya, Nd. Kita udah terlalu lama diem. Kali ini kita nggak boleh mundur."

Orasi-orasi mulai bergema di depan gedung, sementara beberapa perwakilan serikat driver masuk ke dalam untuk bertemu dengan manajemen. Farid hanya bisa berharap bahwa hasil dari pertemuan ini akan membawa perubahan positif.

Setelah beberapa jam, perwakilan serikat keluar dari gedung dengan wajah yang tampak campur aduk. Beberapa driver mulai bertanya-tanya, berharap mendengar kabar baik. Pak Anto, yang memimpin negosiasi, naik ke atas podium kecil dan mulai berbicara.

Pak Anto:"Teman-teman, perusahaan mendengar tuntutan kita. Mereka berjanji akan meninjau kembali skema tarif dan insentif, serta memberikan asuransi yang lebih jelas untuk driver. Tapi…"

Farid merasakan ketegangan saat kata "tapi" keluar dari mulut Pak Anto.

Pak Anto:"Mereka minta waktu. Mereka bilang butuh beberapa bulan untuk melakukan perubahan. Itu artinya, kita harus bersabar dan tetap bekerja seperti biasa."

Sorak sorai yang awalnya menggema, kini mulai meredup. Sebagian driver merasa kecewa, termasuk Farid. Meski ada janji perubahan, rasanya terlalu lama menunggu sesuatu yang seharusnya bisa mereka dapatkan sekarang.

Farid (berbisik ke Andi):"Berbulan-bulan? Kita udah nunggu bertahun-tahun, Nd. Mereka cuma janji-janji aja."

Andi (dengan nada sinis):"Iya, Rid. Kayaknya kita cuma diulur-ulur waktu."

Namun, Pak Anto tetap menyemangati para driver untuk tidak putus asa. Ia mengingatkan bahwa perjuangan ini belum selesai, dan mereka harus tetap bersatu untuk memastikan perusahaan memenuhi janjinya.

Setelah aksi tersebut, Farid kembali menjalani rutinitasnya sebagai driver ojek online. Meskipun ada secercah harapan dari janji perusahaan, dia tidak bisa menghilangkan rasa kecewa yang masih mengganjal di hatinya. Setiap kali dia menerima orderan dengan tarif rendah, rasa sakit hati itu kembali menyeruak.

Satu malam, saat ia pulang dengan tubuh lelah, Sari melihat wajah suaminya yang tampak murung. Mereka duduk di ruang tamu kecil mereka, anak-anak sudah tertidur. Sari tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Farid.

Sari (dengan lembut):"Mas, kenapa? Kok kelihatan murung terus?"

Farid (menghela napas panjang):"Sari, perusahaan cuma janji-janji doang. Gue nggak tahu apa mereka beneran mau berubah. Gue udah capek, tapi gue juga nggak bisa berhenti. Kita butuh uang buat hidup."

Sari menggenggam tangan suaminya, menatapnya dengan mata penuh pengertian.

Sari:"Mas, aku ngerti. Tapi kamu udah melakukan yang terbaik. Kita lihat aja, semoga janji mereka kali ini beneran ditepati. Kalau nggak, kita harus cari jalan lain. Kita nggak boleh terus-terusan begini."

Farid tersenyum kecil, meski hatinya masih berat. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi motivasi utamanya, tapi rasa frustrasi dan kecewa terhadap perusahaan tak bisa hilang begitu saja. Dia hanya bisa berharap, berharap bahwa janji perubahan yang diberikan perusahaan kali ini benar-benar terjadi.

Beberapa bulan berlalu, dan janji perusahaan mulai tampak seperti angin lalu. Perubahan yang diharapkan tak kunjung datang. Namun, Farid tidak lagi merasa sendiri. Kini ia memiliki jaringan sesama driver yang mendukungnya, dan mereka terus memantau perkembangan. Setiap hari, mereka berbagi cerita, berdiskusi tentang langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

Farid tahu, perjuangan ini masih panjang. Tapi satu hal yang pasti—dia tidak akan lagi diam. Dia akan terus bersuara, terus berjuang bersama rekan-rekannya, karena hanya dengan bersatu mereka bisa memperjuangkan hak-haknya.

Ketidakadilan sering kali terjadi di tempat kerja, namun hanya melalui persatuan dan perjuangan bersama, pekerja dapat memperjuangkan hak-hak mereka. Perusahaan mungkin berjanji, tapi tanggung jawab pekerja adalah memastikan bahwa janji tersebut ditepati, karena tanpa tindakan nyata, perubahan tidak akan terjadi. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.