16 September 2024

Kue Buatan Kami Ini Untuk Ibu

Sofia adalah seorang wanita berusia 30 tahun, seorang istri dan ibu dari dua anak yang ceria. Ia menghabiskan hari-harinya dengan mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anaknya, Rina dan Fajar. Kehidupan mereka tampak sempurna, meskipun kadang-kadang Sofia merasa ada sesuatu yang hilang. Suaminya, Arif, seorang pekerja keras, sering pulang larut malam. Sofia mencoba untuk memahami kesibukan suaminya, tetapi kadang-kadang ia merasa kesepian.

Suatu pagi, Sofia menemukan sebuah surat di meja makan. Dengan rasa penasaran, ia membuka amplop berwarna cokelat itu dan membaca isi surat tersebut. Jantungnya berhenti berdetak ketika ia melihat nama suaminya tertera di undangan pernikahan. Nama Arif dan seorang wanita bernama Lia. Hatinya hancur seketika. Ia merasa dunia seolah runtuh di hadapannya.

Sofia tidak bisa mempercayai apa yang ia baca. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya kepada anak-anaknya. "Mungkin ini hanya kesalahan," pikirnya, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan kenyataan ini.

Setelah membaca undangan itu, Sofia merasa bingung dan sangat kecewa. Ia tidak pernah menanyakan Arif tentang kebenaran undangan tersebut. Ia memilih untuk menyimpan semua rasa sakit dan kecewa dalam hati. Hari-hari berlalu, dan Arif semakin jarang pulang. Sofia merasa seperti hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Anak-anaknya, Rina dan Fajar, mulai merasakan perubahan dalam diri ibunya. Sofia tidak lagi ceria dan penuh semangat. Ia sering terlihat termenung, dan perhatian kepada anak-anaknya mulai terbengkalai. Rina yang berusia delapan tahun dan Fajar yang berusia lima tahun merasa kehilangan sosok ibu yang dulu selalu ada untuk mereka.

Sofia berusaha untuk tetap tegar, tetapi setiap kali ia melihat undangan pernikahan itu, hatinya kembali hancur. Ia merasa terjebak dalam kesedihan yang dalam. Arif tidak pernah membahas tentang undangan itu, dan Sofia tidak tahu bagaimana cara memulai percakapan itu. Ia merasa tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa.

Suatu malam, Sofia duduk di tepi tempat tidur anak-anaknya, memandangi mereka tidur. Rina dan Fajar tampak damai, tetapi Sofia merasa hatinya kosong. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya. Ia merasa hidupnya tidak berarti lagi.

Sebulan berlalu, dan situasi semakin parah. Arif semakin jarang pulang, dan Sofia merasa semakin jauh dari suaminya. Ia merasa terasing dan tidak berharga. Dalam kegelapan pikirannya, ia mulai berpikir bahwa mungkin lebih baik jika ia tidak ada lagi.

Suatu malam yang kelam, setelah menatap undangan pernikahan itu untuk kesekian kalinya, Sofia merasa putus asa. Ia tidak tahu harus mencari bantuan kepada siapa. Semua rasa sakit dan kecewa yang ia pendam selama ini menggerogoti hatinya.

Dengan pikiran yang bingung dan hati yang penuh kesedihan, Sofia memutuskan untuk pergi ke sungai tempat ia biasa bermain ketika kecil. Ia ingin mengakhiri semua rasa sakit ini. Di tepi sungai, ia merenung sejenak, mengenang masa-masa bahagia sebelum semua ini terjadi. Air sungai berkilau di bawah cahaya bulan, seolah memanggilnya.

"Maafkan aku, anak-anakku," bisiknya. "Aku tidak bisa lagi bertahan." Dengan langkah mantap, ia melangkah maju dan menceburkan diri ke dalam sungai.

Sofia merasakan air dingin menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap, semua rasa sakit dan kesedihan terlepas dari dirinya. Namun, saat tenggelam, ia teringat wajah Rina dan Fajar. Dalam hati kecilnya, ia berharap mereka bisa memahami alasannya. Saat itu, ia menyadari bahwa bunuh diri bukanlah solusi, tetapi sudah terlambat.

Di tepi sungai, Rina dan Fajar menunggu kepulangan ibunya. Mereka tidak tahu bahwa ibunya sedang berjuang melawan kegelapan. Keduanya merasa cemas, merindukan kehadiran Sofia yang selalu ada untuk mereka.

Keesokan harinya, Arif pulang dan merasa ada yang tidak beres. Ia mencari Sofia di seluruh rumah, tetapi tidak menemukannya. Ketika ia mendengar kabar bahwa Sofia tidak ditemukan di rumah dan mobilnya tidak ada, Arif merasakan ketakutan yang mendalam.

Setelah mencari ke sana kemari, Arif akhirnya menemukan petunjuk di tepi sungai. Ia berlari ke sana dengan harapan yang memudar. Di sana, ia mendapati barang-barang Sofia dan air sungai yang mengalir tenang. Arif terjatuh, merasakan kepanikan dan penyesalan.

Arif akhirnya menyadari betapa besar kesalahannya. Ia melihat undangan pernikahan yang selama ini ia sembunyikan. Ia merasa hancur dan bersalah karena tidak pernah jujur kepada Sofia. Ia berjanji akan mencari Sofia dan memperbaiki segalanya. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Sofia," ucapnya penuh harapan.

Di tengah pencarian yang melelahkan, Rina dan Fajar akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Ayah, di mana Ibu? Kenapa dia tidak pulang?" tanya Rina dengan mata penuh harap. Arif merasa terpuruk, tidak tahu harus menjawab apa.

Setelah pencarian yang panjang, Arif tidak berhasil menemukan Sofia. Ia merasa putus asa dan sangat menyesal. Ia ingin memperbaiki semua kesalahannya, tetapi semua itu sudah terlambat. Dengan hati yang penuh duka, ia kembali ke rumah dan melihat wajah anak-anaknya yang penuh harapan.

Arif merangkul Rina dan Fajar, berjanji untuk selalu ada untuk mereka. "Ibu akan pulang, pasti," ujarnya meski hatinya hancur. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa semua yang terjadi adalah akibat dari kebohongan dan ketidakjujurannya.

Hari-hari berlalu, dan Arif berusaha keras untuk menjaga kehidupan Rina dan Fajar tetap normal meskipun hatinya hancur. Ia berusaha mengalihkan perhatian anak-anak dari kehilangan ibu mereka, tetapi Rina dan Fajar terus bertanya tentang Sofia. Setiap pertanyaan membuat Arif merasa semakin tertekan, dan rasa bersalah semakin menghantuinya.

Rina, yang dulunya ceria dan aktif, kini menjadi pendiam. Fajar, yang selalu ceria, juga mulai kehilangan semangat. Arif merasa terjebak, tidak tahu bagaimana membantu anak-anaknya sembuh dari kehilangan yang begitu mendalam.

Arif memutuskan untuk mencari bantuan. Ia menghubungi seorang konselor untuk anak-anak, berharap bisa membantu Rina dan Fajar mengatasi perasaan mereka. Dalam sesi pertama, Rina tidak mau berbicara, tetapi Fajar dengan berani menceritakan betapa mereka merindukan ibu mereka.

Konselor menyarankan Arif untuk berbicara dengan anak-anaknya tentang perasaan mereka. "Mereka perlu tahu bahwa perasaan mereka sah," ucap konselor. Arif mengangguk, bertekad untuk lebih terbuka dengan anak-anaknya.

Suatu malam, setelah sesi konseling, Arif memutuskan untuk berbicara dengan Rina dan Fajar. "Kita perlu berbicara tentang Ibu," ujarnya dengan suara lembut. Rina menatapnya dengan mata penuh air mata. "Ayah, kenapa Ibu tidak pulang?" tanyanya.

Arif menatap anak-anaknya, merasakan beban di hatinya. "Ibu pergi ke tempat yang jauh, dan kita tidak bisa menemuinya lagi. Tapi Ibu mencintai kalian," jawabnya dengan suara bergetar.

Fajar menangis, "Aku ingin Ibu! Kenapa dia pergi?" Arif merasakan hatinya hancur, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. "Aku juga merindukannya, Fajar. Tapi kita harus ingat semua kenangan indah bersama Ibu."

Malam itu, Arif mengeluarkan album foto keluarga dan mulai menunjukkan kenangan indah mereka bersama Sofia. Rina dan Fajar melihat foto-foto itu dengan penuh perhatian. Mereka tertawa dan menangis, mengenang momen-momen bahagia bersama ibu mereka.

"Dulu Ibu selalu membuatkan kita kue," ucap Rina dengan suara lembut. "Iya, dan kita sering bermain di taman," tambah Fajar. Arif merasa terharu melihat anak-anaknya mengingat kenangan itu. Ia tahu bahwa meskipun Sofia tidak ada, cinta yang mereka bagi akan selalu hidup dalam hati mereka.

Seiring berjalannya waktu, Rina dan Fajar mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Meskipun mereka masih merindukan Sofia, mereka mulai belajar untuk mengingatnya dengan cara yang positif. Arif merasa lega melihat anak-anaknya mulai tersenyum kembali.

Namun, rasa bersalah masih menghantui Arif. Ia bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia mulai lebih aktif dalam kehidupan anak-anaknya, menghabiskan waktu bersama mereka, dan berusaha menjadi ayah yang lebih baik.

Suatu sore, saat bermain di taman, Arif merenung. Ia menyadari betapa berharganya waktu yang ia habiskan bersama anak-anaknya. "Ini adalah pelajaran berharga," pikirnya. "Tidak ada yang lebih penting dari keluarga."

Arif mulai merencanakan kegiatan keluarga, seperti piknik dan perjalanan kecil. Ia ingin menciptakan kenangan baru yang bisa mereka bagi bersama. "Mari kita buat kenangan baru untuk Ibu," katanya kepada Rina dan Fajar. Anak-anaknya mengangguk dengan antusias.

Setelah beberapa bulan, Arif dan anak-anak mulai merasa lebih baik. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang menyenangkan dan berbagi tawa. Rina dan Fajar mulai beradaptasi dengan kehidupan tanpa ibu, tetapi mereka tetap menyimpan kenangan indah tentang Sofia.

Suatu hari, saat duduk di taman, Rina bertanya, "Ayah, apakah kita bisa membuat kue untuk Ibu?" Arif tersenyum, merasa bangga dengan anaknya. "Tentu, kita bisa membuat kue untuk mengenang Ibu," jawabnya.

Di dapur, Arif dan anak-anak mulai membuat kue. Mereka tertawa dan bercanda, mengingat bagaimana Sofia selalu memasak dengan penuh cinta. Saat kue matang, mereka menghiasnya dengan penuh semangat. Arif merasa bahwa dengan melakukan ini, mereka merayakan kehidupan Sofia dan cinta yang mereka bagi.

Setelah selesai, mereka duduk di meja makan dengan kue di depan mereka. "Ini untuk Ibu," kata Arif, mengangkat potongan kue. Rina dan Fajar mengangguk, menatap kue dengan penuh harapan.

Setelah menghabiskan waktu bersama, Arif menyadari bahwa meskipun Sofia tidak ada, kenangannya akan selalu hidup dalam diri mereka. Momen-momen indah yang mereka bagi bersama akan selalu diingat, dan cinta yang mereka rasakan tidak akan pernah pudar.

Arif berjanji untuk terus mengenang Sofia dengan cara yang positif, mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai dan menghargai setiap momen yang mereka miliki. "Kita akan terus hidup untuk Ibu," katanya kepada Rina dan Fajar.

Dengan hati yang penuh harapan, Arif dan anak-anak melanjutkan kehidupan mereka. Mereka belajar untuk saling mendukung dan menciptakan kenangan baru. Meskipun kehilangan Sofia menyakitkan, mereka menemukan kekuatan dalam diri mereka untuk melanjutkan hidup.

Arif menyadari bahwa kehidupan harus terus berjalan, dan ia bertekad untuk menjadi ayah yang lebih baik dan memberikan yang terbaik untuk Rina dan Fajar. Dalam setiap langkahnya, ia akan selalu mengingat Sofia dan cinta yang mereka bagi. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.