Suatu malam, setelah kembali dari kampus, Aira mendapati Fajar duduk di depan rumahnya, wajahnya basah oleh air mata.
Fajar: "Aira, tolong… jangan pergi. Aku minta maaf. Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku."
Aira merasa hatinya bergetar mendengar suara putus asanya. Dia mencoba menahan air mata.
Aira: "Fajar, ini bukan yang pertama kali. Kenapa kamu terus mengulangi kesalahan yang sama?"
Fajar: "Aku tahu, aku salah. Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu. Jika kamu pergi, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku bisa… bisa bunuh diri."
Kata-kata itu membuat Aira terkejut. Dia tidak ingin menganggap remeh pernyataan itu, tetapi rasa sakit di hatinya semakin dalam.
Aira: "Jangan bicara seperti itu, Fajar. Hidupmu berharga. Tapi aku juga butuh waktu untuk berpikir."
Fajar meraih tangan Aira, air matanya mengalir deras.
Fajar: "Tolong, Aira. Aku sangat membutuhkanmu. Kamu yang selalu ada untukku. Tanpa kamu, aku tidak akan bisa kuliah, aku tidak bisa apa-apa."
Aira merasa terjebak. Dia tahu Fajar sangat bergantung padanya, baik secara emosional maupun finansial. Namun, rasa sakit dan pengkhianatan yang dia rasakan masih terlalu besar.
Aira: "Fajar, aku bukan satu-satunya yang bisa membantumu. Kamu harus belajar untuk berdiri sendiri."
Fajar: "Tapi aku tidak bisa! Kamu adalah segalanya bagiku. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Aira menatap Fajar, melihat ketulusan di matanya, tetapi dia juga merasakan ketidakpastian di dalam hatinya. Dia menginginkan hubungan yang sehat, tetapi rasa sakit itu selalu kembali menghantuinya.
Setelah beberapa saat berdiam diri, Aira menghela napas panjang.
Aira: "Baiklah, Fajar. Aku akan memberi kita satu kesempatan lagi. Tapi ini adalah yang terakhir. Jika kamu mengulangi kesalahan yang sama, aku tidak akan bisa bertahan."
Fajar terkejut, tetapi wajahnya langsung berubah cerah.
Fajar: "Aku berjanji, Aira! Aku akan berubah. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi!"
Aira merasa seolah ada beban yang terangkat, tetapi juga perasaan khawatir akan masa depan mereka. Dia ingin percaya pada Fajar, tetapi keraguan itu masih ada.
Aira: "Ingat, Fajar. Cinta itu bukan hanya kata-kata. Aku butuh tindakan."
Fajar mengangguk, berjanji akan berusaha lebih baik. Mereka berpelukan, dan Aira berharap bahwa kali ini, semuanya akan berbeda. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa langkah ini penuh risiko, dan cinta yang terjebak ini mungkin tidak akan mudah untuk dibebaskan.