Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. "Anakku, Maafkan Ibu Nak ! Kamu terpaksa ibu bawa, demi untuk sesuap nasi." Ibumu hanya mampu sebagai pengamen bus kota. Mengais rizki dari belas kasih para penumpang bus. Sebab bila anakku dititipkan tentunya akan menambah biaya bagi kami. Sering kamu menangis karena tak kuat menahan terik matahari yang begitu panas. Air mataku sering jatuh berderai di pipi anakku seraya tak kuasa menahan iba untuk dirimu yang selalu dalam gendonganku. Di usia anakku yang 8 bulan, rasanya sangat kasihan sekali bila ia harus selalu ikut denganku, mengingat di usianya seharusnya asyik bermain kesana kemari, berexplorasi dalam masa pertumbuhannya, entah itu ingin berusaha bisa berdiri atau berguling-guling kesana kemari dengan tawa yang menggemaskan. Namun sejatinya kamu menangis meronta-ronta dalam gendongan ibu. "Ibu tahu kamu protes, anakku. Tapi harus bagaimana lagi ?" pertanyaan ini tak pernah mampu kujawab.
Bila hari sedang panas, kami kepanasan, seolah-olah teriknya matahari melelehkan isi kepala kami. Debu yang menempel pada tubuh kami menjadi saksi seberapa gigihnya kami menjalani hidup ini. Pun, saat hari sedang hujan, kami menggigil kedinginan di sebuah halte tempat pemberhentian bus menatapi para penumpang mobil pribadi yang dengan nyaman duduk di kursi yang empuk. Bahkan terkadang ada salah satu dari mereka ada yang tertidur. Anakku kuselimuti dengan mantel yang kudapat dari sebuah yayasan yang mengadakan kegiatan amal untuk kaum dhuafa. Aku hanya terbalut baju hangat yang kubeli di toko loak. Sedang suamiku tak pernah memakai baju hangat meski cuaca sedang dingin sekalipun.
Di dalam bus kota, kami seperti bersaing, antara aku dengan para pengamen lainnya. Karena telah banyak terdengar kabar, bahwa kala ini telah banyak bayi-bayi di sewa untuk dibawa sebagai tameng agar para penumpang bus merasa iba melihat sang ibu yang tengah membawa bayi sambil mengamen. Ada lagi seseorang yang berpura-pura cacat fisiknya, padahal ia sehat lahir dan bathin, lagi-lagi supaya para penumpang iba kepadanya. Jadilah para penumpang merasa malas memberikan koceknya kepada kaum seperti kami karena merasa telah dibohongi. Akhirnya kami jualah yang menjadi korban akibat ulah para pembohong itu. Namun, Seberapa besar yang kami terima, aku masih bisa bersyukur dengan senyum yang penuh keikhlasan.
Rasanya sangat sulit untuk meneruskan hidup di kampung halamanku. Untuk itulah aku bersama suamiku pergi merantau ke kota jakarta untuk berjuang mengadu nasib. Toh nyatanya Jakarta kata orang-orang bilang adalah kota yang keras, aku tak gusar mendengarnya. Ada yang sangat kaya, namun juga ada yang sangat miskin, situasi ini sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di desa. kehidupan di kota Jakarta umumnya saling tak peduli akan kondisi satu dengan yang lain.
Kedatanganku tuk kali pertama di kota jakarta ini begitu mengesankan. Dengan bekal 600 ratus Ribu rupiah yang kami bawa dari kampung, kami bisa mengontrak di sebuah rumah petakan yang memiliki gang-gang yang sempit dengan harga sewa per bulan sebesar Dua Ratus Ribu rupiah. Rumah kami berdampingan dengan sebuah apartement berlantai 30. Kami hanya dibatasi oleh dinding setinggi empat meter yang nyaris membuat kami tak sanggup melihat situasi di dalam apartement itu. Kadang, aku hanya mampu menerawang ke apartement itu, tampak sesekali kulihat seorang wanita cantik sedang bersandar di salah satu beranda, atau laki-laki gagah sedang duduk dengan rokok yang sedang dihisapnya.
Karena para tetanggaku banyak yang berprofesi di jalan atau dalam bus-bus kota, akhirnya aku tergoda juga untuk menggelutinya. "Yang penting halal" lirihku. Jadilah aku sebagai pengamen di bus kota, sedang suamiku menjajakan minuman botol di setiap bus kota yang lewat. Pada awalnya aku agak sedikit risih, namun lambat laun aku terbiasa juga. Pun begitu juga dengan suamiku. Kadang, kami bertemu di dalam bus yang sama. Kuusap keringatnya dengan selendang yang sedang kupakai untuk menggendong anakku. Diapun tersenyum dan kembali lagi sibuk menjajakan dagangannya. Meski senyumnya tak segagah dahulu, tapi aku cukup bahagia akan kegigihan suamiku yang mau bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Setiap hari, hasil yang berhasil kami peroleh, tak lupa kusisihkan. Meski sedikit, aku ingin bisa keluar dari lingkaran kehidupan yang begitu getir ini. Sambil kuusap kepala anakku yang sedang terlelap tidur dalam gendonganku, ku panjatkan do'a berkali-kali berharap Sang Illahi mau mengubah nasib kami.
Bila hari sedang panas, kami kepanasan, seolah-olah teriknya matahari melelehkan isi kepala kami. Debu yang menempel pada tubuh kami menjadi saksi seberapa gigihnya kami menjalani hidup ini. Pun, saat hari sedang hujan, kami menggigil kedinginan di sebuah halte tempat pemberhentian bus menatapi para penumpang mobil pribadi yang dengan nyaman duduk di kursi yang empuk. Bahkan terkadang ada salah satu dari mereka ada yang tertidur. Anakku kuselimuti dengan mantel yang kudapat dari sebuah yayasan yang mengadakan kegiatan amal untuk kaum dhuafa. Aku hanya terbalut baju hangat yang kubeli di toko loak. Sedang suamiku tak pernah memakai baju hangat meski cuaca sedang dingin sekalipun.
Di dalam bus kota, kami seperti bersaing, antara aku dengan para pengamen lainnya. Karena telah banyak terdengar kabar, bahwa kala ini telah banyak bayi-bayi di sewa untuk dibawa sebagai tameng agar para penumpang bus merasa iba melihat sang ibu yang tengah membawa bayi sambil mengamen. Ada lagi seseorang yang berpura-pura cacat fisiknya, padahal ia sehat lahir dan bathin, lagi-lagi supaya para penumpang iba kepadanya. Jadilah para penumpang merasa malas memberikan koceknya kepada kaum seperti kami karena merasa telah dibohongi. Akhirnya kami jualah yang menjadi korban akibat ulah para pembohong itu. Namun, Seberapa besar yang kami terima, aku masih bisa bersyukur dengan senyum yang penuh keikhlasan.
Rasanya sangat sulit untuk meneruskan hidup di kampung halamanku. Untuk itulah aku bersama suamiku pergi merantau ke kota jakarta untuk berjuang mengadu nasib. Toh nyatanya Jakarta kata orang-orang bilang adalah kota yang keras, aku tak gusar mendengarnya. Ada yang sangat kaya, namun juga ada yang sangat miskin, situasi ini sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di desa. kehidupan di kota Jakarta umumnya saling tak peduli akan kondisi satu dengan yang lain.
Kedatanganku tuk kali pertama di kota jakarta ini begitu mengesankan. Dengan bekal 600 ratus Ribu rupiah yang kami bawa dari kampung, kami bisa mengontrak di sebuah rumah petakan yang memiliki gang-gang yang sempit dengan harga sewa per bulan sebesar Dua Ratus Ribu rupiah. Rumah kami berdampingan dengan sebuah apartement berlantai 30. Kami hanya dibatasi oleh dinding setinggi empat meter yang nyaris membuat kami tak sanggup melihat situasi di dalam apartement itu. Kadang, aku hanya mampu menerawang ke apartement itu, tampak sesekali kulihat seorang wanita cantik sedang bersandar di salah satu beranda, atau laki-laki gagah sedang duduk dengan rokok yang sedang dihisapnya.
Karena para tetanggaku banyak yang berprofesi di jalan atau dalam bus-bus kota, akhirnya aku tergoda juga untuk menggelutinya. "Yang penting halal" lirihku. Jadilah aku sebagai pengamen di bus kota, sedang suamiku menjajakan minuman botol di setiap bus kota yang lewat. Pada awalnya aku agak sedikit risih, namun lambat laun aku terbiasa juga. Pun begitu juga dengan suamiku. Kadang, kami bertemu di dalam bus yang sama. Kuusap keringatnya dengan selendang yang sedang kupakai untuk menggendong anakku. Diapun tersenyum dan kembali lagi sibuk menjajakan dagangannya. Meski senyumnya tak segagah dahulu, tapi aku cukup bahagia akan kegigihan suamiku yang mau bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Setiap hari, hasil yang berhasil kami peroleh, tak lupa kusisihkan. Meski sedikit, aku ingin bisa keluar dari lingkaran kehidupan yang begitu getir ini. Sambil kuusap kepala anakku yang sedang terlelap tidur dalam gendonganku, ku panjatkan do'a berkali-kali berharap Sang Illahi mau mengubah nasib kami.