Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku. Penyesalan yang berakhir tragis dalam kematian.
Dahulu, di kampungku, ada seorang dokter yang berhati sangat mulia. Beliau adalah sosok yang rendah hati, karena tumbuh dan dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah yang harus membanting tulang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya. Di perjalanan hidupnya, ia tertarik dengan seorang gadis anak Bupati, namun gadis tersebut menginginkan syarat, Ia ingin suaminya adalah seorang dokter, bila tidak pupuslah harapannya untuk bisa bersanding dengannya. Karena teramat cintanya kepada gadis tersebut, dengan gigihnya dirinya mampu menjadi seorang dokter. Akhirnya menikahlah ia dengan gadis sang pujaan hati.
Di tengah menjalani kehidupan mahligai rumah tangganya, ia tak pernah meminta bayaran sedikitpun kepada kaum dhuafa, pun kepada tetangga dekatnya juga demikian. Setiap hari ia melayani pasien yang jumlahnya tidak sedikit. Meski pasiennya banyak yang gratis, ia tak pernah membeda-bedakan mana pasien yang tidak membayar dan mana pasien yang membayar. Ia menjadi sosok yang amat dicintai dan disayangi di kampungku itu. Karena kebaikannya itulah hingga kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di daerah tersebut, sebagai bentuk untuk mengenang jasa-jasa semasa hidupnya.
Sang Dokter memiliki beberapa orang pembantu untuk mengurusi rumahnya, untuk membersihkan rumahnya, mencuci pakaian, atau memasak dan aneka pekerjaan rumah lainnya. Suamiku dulu adalah salah seorang pembantu di rumah sang dokter itu. Begitu perhatiannya Sang Dokter yang mau menyekolahkan semua pembantunya. Padahal di jaman sekarang ini sangatlah jarang pembantu yang mendapat perlakuan khusus seperti itu. Meski demikian, Sang Dokter seakan tak pernah peduli akan apa yang telah dikerjakan oleh suamiku, pun suamiku lebih banyak menghabisi makanan yang ada di kulkasnya ketimbang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya. Suamiku agak pemalas, mungkin karena merasa pekerjaannya bisa dikerjakan oleh pembantu yang lainnya.
Suatu ketika sekotak perhiasan emas milik istri Pak dokter raib entah tidak diketahui keberadaannya. Begitu cemasnya, ia merasa kotak perhiasan emasnya itu adalah satu-satunya benda yang paling berharga. Akhirnya, ia melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. "Lebih baik diserahkan kepada yang berwajib daripada mengira-ngira siapa pelakunya" begitulah istri pak dokter berharap cemas. Lalu selang beberapa jam kemudian datang petugas polisi ke rumah tersebut. Polisi tersebut membawa para pembantu ke kantor polisi untuk segera diintrogasi. Pun termasuk suamiku.
Namun, Belum 24 jam, Istri Pak Dokter telah mengetahui sang pelaku, yang mengambilnya adalah adiknya sendiri yang kala itu berkunjung ke rumahnya. Buru-buru ia menelpon kembali ke kantor polisi. Ia meminta maaf kepada seluruh pembantunya satu persatu.
"Saya minta maaf, semua itu adalah prosedur dari kepolisian" mencoba menjelaskannya. Satu demi satu semua pembantu memaafkannya. Dan pada saat giliran meminta maaf pada suamiku, mata suamiku terbelalak tajam seperti akan menerkam seekor mangsa.
"sampeyan ga' pantes minta maaf, aku tidak sudi memaafkan sampeyan" kata-katanya keras tidak seperti biasanya. Bahkan yang lebih dasyat lagi ia sampai menendang istri sang dokter itu hingga bu dokter sempat mundur beberapa langkah namun mampu berdiri kembali. Tangan istri pak dokter dilepas jauh-jauh dari gengamannya seakan-akan tangan yang ada di depannya itu tangan yang penuh oleh kotoran najis. Sontak peristiwa itu membuat kaget semua mata. Suasana yang awalnya haru biru, kini berubah menjadi sebuah ketegangan. Bagaimana tidak ? Baru kali ini ada seorang pembantu yang dengan angkuhnya berani menendang majikannya. Sambil menunduk dengan muka penuh amarah suamiku pergi menuju kamar pembanringannya di rumah dokter itu. Mungkin suamiku benar-benar marah, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, karena telah dituduh sebagai pencuri. Namun anehnya, tak ada kemarahan dari istri sang dokter. Wajahnya yang berkulit kuning langsat, bersih dan ayu seakan sepadan dengan ketulusannya menerima perlakuan dari pembantu, suamiku yang tak pernah tau berterima kasih itu. Ia benar-benar memakluminya.
Pasca kejadian itu, suamiku masih bekerja di rumahnya seperti biasa dan masih bersekolah dengan biaya Pak Dokter pula. Kehidupan berjalan seperti biasanya.
Suatu hari, suamiku sakit. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, hingga ia tak mampu lagi melakukan apa-apa. Suamiku pamit untuk pulang ke kampung halamannya.
"Kamu ndak usah pulang ke kampung, biar di sini saja, nanti tak panggilkan mantri untuk mengurusimu, mengenai istrimu, biar kalau dia mau, juga tinggal di sini bersamamu." dengan raut wajah penuh keikhlasan, Pak Dokter mencoba menawarkan untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Iya, Pak Dokter benar ", istri Pak Dokter menimpali.
"Istri saya minta saya pulang aja Pak.....Bu......" suamiku tetap pada pendiriannya.
Ia akhirnya harus meninggalkan rumah sang dokter, kembali bersama keluarga namun dalam keadaan sudah tak mampu melakukan aktifitas apapun. Sejak kedatangannya ke kampung halamannya, Sang Dokter yang berjiwa besar itu mengutus seorang mantri sebagai perawat untuk mengurusi suamiku. Sakit lepra yang diderita suamiku seakan sedang menyiksanya. Begitu teramat parahnya, hingga salah satu kaki suamiku akhirnya harus mau untuk diamputasi. Ada banyak tangis di saat prosesi amputasi kaki suamiku. Terlebih aku, hingga aku terjatuh tak ingat apa-apa lagi, rupanya aku pingsan beberapa jam. Suamiku berteriak histeri saat melihat kakinya telah hilang.
"Pak, istighfar Pak" aku berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya. Namun suamiku tetap saja masih belum mau menerima kenyataan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri dalam beberapa jam. Aku hanya mampu menangis di atas tubuhnya yang diam terbujur di ranjang kasur rumah sakit.
Hingga datanglah hari berkabut, hari dimana duka menyelimuti kami, suamiku pergi untuk selamanya. Menunggu babak akhir dari lelah akan sakit yang telah mengeram lama dalam dirinya. Sempat ia meneteskan air mata.
"Mbok'e, aku ndak punya malu...... aku memang salah " dia bertutur kepadaku dengan wajah yang iba.
"Pak, yang sabar, mintalah kepada Yang Kuasa", kucoba menenangkan hati suamiku. Namun tiba-tiba ia mengerang keras seperti ketakutan. Keras sekali, membuat kamar kami bergema karenanya. "Inna lillahi, wa inna illaihi rooji'un" , Segera kututup mata suamiku setelah mengetahui dirinya telah tiada.
Selang beberapa jam kemudian, Keluarga Pak Dokter datang melayat. Seketika datangnya Pak dokter dan istrinya, buru-buru aku mencium lutut ibu dokter itu.
"Pak....Bu..... Maafkan suami saya" pintaku kepada ibu dan pak Dokter dengan mata berkaca-kaca. Aku diselimuti oleh rasa malu tiada berperi, hingga pandanganku tak mampu lagi kuhadapkan kepadanya.
Pak Dokter menepuk bahuku, ia meminta aku untuk berdiri kembali.
"Saya dan ibu telah memaafkannya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkannya pula" Pak Dokter tampak sedih seakan benar-benar memaafkannya. Istri pak Dokter hanya mengangguk sambil memeluk tubuhku yang dingin, pertanda ia telah memaafkannya juga. Suamiku yang kini telah terbujur kaku, menunggu peradilan Tuhan yang kami tidak mengetahuinya.
Dahulu, di kampungku, ada seorang dokter yang berhati sangat mulia. Beliau adalah sosok yang rendah hati, karena tumbuh dan dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah yang harus membanting tulang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya. Di perjalanan hidupnya, ia tertarik dengan seorang gadis anak Bupati, namun gadis tersebut menginginkan syarat, Ia ingin suaminya adalah seorang dokter, bila tidak pupuslah harapannya untuk bisa bersanding dengannya. Karena teramat cintanya kepada gadis tersebut, dengan gigihnya dirinya mampu menjadi seorang dokter. Akhirnya menikahlah ia dengan gadis sang pujaan hati.
Di tengah menjalani kehidupan mahligai rumah tangganya, ia tak pernah meminta bayaran sedikitpun kepada kaum dhuafa, pun kepada tetangga dekatnya juga demikian. Setiap hari ia melayani pasien yang jumlahnya tidak sedikit. Meski pasiennya banyak yang gratis, ia tak pernah membeda-bedakan mana pasien yang tidak membayar dan mana pasien yang membayar. Ia menjadi sosok yang amat dicintai dan disayangi di kampungku itu. Karena kebaikannya itulah hingga kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di daerah tersebut, sebagai bentuk untuk mengenang jasa-jasa semasa hidupnya.
Sang Dokter memiliki beberapa orang pembantu untuk mengurusi rumahnya, untuk membersihkan rumahnya, mencuci pakaian, atau memasak dan aneka pekerjaan rumah lainnya. Suamiku dulu adalah salah seorang pembantu di rumah sang dokter itu. Begitu perhatiannya Sang Dokter yang mau menyekolahkan semua pembantunya. Padahal di jaman sekarang ini sangatlah jarang pembantu yang mendapat perlakuan khusus seperti itu. Meski demikian, Sang Dokter seakan tak pernah peduli akan apa yang telah dikerjakan oleh suamiku, pun suamiku lebih banyak menghabisi makanan yang ada di kulkasnya ketimbang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya. Suamiku agak pemalas, mungkin karena merasa pekerjaannya bisa dikerjakan oleh pembantu yang lainnya.
Suatu ketika sekotak perhiasan emas milik istri Pak dokter raib entah tidak diketahui keberadaannya. Begitu cemasnya, ia merasa kotak perhiasan emasnya itu adalah satu-satunya benda yang paling berharga. Akhirnya, ia melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. "Lebih baik diserahkan kepada yang berwajib daripada mengira-ngira siapa pelakunya" begitulah istri pak dokter berharap cemas. Lalu selang beberapa jam kemudian datang petugas polisi ke rumah tersebut. Polisi tersebut membawa para pembantu ke kantor polisi untuk segera diintrogasi. Pun termasuk suamiku.
Namun, Belum 24 jam, Istri Pak Dokter telah mengetahui sang pelaku, yang mengambilnya adalah adiknya sendiri yang kala itu berkunjung ke rumahnya. Buru-buru ia menelpon kembali ke kantor polisi. Ia meminta maaf kepada seluruh pembantunya satu persatu.
"Saya minta maaf, semua itu adalah prosedur dari kepolisian" mencoba menjelaskannya. Satu demi satu semua pembantu memaafkannya. Dan pada saat giliran meminta maaf pada suamiku, mata suamiku terbelalak tajam seperti akan menerkam seekor mangsa.
"sampeyan ga' pantes minta maaf, aku tidak sudi memaafkan sampeyan" kata-katanya keras tidak seperti biasanya. Bahkan yang lebih dasyat lagi ia sampai menendang istri sang dokter itu hingga bu dokter sempat mundur beberapa langkah namun mampu berdiri kembali. Tangan istri pak dokter dilepas jauh-jauh dari gengamannya seakan-akan tangan yang ada di depannya itu tangan yang penuh oleh kotoran najis. Sontak peristiwa itu membuat kaget semua mata. Suasana yang awalnya haru biru, kini berubah menjadi sebuah ketegangan. Bagaimana tidak ? Baru kali ini ada seorang pembantu yang dengan angkuhnya berani menendang majikannya. Sambil menunduk dengan muka penuh amarah suamiku pergi menuju kamar pembanringannya di rumah dokter itu. Mungkin suamiku benar-benar marah, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, karena telah dituduh sebagai pencuri. Namun anehnya, tak ada kemarahan dari istri sang dokter. Wajahnya yang berkulit kuning langsat, bersih dan ayu seakan sepadan dengan ketulusannya menerima perlakuan dari pembantu, suamiku yang tak pernah tau berterima kasih itu. Ia benar-benar memakluminya.
Pasca kejadian itu, suamiku masih bekerja di rumahnya seperti biasa dan masih bersekolah dengan biaya Pak Dokter pula. Kehidupan berjalan seperti biasanya.
Suatu hari, suamiku sakit. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, hingga ia tak mampu lagi melakukan apa-apa. Suamiku pamit untuk pulang ke kampung halamannya.
"Kamu ndak usah pulang ke kampung, biar di sini saja, nanti tak panggilkan mantri untuk mengurusimu, mengenai istrimu, biar kalau dia mau, juga tinggal di sini bersamamu." dengan raut wajah penuh keikhlasan, Pak Dokter mencoba menawarkan untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Iya, Pak Dokter benar ", istri Pak Dokter menimpali.
"Istri saya minta saya pulang aja Pak.....Bu......" suamiku tetap pada pendiriannya.
Ia akhirnya harus meninggalkan rumah sang dokter, kembali bersama keluarga namun dalam keadaan sudah tak mampu melakukan aktifitas apapun. Sejak kedatangannya ke kampung halamannya, Sang Dokter yang berjiwa besar itu mengutus seorang mantri sebagai perawat untuk mengurusi suamiku. Sakit lepra yang diderita suamiku seakan sedang menyiksanya. Begitu teramat parahnya, hingga salah satu kaki suamiku akhirnya harus mau untuk diamputasi. Ada banyak tangis di saat prosesi amputasi kaki suamiku. Terlebih aku, hingga aku terjatuh tak ingat apa-apa lagi, rupanya aku pingsan beberapa jam. Suamiku berteriak histeri saat melihat kakinya telah hilang.
"Pak, istighfar Pak" aku berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya. Namun suamiku tetap saja masih belum mau menerima kenyataan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri dalam beberapa jam. Aku hanya mampu menangis di atas tubuhnya yang diam terbujur di ranjang kasur rumah sakit.
Hingga datanglah hari berkabut, hari dimana duka menyelimuti kami, suamiku pergi untuk selamanya. Menunggu babak akhir dari lelah akan sakit yang telah mengeram lama dalam dirinya. Sempat ia meneteskan air mata.
"Mbok'e, aku ndak punya malu...... aku memang salah " dia bertutur kepadaku dengan wajah yang iba.
"Pak, yang sabar, mintalah kepada Yang Kuasa", kucoba menenangkan hati suamiku. Namun tiba-tiba ia mengerang keras seperti ketakutan. Keras sekali, membuat kamar kami bergema karenanya. "Inna lillahi, wa inna illaihi rooji'un" , Segera kututup mata suamiku setelah mengetahui dirinya telah tiada.
Selang beberapa jam kemudian, Keluarga Pak Dokter datang melayat. Seketika datangnya Pak dokter dan istrinya, buru-buru aku mencium lutut ibu dokter itu.
"Pak....Bu..... Maafkan suami saya" pintaku kepada ibu dan pak Dokter dengan mata berkaca-kaca. Aku diselimuti oleh rasa malu tiada berperi, hingga pandanganku tak mampu lagi kuhadapkan kepadanya.
Pak Dokter menepuk bahuku, ia meminta aku untuk berdiri kembali.
"Saya dan ibu telah memaafkannya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkannya pula" Pak Dokter tampak sedih seakan benar-benar memaafkannya. Istri pak Dokter hanya mengangguk sambil memeluk tubuhku yang dingin, pertanda ia telah memaafkannya juga. Suamiku yang kini telah terbujur kaku, menunggu peradilan Tuhan yang kami tidak mengetahuinya.