13 September 2024

Kepergianmu Yang Tiba-Tiba

Nida adalah seorang istri dan ibu yang penuh kasih. Suaminya, Arman, bekerja di luar kota, dan mereka telah menjalani kehidupan seperti ini selama hampir empat tahun. Meskipun jarak memisahkan mereka, Nida berusaha sekuat mungkin untuk menjaga keluarganya tetap utuh. Dengan empat anak yang masih kecil, Nida merasa tanggung jawabnya semakin berat.

Setiap pagi, Nida membangunkan anak-anaknya: Fira yang berusia 10 tahun, Sandi yang berusia 8 tahun, Raka yang berusia 5 tahun, dan si bungsu, Dira, yang baru berusia 3 tahun. Mereka semua memiliki karakter yang berbeda, tetapi satu hal yang sama: cinta mereka kepada Ayahnya, Arman.

Arman selalu berjanji akan pulang setiap akhir pekan, tetapi seringkali, pekerjaan menghalangi rencananya. Nida selalu berusaha memahami, meskipun hatinya terasa hampa. Ia sering merindukan kehadiran suaminya, terutama saat malam menjelang.

Setiap hari, Nida mengisi waktu dengan berbagai kegiatan. Ia mengantar anak-anak ke sekolah, membantu mereka dengan PR, dan memasak untuk keluarga. Meskipun kesibukan itu membuatnya lelah, Nida selalu mencoba tersenyum. Ia tahu bahwa anak-anaknya membutuhkan semangat.

Namun, di dalam hati Nida, ada rasa kesepian yang sulit diungkapkan. Ia merasa seperti berada dalam dua dunia: satu dunia di mana ia adalah seorang istri yang setia, dan satu dunia di mana ia adalah seorang ibu yang berjuang sendiri.

Suatu malam, setelah anak-anak tidur, Nida duduk di teras rumahnya, memandangi bintang-bintang. Ia mengirimkan pesan kepada Arman, “Aku merindukanmu. Anak-anak juga. Kapan kamu bisa pulang?”

Pesan tersebut hanya diabaikan, dan Nida merasa semakin kesepian.

Hari-hari berlalu, dan Nida mulai merasakan tekanan. Tanggung jawab sebagai ibu tunggal semakin berat, dan ia merasa tidak ada yang bisa membantunya. Sandi yang sering sakit, Raka yang masih belajar berbicara, dan Dira yang membutuhkan perhatian penuh. Kadang-kadang, Nida merasa seperti tidak mampu.

Suatu malam, saat Nida sedang menyiapkan makan malam, Fira datang dengan wajah cemas. “Ibu, kenapa Ayah tidak pulang? Aku rindu,” tanya Fira dengan suara kecil.

Nida menatap putrinya, berusaha menahan air mata. “Ayah sedang bekerja, sayang. Dia mencintai kita dan ingin memberikan yang terbaik untuk kita.”

Fira mengangguk, tetapi Nida tahu bahwa anaknya merasa kehilangan. Ia hanya bisa berharap agar Arman segera pulang dan menghibur anak-anaknya.

Suatu sore, saat Nida sedang menjemput anak-anak dari sekolah, ia menerima telepon dari seorang teman dekat. “Nida, aku baru mendengar kabar buruk. Arman mengalami kecelakaan di tempat kerja,” suara temannya bergetar.

Jantung Nida berhenti sejenak. “Apa? Bagaimana kabarnya?”

“Dia sudah dilarikan ke rumah sakit. Aku akan menemanimu ke sana,” jawab temannya, menghibur Nida.

Nida merasa dunia seakan runtuh. Ia segera membawa anak-anak ke rumah sakit, berharap yang terburuk tidak akan terjadi. Di dalam mobil, rasa takut dan cemas menguasai pikirannya.

Setelah sampai di rumah sakit, Nida berlari menuju ruang IGD. Ia menemukan Arman terbaring lemah di ranjang rumah sakit, penuh dengan peralatan medis. Dokter menjelaskan bahwa Arman mengalami cedera serius, tetapi mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya.

Nida merasa hatinya hancur. Ia berdoa tanpa henti, berharap agar suaminya bisa pulang ke rumah dan memeluk mereka kembali. Hari-hari di rumah sakit terasa seperti minggu-minggu yang menyakitkan. Anak-anak bertanya tentang Ayah mereka, dan Nida harus berbohong demi menjaga harapan mereka.

Setelah beberapa hari, keadaan Arman mulai membaik. Nida merasa sedikit lega. Ia berusaha tetap kuat untuk anak-anaknya meskipun dalam hatinya, ia merasa lelah. Setiap malam, ia berdoa agar Arman segera pulang.

Namun, setelah seminggu, dokter memberikan kabar buruk. “Maaf, Nida. Meskipun Arman sudah sadar, kondisinya sangat kritis. Kami perlu melakukan operasi lebih lanjut, tetapi kami tidak bisa menjamin hasilnya.”

Nida merasa seolah dunia gelap. Ia menatap Arman, berusaha menahan air mata. “Ayah pasti akan baik-baik saja, kan?” bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Beberapa hari kemudian, Nida merasa bahwa harapan mulai pudar. Arman mengalami komplikasi selama operasi. Nida dipanggil ke ruang dokter, dan saat ia mendengar berita itu, seolah seluruh hidupnya berantakan.

“Maaf, Nida. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi Arman tidak bisa bertahan,” kata dokter dengan nada penuh simpati.

Nida merasakan dunia seakan runtuh. Ia tidak bisa berbicara, hanya bisa terdiam dengan air mata yang mengalir deras. Kehilangan suaminya membuatnya merasa kosong. Apa yang akan terjadi pada anak-anak tanpa Ayah mereka?

Setelah pemakaman Arman, Nida berjuang melawan kesedihan. Ia harus menjadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Kehilangan itu terasa sangat menyakitkan, dan meskipun ia berusaha tegar, ia merasa hancur di dalam.

Hari-hari berlalu, dan Nida mencoba melanjutkan hidup. Ia kembali ke rutinitas sehari-hari, tetapi semuanya terasa berbeda. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Arman. Ia merasa kesepian, tetapi harus tetap kuat demi anak-anaknya.

Namun, beban emosional yang berat mulai memengaruhi kesehatan Nida. Ia sering merasa sakit kepala dan lelah. Ketika anak-anak berusaha menghiburnya, Nida berusaha tersenyum, tetapi ia merasa semakin terpuruk.

Suatu malam, saat Nida sedang membantu anak-anak belajar, ia merasa pusing dan terjatuh. Fira dan Sandi panik, dan segera memanggil tetangga. Nida dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mendiagnosisnya dengan stres berat.

“Bu Nida, Anda perlu istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri,” kata dokter.

Nida merasa bersalah. Ia ingin kuat untuk anak-anaknya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara melakukannya.

Meskipun berusaha untuk sembuh, kesehatan Nida semakin menurun. Ia merasa lelah dan tidak berdaya. Suatu malam, ketika anak-anak tidur, Nida duduk di teras, memandangi bintang-bintang. Ia merindukan suaminya dan merasa kesepian.

Tiba-tiba, Nida merasakan sakit di dadanya. Ia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dalam keadaan lemah, Nida berdoa agar anak-anaknya aman dan bahagia. Dalam hati, ia berharap bisa melihat Arman lagi.

Nida terjatuh dan tidak bisa bangkit. Saat tetangga menemukan Nida, sudah terlambat. Ia pergi dalam diam, meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Setelah kepergian Nida, anak-anak merasa kehilangan yang mendalam. Fira berusaha menjadi sosok yang kuat untuk adik-adiknya, tetapi ia merasa sangat kesepian. Mereka merindukan pelukan hangat dan kasih sayang dari ibu mereka.

Hari-hari berlalu, dan Fira berusaha menjaga adik-adiknya. Setiap malam, mereka berkumpul di ruang tamu, mengenang kenangan indah bersama Ayah dan Ibu mereka. Fira sering membacakan cerita yang biasa dibaca Nida.

“Mari kita ingat semua kenangan indah bersama,” kata Fira, berusaha memberikan semangat kepada Raka dan Sandi.

Meskipun hidup tanpa kedua orang tua sangat sulit, anak-anak belajar untuk saling mendukung satu sama lain. Mereka menyadari bahwa cinta keluarga adalah kekuatan terbesar mereka. Fira berusaha keras untuk menjadi sosok kakak yang baik, sementara Sandi, Raka, dan Dira saling menguatkan.

Beberapa tahun kemudian, saat mereka tumbuh dewasa, kenangan tentang Nida dan Arman selalu terukir di hati mereka. Mereka belajar bahwa meskipun kehilangan itu menyakitkan, cinta yang mereka terima dari kedua orang tua akan selalu hidup dalam diri mereka.

Kisah Nida adalah tentang perjuangan, cinta, dan kehilangan. Meskipun ia pergi terlalu cepat, cinta dan dedikasinya kepada keluarga akan selalu dikenang. Dalam perjalanan hidup, anak-anak Nida terus membawa warisan cinta tersebut, belajar untuk saling menghargai dan mendukung satu sama lain.

Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi dalam menghadapi kesulitan, mereka menemukan kekuatan untuk terus melangkah, menjaga kenangan orang tua mereka tetap hidup dalam setiap langkah yang diambil. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.