Kami bekerja di perusahaan yang sama. Di perusahaan inilah kami bertemu dan memadu kasih. Akhirnya kami menikah. Waktu itu karir suamiku sedang menanjak, namun apadaya ternyata takdir berkata lain. Kepala pimpinan kami terlibat hutang kepada Negara namun melarikan diri ke luar negeri. Perusahaan kamipun akhirnya gulung tikar. Aku dan suamiku diPHK.
Karena mendapat pesangon, kami membeli beberapa alat elektronik seperti televisi, kulkas, home teather. Kami serasa menikmati hidup, sebab saat itu serasa kami memliki semua yang kami butuhkan. Maklumlah, kami baru mendapat pesangon pasca PHK. Saat itu anak kami baru berusia 5 tahun.
Namun, ternyata pesangon itu akhirnya habis, dan mulailah masa di mana kami mengalami krisis. Ya, krisis keuangan. Aku baru menyadari mengapa dulu aku begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak urgent ? Kenapa uang terlalu gampang aku keluarkan tanpa memikirkan hari esok bagaimana ? Tapi apakah aku harus bermuram muka setiap hari hingga ajal menjeput aku ? Aku harus kuat, anakku masih kecil, ia butuh kasih sayang dan belaian dari aku, ibunya. kalau sampai aku tak berada di sisinya, mungkin akan memperburuk kisah-kisah selanjutnya dalam diri anakku. "Aku harus Kuat, Ya,... aku harus kuat" semangatku dalam hati.
Aku mencoba melamar kerja di perusahaan lain. Berbekal pengalaman kerjaku sebelumnya sebagai ADM, aku diterima kerja sebagai staff administrasi di Perusahaan yang bergerak di bidang pengajaran anak-anak WNA yang orang tuanya bekerja di Indonesia. Tiga bulan kemudian aku diangkat sebagai karyawan tetap. Kehidupan kami mulai tampak terobati dengan penghasilan tetap yang aku peroleh. Suamiku tetap di rumah. Ia selalu berusaha melamar pekerjaan. Namun tetap saja pekerjaan yang diterimanya tak pernah cocok denngan keinginannya. Suamiku ingin agar jabatan yang diterimanya tidak beda jauh saat ia di PHK di perusahaan sebelumnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, anak kami yang kedua lahir, laki-laki. Biaya hidup kami mulai bertambah. Untunglah kami hidup berdekatan dengan kakak, jadi bila kami tak ada uang, kami bisa makan bersama kakak.
Suamiku tak pernah mau membantu pekerjaan - pekerjaan rumah. Sehari-hari ia hanya pergi mengadu nasib dalam rangka mencari pekerjaan. Bila aku pulang kerja, aku selalu disibukkan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti mencuci, menggosok dan menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Sebab kami tak punya pembantu sebagai wujud efisiensi biaya. Paginya aku sibuk memasak untuk sarapan dan makan siang keluargaku. Menyiapkan anak-anak untuk berangkat ke sekolah, mulai dari mandi, makan dan sampai mau berangkat ke sekolah. Semua kulakukan demi rasa sayangku pada anak-anak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku bahagia.
Kesabaranku semakin terkikis. Bertahun-tahun kami hidup seperti ini. Begitu pahit getir ini kurasakan. Hingga kini anakku yang sulung menginjak SMA kelas 2. Namun peristiwa yang tak akan pernah bisa kulupakan adalah saat kuketahui ternyata suamiku menikah secara diam-diam dengan seorang janda genit. Uangnyapun diperoleh dari pinjaman yang diberikan kakak iparnya dengan dalih untuk syarat diterima kerja yang baru diperolehnya. Padahal semuanya hanya bohong belaka. Kakakku merasa menyesal telah meminjamkan uangnya.
Aku menangis sejadi-jadinya. Namun air mata itu tak pernah kutampakkan di depan wajah anak-anakku. Aku mencoba tegar, Namun tetap saja hati ini serasa tercabik-cabik. Sakit sekali rasanya. Mudahkah aku melupakan luka yang telah tergores di hatiku ? Aku baru ingat, kenapa seminggu ini suamiku sering pergi malam dan pulang saat shubuh. Ia hanya berpamitan ada proyek baru yang sedang dia dapatkan. Kenapa aku begitu mudah mempercayainya ? Oh Tuhan, dosakah aku bila aku merasa begitu jijik saat berhubungan dengannya ?
Setelah seminggu ia menikah, ternyata suamiku menceraikan istri barunya. Kucoba mempertahankan bahtera rumah tanggaku yang terkoyak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku tumbuh bahagia. Cuma ini keinginanku.