24 September 2024

Temani Aku Dalam Duka Kenangan Bersama Teman

Temani Aku Dalam Duka Kenangan Bersama Teman
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah longsor yang terjadi di sebuah perkampungan. Let's check it dot ya Sobats.

Di sebuah perkampungan kecil bernama Cibunar, kehidupan mengalir dalam ritme yang tenang. Di tengah hamparan sawah dan pepohonan, dua belas pemuda berkumpul di sebuah saung. Mereka adalah Raka, Joko, Andi, Budi, dan teman-teman lainnya. Hari itu, mereka merencanakan perjalanan ke kota besar untuk merayakan liburan.

Namun, di sudut saung, Adit, seorang pemuda berambut keriting, terlihat cemas. “Aku tidak bisa ikut,” katanya dengan suara bergetar. “Ada sesuatu yang tidak beres. Rasanya...”

“Ah, Adit! Jangan terlalu berpikir negatif!” sahut Raka, sambil menepuk bahu Adit dengan akrab. “Ini kesempatan kita untuk bersenang-senang. Jangan sia-siakan!”

Meski didorong oleh teman-temannya, Adit tetap teguh pada pendiriannya. Ia merasakan firasat yang kuat, seolah alam memberikan peringatan. Dengan berat hati, ia memilih untuk tinggal di kampung.

Pagi yang cerah menyapa, dan semua pemuda bersiap-siap. Di tengah tawa dan canda, Adit berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia menyaksikan mereka berangkat dengan semangat yang menggebu. “Hati-hati ya!” teriaknya, meski hatinya penuh kekhawatiran.

Di kota, pemuda-pemuda itu merasakan kebebasan yang belum pernah mereka alami. Mereka mengunjungi pasar yang ramai, mencicipi makanan baru, dan menjelajahi tempat-tempat menarik. Namun, saat malam tiba, langit mulai mendung, dan hujan pun turun dengan deras.

Sementara itu, di kampung, Adit merasakan perubahan cuaca. Hujan yang terus mengguyur membuat tanah di pegunungan mulai longsor. Adit duduk di beranda, menatap ke arah pegunungan sambil berdoa agar teman-temannya selamat.

Malam semakin larut, dan hujan tak kunjung reda. Tiba-tiba, suara gemuruh menggelegar. Tanah bergetar, dan Adit berlari ke dalam rumah. Ia menutup pintu rapat-rapat, tetapi suara longsor semakin mendekat.

Di luar, suara gemuruh dan dentuman membuat jantungnya berdegup kencang. Adit berdoa dalam hati, berharap teman-temannya tidak berada di jalur longsor. Dalam kegelapan malam, ia teringat akan tawa dan canda mereka yang kini terancam.

Di kota, pemuda-pemuda itu tidak menyadari bahaya yang mengintai. Mereka bersenang-senang, sementara longsoran besar menutupi jalan pulang.

Keesokan harinya, berita duka menyebar di kampung. Longsor menimpa jalan yang dilalui oleh teman-teman Adit. Hati Adit hancur. Ia bergegas menuju lokasi longsor, berharap masih ada harapan untuk menyelamatkan mereka.

Setibanya di lokasi yang dipenuhi debu dan reruntuhan, suasana mencekam. Tim penyelamat bekerja keras, tetapi longsoran itu sangat besar. Adit hanya bisa berdiri terpaku, air mata mengalir di pipinya. Dia merasa bersalah karena tidak ikut, berpikir bahwa jika ia bersama mereka, mungkin bisa membantu.

Setelah berjam-jam, berita duka tiba. Dari dua belas pemuda, hanya dua yang berhasil ditemukan selamat. Sepuluh lainnya, termasuk Raka, tidak selamat. Adit terjatuh, hatinya hancur. Ia merasa bahwa firasatnya adalah peringatan yang terabaikan.

Beberapa minggu setelah tragedi, Adit berusaha bangkit dari kesedihan. Ia mulai membantu keluarga para pemuda yang hilang, berusaha menguatkan mereka dalam masa sulit. Meski rasa sakit masih membekas, Adit menyadari bahwa hidup harus terus berjalan.

Ia mengorganisir kegiatan di desa untuk mengenang teman-temannya. Setiap tahun, mereka mengadakan doa bersama di tempat longsor, mengingat tawa dan kenangan indah yang pernah ada. Adit bertekad untuk tidak membiarkan tragedi itu dilupakan.

Bersama warga desa, Adit membangun tempat peringatan kecil di lokasi longsor, dengan nama-nama para pemuda yang hilang terukir di batu. Setiap kali mereka berkumpul, Adit bercerita tentang keberanian dan keceriaan teman-temannya.

Tahun demi tahun berlalu, dan desa itu tetap diingat oleh Adit dan penduduk lainnya. Longsor itu menjadi pelajaran berharga tentang kehidupan dan persahabatan. Adit, meskipun kehilangan, menemukan tujuan baru: untuk menghargai setiap momen dan menjaga kenangan teman-temannya.

Kini, ia berdiri di puncak bukit, menatap ke arah kampungnya. Angin berhembus lembut, seolah mengirimkan pesan dari teman-temannya yang telah pergi. Adit tersenyum, merasakan kehadiran mereka di setiap hembusan angin yang membawa kenangan indah. Dengan hati yang penuh harapan, ia melanjutkan hidupnya, berjanji untuk selalu mengenang mereka dan menjadikan kenangan itu sebagai kekuatan.