Di sebuah perkampungan kecil bernama Cibunar, kehidupan mengalir dalam ritme yang tenang. Di tengah hamparan sawah dan pepohonan, dua belas pemuda berkumpul di sebuah saung. Mereka adalah Raka, Joko, Andi, Budi, dan teman-teman lainnya. Hari itu, mereka merencanakan perjalanan ke kota besar untuk merayakan liburan.
Namun, di sudut saung, Adit, seorang pemuda berambut keriting, terlihat cemas. “Aku tidak bisa ikut,” katanya dengan suara bergetar. “Ada sesuatu yang tidak beres. Rasanya...”
“Ah, Adit! Jangan terlalu berpikir negatif!” sahut Raka, sambil menepuk bahu Adit dengan akrab. “Ini kesempatan kita untuk bersenang-senang. Jangan sia-siakan!”
Meski didorong oleh teman-temannya, Adit tetap teguh pada pendiriannya. Ia merasakan firasat yang kuat, seolah alam memberikan peringatan. Dengan berat hati, ia memilih untuk tinggal di kampung.
Pagi yang cerah menyapa, dan semua pemuda bersiap-siap. Di tengah tawa dan canda, Adit berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia menyaksikan mereka berangkat dengan semangat yang menggebu. “Hati-hati ya!” teriaknya, meski hatinya penuh kekhawatiran.
Di kota, pemuda-pemuda itu merasakan kebebasan yang belum pernah mereka alami. Mereka mengunjungi pasar yang ramai, mencicipi makanan baru, dan menjelajahi tempat-tempat menarik. Namun, saat malam tiba, langit mulai mendung, dan hujan pun turun dengan deras.
Sementara itu, di kampung, Adit merasakan perubahan cuaca. Hujan yang terus mengguyur membuat tanah di pegunungan mulai longsor. Adit duduk di beranda, menatap ke arah pegunungan sambil berdoa agar teman-temannya selamat.
Malam semakin larut, dan hujan tak kunjung reda. Tiba-tiba, suara gemuruh menggelegar. Tanah bergetar, dan Adit berlari ke dalam rumah. Ia menutup pintu rapat-rapat, tetapi suara longsor semakin mendekat.
Di luar, suara gemuruh dan dentuman membuat jantungnya berdegup kencang. Adit berdoa dalam hati, berharap teman-temannya tidak berada di jalur longsor. Dalam kegelapan malam, ia teringat akan tawa dan canda mereka yang kini terancam.
Di kota, pemuda-pemuda itu tidak menyadari bahaya yang mengintai. Mereka bersenang-senang, sementara longsoran besar menutupi jalan pulang.
Keesokan harinya, berita duka menyebar di kampung. Longsor menimpa jalan yang dilalui oleh teman-teman Adit. Hati Adit hancur. Ia bergegas menuju lokasi longsor, berharap masih ada harapan untuk menyelamatkan mereka.
Setibanya di lokasi yang dipenuhi debu dan reruntuhan, suasana mencekam. Tim penyelamat bekerja keras, tetapi longsoran itu sangat besar. Adit hanya bisa berdiri terpaku, air mata mengalir di pipinya. Dia merasa bersalah karena tidak ikut, berpikir bahwa jika ia bersama mereka, mungkin bisa membantu.
Setelah berjam-jam, berita duka tiba. Dari dua belas pemuda, hanya dua yang berhasil ditemukan selamat. Sepuluh lainnya, termasuk Raka, tidak selamat. Adit terjatuh, hatinya hancur. Ia merasa bahwa firasatnya adalah peringatan yang terabaikan.
Beberapa minggu setelah tragedi, Adit berusaha bangkit dari kesedihan. Ia mulai membantu keluarga para pemuda yang hilang, berusaha menguatkan mereka dalam masa sulit. Meski rasa sakit masih membekas, Adit menyadari bahwa hidup harus terus berjalan.
Ia mengorganisir kegiatan di desa untuk mengenang teman-temannya. Setiap tahun, mereka mengadakan doa bersama di tempat longsor, mengingat tawa dan kenangan indah yang pernah ada. Adit bertekad untuk tidak membiarkan tragedi itu dilupakan.
Bersama warga desa, Adit membangun tempat peringatan kecil di lokasi longsor, dengan nama-nama para pemuda yang hilang terukir di batu. Setiap kali mereka berkumpul, Adit bercerita tentang keberanian dan keceriaan teman-temannya.
Tahun demi tahun berlalu, dan desa itu tetap diingat oleh Adit dan penduduk lainnya. Longsor itu menjadi pelajaran berharga tentang kehidupan dan persahabatan. Adit, meskipun kehilangan, menemukan tujuan baru: untuk menghargai setiap momen dan menjaga kenangan teman-temannya.
Kini, ia berdiri di puncak bukit, menatap ke arah kampungnya. Angin berhembus lembut, seolah mengirimkan pesan dari teman-temannya yang telah pergi. Adit tersenyum, merasakan kehadiran mereka di setiap hembusan angin yang membawa kenangan indah. Dengan hati yang penuh harapan, ia melanjutkan hidupnya, berjanji untuk selalu mengenang mereka dan menjadikan kenangan itu sebagai kekuatan.
Setelah peringatan tahunan di lokasi longsor, Adit merasa ada yang berubah dalam dirinya. Rasa kehilangan masih menyakitkan, tetapi ia mulai menemukan cara untuk mengatasi kesedihan. Ia mulai menulis diari tentang setiap kenangan yang ia miliki bersama teman-temannya. Setiap halaman menjadi pelipur lara, tempat di mana tawa dan cerita mereka hidup kembali.
Namun, di dalam hatinya, Adit masih merasakan ada yang belum tuntas. Ia merasa perlu untuk melakukan lebih banyak bagi masyarakatnya, agar tragedi serupa tidak terulang. Satu malam, saat duduk di beranda, ia terbangun dari lamunan. Sebuah ide muncul: bagaimana jika mereka membangun sistem peringatan dini untuk longsor?
Baca juga Lulu dan Cinta yang Tak BiasaAdit mulai mengumpulkan warga desa. Dalam pertemuan yang diadakan di balai desa, dia menjelaskan idenya. “Kita harus belajar dari apa yang terjadi. Dengan sistem peringatan dini, kita bisa memberi tahu semua orang jika ada tanda-tanda longsor.”
Awalnya, beberapa warga skeptis. “Kita sudah bertahan hidup selama ini. Kenapa harus khawatir?” tanya seorang nenek. Namun, Adit tidak menyerah. Ia mengajak warga untuk berdiskusi, berbagi pengalaman dan rasa takut mereka terhadap longsor.
Setelah beberapa pertemuan, warga mulai mengerti. Mereka sepakat untuk membentuk tim yang akan memantau kondisi cuaca dan tanah, serta mendirikan pos-pos pengamatan di area rawan longsor.
Adit dan timnya mulai bekerja keras. Mereka mengumpulkan informasi tentang cara mengenali tanda-tanda longsor. Bersama dengan ahli geologi yang mereka undang, mereka mengadakan pelatihan bagi warga desa.
Selama pelatihan, Adit belajar banyak. Ia memahami bahwa longsor tidak hanya disebabkan oleh hujan, tetapi juga oleh kondisi tanah yang tidak stabil. Ia mulai merencanakan penanaman pohon di daerah sekitar untuk memperkuat tanah.
Selama beberapa bulan, mereka bekerja tanpa lelah. Rasa kebersamaan di antara warga desa semakin kuat. Mereka saling mendukung, saling memberi semangat, dan Adit merasa bahwa dia tidak lagi sendirian dalam perjuangan ini.
Suatu pagi, setelah hujan deras semalaman, suasana di desa terasa tegang. Tim pengamat melaporkan bahwa ada tanda-tanda longsor di pegunungan. Adit segera mengumpulkan warga.
“Ini saatnya kita uji sistem yang telah kita bangun!” serunya. Warga desa yang awalnya ragu kini bersatu. Mereka segera menyiapkan diri untuk evakuasi.
Dengan membawa barang-barang penting, mereka mengikuti petunjuk tim pengamat menuju tempat yang lebih aman. Adit merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi ia berusaha tenang. Di tengah perjalanan, suara gemuruh terdengar lagi, dan tanah mulai bergerak.
Dengan cepat, mereka bergerak menjauh dari area yang berbahaya. Adit memimpin kelompok kecil, memastikan semua orang dalam keadaan aman. Setelah beberapa waktu, suara gemuruh mereda.
Setelah memastikan warga desa berkumpul di tempat aman, Adit kembali ke lokasi awal. Ia melihat tanah yang longsor sudah menutupi jalan. Rasa syukur mengalir dalam dirinya. Sistem peringatan dini yang mereka bangun berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Setelah kejadian itu, warga desa semakin menghargai kerja keras Adit dan timnya. Mereka menyadari bahwa kepedulian dan persatuan bisa mengubah keadaan. Adit merasa bangga, bukan hanya karena mereka berhasil menghindari bencana, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang tumbuh di antara mereka.
Dalam beberapa bulan ke depan, desa Cibunar mulai dikenal sebagai desa yang siap menghadapi bencana. Mereka mengadakan pelatihan berkala dan membangun jaringan komunikasi untuk memperingatkan satu sama lain jika ada tanda-tanda bahaya.
Dalam sebuah pertemuan yang diadakan di balai desa, Adit berdiri di depan warga. “Kita telah melihat betapa kuatnya kita jika bersatu. Mari kita lanjutkan untuk menjaga desa ini dan mengenang teman-teman kita yang telah pergi.”
Mereka semua sepakat untuk membangun sebuah monument di pusat desa, sebagai pengingat akan tragedi yang pernah terjadi dan sebagai simbol kebangkitan mereka. Setiap tahun, mereka akan merayakan hari itu bukan hanya untuk mengenang para pemuda yang hilang, tetapi juga untuk merayakan kehidupan dan keberanian mereka.
Adit menatap ke arah monument itu, memikirkan Raka dan teman-temannya. Ia tahu, meskipun mereka telah pergi, semangat dan kenangan mereka akan selalu hidup dalam hati setiap penduduk desa. Dengan harapan baru, Adit melanjutkan hidupnya, bertekad untuk menjadi pembawa perubahan dan melindungi desa yang dicintainya. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.