Akhirnya, pesan itu masuk juga. Lidya segera membukanya dengan harapan bisa berdiskusi baik-baik dengan Bagas.
Lidya: Bagas, kita perlu bicara. Kapan kau pulang?
Bagas: Entahlah, mungkin malam. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor.
Lidya: Tapi ini penting. Aku sudah menunggu dari tadi.
Bagas: Aku sibuk, Lid. Kau tahu aku harus mengejar deadline.
Lidya: Tapi... ini menyangkut hubungan kita. Tidakkah kau bisa menyempatkan diri sebentar saja?
Bagas: Aku lelah, Lid. Bisa kita bicarakan nanti saja?
Lidya menelan ludah dengan susah payah. Ia bisa merasakan matanya memanas, menahan air mata yang siap tumpah kapan saja.
Lidya: Bagas, aku... aku merasa kau sudah tidak peduli lagi padaku dan pernikahan kita.
Bagas: Jangan berlebihan. Kau tahu aku bekerja keras demi kita.
Lidya: Tapi kau selalu mengutamakan pekerjaan daripada keluarga! Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama?
Bagas: Lihatlah, Lid. Kita perlu uang untuk bertahan hidup, untuk membiayai semuanya. Apa yang kau inginkan dariku?
Lidya: Aku hanya ingin... kita bisa saling mengerti dan peduli satu sama lain lagi, seperti dulu. Aku merasa... kau sudah tidak mencintaiku.
Bagas: Apa? Jangan bicara omong kosong. Tentu saja aku mencintaimu.
Lidya: Kalau begitu, buktikan! Kapan terakhir kali kau mengajakku kencan, memberikan perhatian padaku? Kau... kau bahkan jarang di rumah.
Bagas: Lidya, dengar. Aku melakukan semua ini demi kita, demi keluarga kita. Aku bekerja keras supaya kita bisa hidup dengan layak.
Lidya: Tapi aku tidak butuh uang sebanyak itu, Bagas. Aku hanya butuh kau, perhatianmu, waktumu. Aku... aku merasa kau sudah tidak mencintaiku lagi.
Bagas: Jangan bicara seperti itu. Kau tahu aku mencintaimu.
Lidya: Kalau begitu buktikan! Kapan terakhir kali kau memelukku, menciumku, atau sekedar mengajakku kencan romantis?
Bagas terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lidya benar, sudah lama sekali ia tidak memberikan perhatian khusus pada istrinya itu.
Lidya menangis terisak. Hatinya hancur melihat betapa Bagas seolah tak peduli lagi padanya.
Lidya: Aku... aku rasa kita perlu bicara lebih serius. Aku butuh kepastian tentang perasaanmu padaku.
Bagas masih terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Selama ini ia terlalu fokus pada pekerjaannya dan melupakan istrinya.
Lidya: Bagas, jawab aku! Apa kau masih mencintaiku?
Bagas tersentak. Ia tercekat, tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Keheningan yang mencekam menggantung di antara mereka.
Lidya menangis semakin keras. Hatinya remuk, seolah seluruh kebahagiaan dalam pernikahan mereka telah hilang.
Lidya: Aku... aku rasa kita perlu istirahat sejenak. Mungkin kita bisa... pisah untuk sementara waktu.
Bagas tersentak kaget. Pisah? Tidak, ia tidak bisa menerima itu.
Bagas: Apa maksudmu, Lid? Kita tidak bisa berpisah!
Lidya: Lalu apa yang harus kulakukan, Bagas? Aku merasa kau sudah tidak mencintaiku lagi. Aku merasa diabaikan.
Bagas terdiam, tak mampu menyangkal ucapan Lidya. Ia benar-benar telah menyia-nyiakan istrinya selama ini.
Lidya: Aku... aku butuh waktu untuk berpikir. Mungkin kau juga perlu waktu untuk memikirkan perasaanmu padaku.