27 Agustus 2024

Dilema Pernikahan Antara Hati Yang Tersakiti

Lidya mengetuk layar ponselnya dengan frustrasi. Sudah hampir setengah jam ia menunggu Bagas membalas pesannya, tapi pria itu tak kunjung merespon.

Akhirnya, pesan itu masuk juga. Lidya segera membukanya dengan harapan bisa berdiskusi baik-baik dengan Bagas.

Lidya: Bagas, kita perlu bicara. Kapan kau pulang?

Bagas: Entahlah, mungkin malam. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor.

Lidya: Tapi ini penting. Aku sudah menunggu dari tadi.

Bagas: Aku sibuk, Lid. Kau tahu aku harus mengejar deadline.

Lidya: Tapi... ini menyangkut hubungan kita. Tidakkah kau bisa menyempatkan diri sebentar saja?

Bagas: Aku lelah, Lid. Bisa kita bicarakan nanti saja?

Lidya menelan ludah dengan susah payah. Ia bisa merasakan matanya memanas, menahan air mata yang siap tumpah kapan saja.

Lidya: Bagas, aku... aku merasa kau sudah tidak peduli lagi padaku dan pernikahan kita.

Bagas: Jangan berlebihan. Kau tahu aku bekerja keras demi kita.

Lidya: Tapi kau selalu mengutamakan pekerjaan daripada keluarga! Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama?

Bagas: Lihatlah, Lid. Kita perlu uang untuk bertahan hidup, untuk membiayai semuanya. Apa yang kau inginkan dariku?

Lidya: Aku hanya ingin... kita bisa saling mengerti dan peduli satu sama lain lagi, seperti dulu. Aku merasa... kau sudah tidak mencintaiku.

Bagas: Apa? Jangan bicara omong kosong. Tentu saja aku mencintaimu.

Lidya: Kalau begitu, buktikan! Kapan terakhir kali kau mengajakku kencan, memberikan perhatian padaku? Kau... kau bahkan jarang di rumah.

Bagas: Lidya, dengar. Aku melakukan semua ini demi kita, demi keluarga kita. Aku bekerja keras supaya kita bisa hidup dengan layak.

Lidya: Tapi aku tidak butuh uang sebanyak itu, Bagas. Aku hanya butuh kau, perhatianmu, waktumu. Aku... aku merasa kau sudah tidak mencintaiku lagi.

Bagas: Jangan bicara seperti itu. Kau tahu aku mencintaimu.

Lidya: Kalau begitu buktikan! Kapan terakhir kali kau memelukku, menciumku, atau sekedar mengajakku kencan romantis?

Bagas terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lidya benar, sudah lama sekali ia tidak memberikan perhatian khusus pada istrinya itu.

Lidya menangis terisak. Hatinya hancur melihat betapa Bagas seolah tak peduli lagi padanya.

Lidya: Aku... aku rasa kita perlu bicara lebih serius. Aku butuh kepastian tentang perasaanmu padaku.

Bagas masih terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Selama ini ia terlalu fokus pada pekerjaannya dan melupakan istrinya.

Lidya: Bagas, jawab aku! Apa kau masih mencintaiku?

Bagas tersentak. Ia tercekat, tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Keheningan yang mencekam menggantung di antara mereka.

Lidya menangis semakin keras. Hatinya remuk, seolah seluruh kebahagiaan dalam pernikahan mereka telah hilang.

Lidya: Aku... aku rasa kita perlu istirahat sejenak. Mungkin kita bisa... pisah untuk sementara waktu.

Bagas tersentak kaget. Pisah? Tidak, ia tidak bisa menerima itu.

Bagas: Apa maksudmu, Lid? Kita tidak bisa berpisah!

Lidya: Lalu apa yang harus kulakukan, Bagas? Aku merasa kau sudah tidak mencintaiku lagi. Aku merasa diabaikan.

Bagas terdiam, tak mampu menyangkal ucapan Lidya. Ia benar-benar telah menyia-nyiakan istrinya selama ini.

Lidya: Aku... aku butuh waktu untuk berpikir. Mungkin kau juga perlu waktu untuk memikirkan perasaanmu padaku.

Sebelum Bagas sempat menjawab, Lidya sudah memutus sambungan telepon itu. Isakan pilu Lidya terdengar memilukan, menusuk hati Bagas.

Bagas terduduk lemas di kursi kerjanya. Pandangannya kosong, penyesalan menjalari benaknya. Ia telah menyakiti wanita yang paling ia cintai.

Bagas terdiam lama, pikirannya penuh dengan rasa penyesalan dan kekhawatiran. Ia telah menyakiti Lidya, wanita yang paling ia cintai. Setelah bertahun-tahun bersama, bagaimana mungkin ia sampai mengabaikannya seperti ini?

Bagas menghela napas berat. Ia tak boleh menyerah begitu saja. Pernikahan mereka sudah berjalan 9 tahun, pasti masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Tapi bagaimana caranya?

Dengan cepat, Bagas meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Lidya lagi. Namun, panggilannya tidak diangkat. Lidya pasti masih sangat marah dan terluka.

Bagas berpikir keras. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan bahwa ia masih mencintai Lidya. Tapi apa?

Kemudian, sebuah ide melintas di benaknya. Bagas segera bergegas meninggalkan kantor dan bergegas menuju rumah. Ia harus bertemu Lidya secara langsung, menatap matanya dan meyakinkannya bahwa perasaannya tidak pernah berubah.

Sesampainya di rumah, Bagas melihat Lidya tengah duduk di ruang tamu, matanya memerah bekas menangis. Hati Bagas terasa diremas melihat pemandangan itu.

Bagas: Lid... maafkan aku.

Lidya mendongak, kaget melihat Bagas sudah pulang. Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Bagas: Aku... aku tahu aku telah menyakitimu. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu selama ini. Aku hanya terlalu fokus pada pekerjaan dan...

Lidya: Dan aku merasa kau tidak peduli lagi padaku. Pada kita.

Bagas: Tidak, Lid. Itu tidak benar. Kau adalah segalanya bagiku. Aku mencintaimu, sepenuh hatiku.

Lidya terdiam, air mata kembali mengalir di pipinya. Bagas segera merengkuh Lidya ke dalam pelukannya, berusaha menenangkannya.

Bagas: Maafkan aku, Sayang. Aku berjanji akan lebih memperhatikanmu, lebih meluangkan waktu untuk kita. Aku tidak ingin kehilanganmu.

Lidya terisak dalam pelukan Bagas. Hatinya masih terluka, tapi ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata suaminya.

Lidya: Aku... aku juga mencintaimu, Bagas. Tapi aku butuh kepastian. Aku tidak ingin terus-menerus merasa diabaikan.

Bagas mengangguk. Ia mengerti bahwa ia harus membuktikan keseriusannya untuk memperbaiki hubungan mereka.

Bagas: Aku janji, Lid. Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Kita akan lebih sering menghabiskan waktu bersama, melakukan kegiatan yang kita sukai. Aku ingin kita kembali seperti dulu.

Lidya menatap Bagas dengan sorot mata penuh harap. Ia ingin mempercayai kata-kata suaminya.

Lidya: Aku... aku ingin sekali mempercayaimu, Bagas. Tapi aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri.

Bagas mengangguk dengan penuh pengertian. Ia tahu ia telah menyakiti Lidya dalam waktu yang lama, tidak bisa diharapkan untuk dipercaya begitu saja.

Bagas: Aku mengerti, Sayang. Kau boleh membutuhkan waktu. Yang terpenting, aku akan selalu ada untukmu, selalu berusaha membuktikan bahwa aku masih mencintaimu, sepenuh hati.

Lidya menatap Bagas dengan lembut. Mungkin memang masih ada harapan untuk memperbaiki pernikahan mereka. Dengan penuh keyakinan, Lidya mengangguk.

Lidya: Baiklah, Bagas. Kita akan coba sekali lagi.

Bagas tersenyum lega. Ia mengecup dahi Lidya dengan penuh kasih sayang. Mereka akan berjuang bersama-sama untuk mempertahankan cinta yang telah terbangun selama bertahun-tahun.