29 Juli 2009

Seharusnya Aku Tau

Kumpulan CerpenKumpulan Cerpen Siti Arofah . Suamiku menikah lagi ! Kejadian ini benar-benar membuat aku sangat terpukul. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku. Aku begitu sangat mencintainya ! Aku tak rela bila cinta suamiku harus terbagi dengan wanita lain. Aku tak kuasa menghadapi ini semua, hingga beberapa hari setelah kuketahui suamiku menikah lagi, aku sering terjatuh pingsan. Suamiku tak pernah tau akan keadaanku ini mengingat ia tak sering lagi berada di rumah.Dengan awal kekuatan cinta kami, seharusnya suamiku tak setega itu padaku.



Aku yang kala itu diperebutkan oleh beberapa teman laki-laki, hanya suamikulah yang aku pilih. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, aku memilihnya karena ia adalah laki-laki yang tangguh, yang mau menyekolahkan adik-adiknya hingga ke jenjang yang tinggi. Kata-katanya yang lembut seolah menyakinkan aku bahwa dialah yang pantas menjadi ayah dari anak-anakku. Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya, sebab kedua orang tuanya tinggal bersama kami sampai akhir hayatnya. Pun dengan keluargaku, dia tak pernah pilih kasih, kasih sayangnya ia ulurkan dalam berbagai bentuk, entah dalam bentuk materi atau sikap perhatiannya.Seandainya aku tau akan gurauannya waktu itu, mungkin akan aku jawab dengan tegas kalau aku benar-benar menentangnya. Manusiawi bila hampir semua wanita pasti tak ingin diduakan. "Dinda, kalau abang menikah lagi bagaimana ? " kata-katanya disertai dengan sorot matanya yang tampak seperti menyandai diriku. Mesti sejujurnya aku tak rela bila suamiku menikah lagi, tanpa banyak pikir kukatakan "Ya .....menikah aja sana, asal Abang ingat aku dan anak-anak !" . Mendengar jawaban itu, suamiku mencubit pipiku tanpa kata-kata. Di kamar pembaringan dengan sebuah lampu kecil, kami seperti biasa tertawa seolah seperti pengantin baru.

Belakangan ini memang suamiku sering beberapa hari tak pulang ke rumah. Kadang tiga hari atau bahkan seminggu ia tak berada di rumah. Kupikir ia sibuk dengan mengelola bisnis barunya yang sedang digelutinya. Aku sama sekali tak merasakan keanehan itu. Toh nyatanya bila ia datang ke rumah ia masih menafkahi bathinku. Masalah keuangan juga sepertinya no problem bagiku, tak pernah kurang dari yang diberikannya untukku. Pun kepada anak-anak kami, nyaris tak berbeda sekali, seakan ia adalah aktor terbaik di balik kejadian itu. Kabar ini awalnya kudengar dari sahabatku sendiri.

Mulanya aku tak mempercayainya. "Apa suamiku setega itu mau berbagi cinta dengan yang lain selain diriku ?" kata-kata ini yang membuat aku tak percaya akan berita ini. Sahabatku hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali karena aku sama sekali tak menggubris kata-katanya. Belum lagi ada tiga orang anak hasil cinta kami berdua yang masih harus butuh perhatian dari ayahnya. Rendahnya kesetiaan suamiku sama sekali tak terlintas dalam benakku.

Hari-hari awal setelah kuketahui suamiku menikah lagi, sikapku terasa hambar untuknya. Jangankan kepada suamiku, untuk diriku sediri saja aku sampai tak mau makan. Dunia seakan berhenti, tulang-tulangku serasa melunak, membuat aku merasa tak mampu untuk meneruskan hidup. Aku bahkan nyaris tak mau bercinta dengannya lagi. Aku merasa jijik, sebab ada bekas wanita lain yang telah merebut hati suamiku. Tapi mungkin karena aku telah pernah merasakan kenikmatan itu, akhirnya aku luluh juga dipelukannya.

Itupun kulakukan dengan rentan waktu yang cukup begitu lama. Bila suamiku sedang tak ada di rumah, kerinduan ini begitu dalam, merobek setiap pembuluh darah hingga ke jantungku. Aku dilanda oleh perasaan hampa, seperti wanita kesepian yang haus akan kasih sayang suaminya. Hanya air mata yang dengan setia menemani malam-malam kesendirianku. Tangisku sering tak dapat kubendung, saat aku teringat bagaimana suamiku bercinta dengan istri keduanya itu. "Kenapa Abang tega ?" berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri. Aku benar-benar dilanda oleh perasaan cemburu yang teramat sangat. Bila aku telah bosan menangis, Kutumpahkan semuanya dalam doa kepada Sang Illahi, "Tuhan, ...... tolong kuatkan aku !"Sahabatkulah yang selalu memberikan dorongan dan semangat hidup untukku. Ia tak pernah absen untuk mengetahui keadaanku. Beginilah gunanya memiliki sahabat, tertawa bersama dikala senang, dan mau peduli di saat sahabatnya susah. Akhirnya aku mencoba kesibukan baru, berjualan nasi uduk di depan rumahku. Karena di rumahku belum ada kedai nasi uduk, Cukup lumayan juga para pengunjung yang datang di hari pertama saat aku membuka kedaiku ini. Kesibukan baruku ini rasanya mampu melupakan sejenak akan kesedihanku.

Aku tak tau apa yang akan terjadi esok, andai saja suamiku jujur mengatakan pernikahannya itu padaku. Sampai saat ini suamiku masih menyimpan sandiwaranya itu. Apakah aku akan meninggalkannya ? Atau aku akan memilih untuk masih bersamanya meski mungkin dengan bulir-bulir air mata.