Anisa dan Rizky adalah dua bersaudara yang sangat dekat. Anisa, yang lebih tua, adalah sosok kakak penuh kasih sayang. Rizky, adiknya, sering kali bergantung pada Anisa untuk banyak hal, mulai dari PR sekolah hingga tips soal cewek. Keluarga mereka sederhana, namun bahagia dan berkecukupan. Rumah yang hangat, orang tua yang selalu ada, serta momen-momen sederhana seperti makan malam bersama menjadi kenangan indah bagi keduanya.
Orang tua mereka, Bapak Andi dan Ibu Maya, adalah sosok yang pekerja keras namun tetap memprioritaskan waktu keluarga. Setiap akhir pekan, mereka selalu menyempatkan waktu untuk mengajak anak-anak mereka jalan-jalan, makan di luar, atau sekadar nonton film bersama di rumah.
Hari itu cerah, dan keluarga kecil ini merencanakan perjalanan ke luar kota. Anisa dan Rizky begitu antusias karena ini adalah liburan keluarga yang sudah mereka nanti-nantikan. Namun, sebuah kecelakaan tragis terjadi di perjalanan.
Pagi itu adalah saat terakhir mereka melihat wajah bahagia ayah dan ibu mereka. Sebuah truk besar melaju kencang dan tak sempat menghindar, menabrak mobil mereka dari samping. Dalam hitungan detik, tawa dan kebahagiaan berubah menjadi jerit kesakitan dan ketakutan. Anisa dan Rizky, yang saat itu duduk di bangku belakang, terluka tetapi selamat. Namun, kedua orang tua mereka tidak seberuntung itu.
Ketika Anisa membuka matanya di rumah sakit, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, tetapi rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kabar yang baru saja ia dengar.
Dokter: “Anisa, Rizky… Saya sangat menyesal. Orang tua kalian tidak berhasil diselamatkan…”
Anisa mematung, sementara Rizky hanya bisa terisak. Ia menggenggam tangan adiknya erat-erat, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri terasa seperti pecah berkeping-keping.
Anisa: “Kita harus kuat, Rizky… Ayah dan Ibu pasti ingin kita bisa bertahan…”
Rizky: (tersedu-sedu) “Kenapa harus kita, Kak? Kenapa mereka harus pergi?”
Kehidupan Anisa dan Rizky berubah total setelah kepergian orang tua mereka. Rumah mereka yang dulunya penuh tawa sekarang terasa sunyi dan hampa. Anisa, yang saat itu masih kuliah, harus berjuang keras untuk bisa membiayai dirinya sendiri dan juga adiknya. Ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan mencoba sebaik mungkin untuk tetap menjalani kuliah.
Rizky, yang masih duduk di bangku SMA, menjadi lebih pendiam. Ia sering merasa kesepian dan sulit berkonsentrasi di sekolah. Rasa rindu akan kasih sayang orang tuanya tak pernah hilang, dan malam-malamnya sering kali dihabiskan dengan memandangi foto-foto lama keluarga mereka.
Baca juga Tragedi Cinta di Desa Tertinggal
Suatu malam, saat mereka berdua duduk di ruang tamu yang hening, Rizky tiba-tiba berbicara dengan suara lirih.
Rizky: “Kak, apa kita bisa hidup seperti dulu lagi? Aku kangen Ayah sama Ibu…”
Anisa: (menahan tangis) “Aku juga, Rizky… Tapi sekarang, kita hanya punya satu sama lain. Aku janji, aku bakal lakuin yang terbaik buat kamu.”
Rizky: “Aku takut, Kak. Aku takut nggak bisa ngelakuin ini sendiri…”
Anisa: “Nggak apa-apa, kita nggak perlu lakuin ini sendiri. Kita punya satu sama lain, dan itu sudah cukup.”
Anisa berusaha menjadi sosok kakak yang tegar, namun sesungguhnya, di balik senyum dan keteguhannya, ia menyimpan luka yang mendalam. Suatu hari, Anisa mendapat panggilan dari salah satu teman ayahnya, Pak Budi, yang menawarkan bantuan. Pak Budi adalah orang yang sangat dihormati oleh ayah mereka, dan dia tahu betapa sulitnya situasi yang sedang dihadapi Anisa dan Rizky.
Pak Budi: “Anisa, saya tahu ini sulit untuk kamu dan adikmu. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya akan berusaha membantu semampu saya.”
Anisa: (menghela napas) “Terima kasih banyak, Om Budi. Saya cuma… saya nggak tahu harus mulai dari mana lagi.”
Pak Budi akhirnya membantu Anisa mendapatkan beasiswa kuliah dan membantu mencarikan pekerjaan yang lebih baik. Perlahan, kehidupan Anisa dan Rizky mulai menemukan harapan baru, meski rasa kehilangan tak pernah benar-benar hilang.
Berkat bantuan Pak Budi, serta tekad yang kuat, Anisa lulus dari kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sementara itu, Rizky berhasil menyelesaikan sekolahnya dan berencana melanjutkan ke perguruan tinggi. Meski banyak tantangan yang harus mereka hadapi, mereka telah tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat.
Pada suatu malam, mereka duduk di teras rumah, memandangi bintang-bintang di langit.
Rizky: “Kak, aku bersyukur kita masih punya satu sama lain. Kamu udah jadi kakak dan orang tua buat aku.”
Anisa: “Aku cuma lakuin apa yang Ayah dan Ibu harapkan dari aku. Aku bangga sama kamu, Rizky. Kamu udah kuat dan dewasa.”
Keduanya tersenyum, seakan merasakan kehadiran orang tua mereka di tengah malam yang sunyi itu. Bagi Anisa dan Rizky, mereka tahu, kehidupan tak akan pernah sama, tetapi kenangan akan keluarga mereka selalu abadi.
Meski sudah berusaha bangkit, rasa sepi tetap menghantui hidup Anisa dan Rizky. Bagi Anisa, hari-hari terasa panjang, dan malam-malam sering kali ia habiskan dengan memikirkan sosok orang tua mereka. Di sisi lain, Rizky, meski tampak lebih tegar, kadang merasa tersesat, terutama ketika melihat teman-temannya bersama keluarga mereka. Rasa iri kadang menyusup, mengingatkan pada hidupnya yang dulu.
Suatu malam, Rizky tak tahan lagi. Ia mengetuk pintu kamar Anisa dan langsung masuk, duduk di samping kakaknya.
Rizky: “Kak… Aku nggak kuat. Rasanya capek banget harus pura-pura baik-baik aja setiap hari. Aku selalu kangen Ayah sama Ibu…”
Anisa: (memeluk Rizky) “Aku ngerti, Rizky… Kakak juga sama kok. Kadang, Kakak juga ngerasa capek, tapi… mungkin ini cara Tuhan bikin kita lebih kuat.”
Rizky: “Iya, tapi aku nggak mau kuat kalau harus ngelewatin semua ini. Aku cuma mau mereka balik, Kak. Mau kita bisa makan malam bareng lagi, bercanda, cerita-cerita…”
Anisa hanya bisa menepuk bahu Rizky dengan lembut. Ia tak bisa menjanjikan apa-apa, hanya berharap waktu akan menyembuhkan luka yang mereka rasakan. Mereka saling bergantung, menguatkan, walau dalam hati keduanya sama-sama rapuh.
Bab 7: Pertemuan dengan Sahabat Baru
Di tengah perjuangan mereka, Anisa dan Rizky beruntung bertemu dengan sahabat-sahabat baru. Anisa mulai dekat dengan Dinda, rekan kerja yang selalu ceria dan tak pernah gagal membuatnya tertawa. Sementara itu, Rizky bertemu dengan Ardi, seorang senior di kampus yang telah mengalami kehilangan serupa.
Suatu hari, Dinda mengajak Anisa untuk ikut dalam kegiatan amal, mengunjungi panti asuhan. Awalnya Anisa ragu, namun saat ia melihat wajah-wajah anak-anak yang kehilangan orang tua, ia merasa seperti melihat bayangan dirinya sendiri.
Dinda: “Anisa, kadang kita memang butuh waktu untuk sembuh. Tapi… dengan membantu orang lain, kita bisa merasa lebih berarti. Kamu mau mencoba?”
Anisa mengangguk. Di panti asuhan itu, ia merasakan empati yang mendalam, merasakan bahwa dirinya bisa berbagi rasa, dan menemukan kekuatan di tengah-tengah rasa sakitnya.
Sementara itu, di kampus, Ardi sering mengajak Rizky bicara soal bagaimana cara menghadapi kehilangan. Mereka sering ngobrol hingga larut malam, berbagi cerita tentang orang tua mereka.
Ardi: “Rizky, kehilangan memang nggak gampang. Aku tahu rasanya. Tapi hidup terus berjalan, dan mungkin… ini yang orang tua kita inginkan. Kita bahagia, dan tetap kuat.”
Rizky: “Kadang aku cuma nggak ngerti kenapa harus ngerasain ini semua…”
Ardi: “Nggak ada yang bisa jawab, Riz. Tapi kita punya pilihan, mau terpuruk atau terus melangkah. Mereka mungkin udah nggak ada, tapi kenangan dan doa kita bisa terus buat mereka tenang.”
Bab 8: Menemukan Makna Kehidupan
Waktu berlalu, dan perlahan Anisa dan Rizky mulai menemukan arti kehidupan yang baru. Anisa kini terlibat aktif di berbagai kegiatan sosial, membantu mereka yang membutuhkan. Ia merasa, dengan memberi, hatinya yang dulunya kosong perlahan terisi kembali. Rizky, dengan dukungan Ardi, mulai berani menceritakan kisah hidupnya kepada orang lain. Ia menemukan kekuatan di balik setiap luka.
Suatu hari, Anisa dan Rizky pergi berziarah ke makam orang tua mereka. Mereka membawa bunga kesukaan Ibu dan menyalakan lilin di samping pusara Ayah.
Anisa: “Ayah, Ibu… kami baik-baik saja. Kami akan terus berjuang, terus menjaga kenangan tentang kalian.”
Rizky: “Ayah, Ibu… terima kasih untuk semua yang kalian berikan. Kalian tetap ada di hati kami, selalu.”
Air mata mereka mengalir, tapi kali ini bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata ketenangan dan keikhlasan. Mereka tahu, meski kehilangan, cinta orang tua mereka akan selalu ada, membimbing langkah mereka dalam menjalani kehidupan.
Epilog
Anisa dan Rizky, meski harus tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya, telah menjadi sosok yang lebih kuat dan dewasa. Kehidupan tak pernah kembali sama, tetapi mereka tahu bahwa di balik segala derita, mereka menemukan kekuatan dan makna hidup yang baru. Mereka berjanji untuk saling mendukung, untuk terus menjaga warisan cinta dari orang tua mereka, dan untuk hidup dengan penuh harapan.
Kini, setiap langkah mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan bagi orang tua tercinta yang akan selalu mereka rindukan. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.