04 September 2024

Bagai Hati yang Terserak

Sofia duduk di bangku taman, memandangi anak-anak yang bermain. Hatinya terasa nyeri saat ia mengingat Dika, putranya yang kini berusia tujuh tahun. Sejak perceraian dengan Andi, ia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan anaknya. Setiap hari, kenangan indah bersama Dika menghantui pikirannya.

“Bu, kenapa kita tidak bisa bertemu Ayah?” tanya Dika suatu ketika sebelum perceraian, matanya penuh rasa ingin tahu.

“Satu hari nanti, Sayang. Ibu janji,” jawab Sofia, meski ia tahu janji itu kini terasa hampa.

Tujuh tahun berlalu, dan Sofia berjuang untuk melanjutkan hidup. Ia bekerja sebagai guru di sekolah dasar, tetapi setiap kali ia melihat anak-anak, hatinya merindukan Dika. Di malam hari, ia sering menulis surat-surat untuknya, meski tahu tak ada cara untuk mengirimnya.

Suatu sore, saat pulang dari sekolah, temannya, Maya, menghampiri. “Sofia, kamu harus berusaha lebih keras. Dika berhak tahu siapa ibunya.”

“Tapi Andi tidak mengizinkanku,” jawab Sofia, suaranya bergetar.

“Kamu harus berjuang. Cobalah untuk memperjuangkan hakmu,” kata Maya.

Mendengar kata-kata Maya, Sofia mulai memikirkan langkah-langkah yang bisa diambil. Ia memutuskan untuk mencari bantuan hukum. Setelah berkonsultasi dengan pengacara, ia menyadari bahwa ia memiliki hak untuk mengajukan permohonan hak asuh dan kunjungan.

“Ini langkah pertama, Sofia. Kamu perlu memperjuangkan hubunganmu dengan Dika,” kata pengacara itu.

Sofia merasa terbangun. Ia mulai mengumpulkan bukti-bukti dari kehidupannya dan berusaha membuktikan bahwa ia layak untuk bertemu Dika.

Setelah proses hukum yang panjang, Sofia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Dika. Hari itu, ia duduk di ruang tunggu pengadilan, jantungnya berdebar kencang. Ketika pintu terbuka, Dika melangkah masuk dengan tatapan bingung.

“Dika,” panggil Sofia, suaranya bergetar.

Dika menatapnya, matanya membesar. “Ibu?”

Sofia mengangguk, air mata menetes di pipinya. “Ibu merindukanmu.”

Mereka berpelukan, dan dalam pelukan itu, Sofia merasa seolah dunia ini kembali utuh. Namun, Andi berdiri di belakang Dika dengan tatapan marah. “Tidak ada yang perlu kamu lakukan di sini, Sofia,” katanya tegas.

Pertemuan pertama itu hanya berlangsung singkat. Andi berusaha menghalangi setiap langkah Sofia untuk bertemu dengan Dika. Namun, Sofia tidak menyerah. Ia terus berjuang di pengadilan, berusaha mengubah keputusan yang telah diambil.

“Dika perlu ibunya dalam hidupnya,” argumentasi Sofia di hadapan hakim. “Saya ingin memberikan cinta dan dukungan yang ia butuhkan.”

Hakim memutuskan untuk memberikan Sofia hak kunjungan selama beberapa jam setiap dua minggu sekali. Meskipun kecil, ini adalah langkah awal yang berarti.

Pertemuan demi pertemuan berlangsung. Sofia menghabiskan waktu dengan Dika, berbagi cerita dan kenangan. Dika mulai terbuka, dan mereka membangun kembali ikatan yang pernah terputus.

“Bu, kenapa kita tidak bertemu lebih sering?” tanya Dika di salah satu pertemuan.

“Karena Ayah masih tidak setuju, Sayang. Tapi Ibu akan berjuang untuk kita,” jawab Sofia, berusaha menenangkan hatinya.

Setiap pertemuan membawa harapan baru. Sofia mengajarkan Dika tentang dunia luar, membacakan buku, dan bermain di taman. Momen-momen ini membuat keduanya merasakan cinta yang tak pernah pudar.

Suatu malam, Sofia menulis surat untuk Dika, berisi semua harapan dan impian yang ia miliki untuk masa depan mereka. “Aku akan selalu mencintaimu, dan tidak peduli seberapa sulitnya, kita akan selalu bersama,” tulisnya.

Setelah bertahun-tahun berjuang, Sofia akhirnya mendapatkan hak asuh penuh atas Dika. Andi menerima keputusan itu, dan meskipun ada luka yang tersisa, Sofia merasa lega.

Dalam pelukan Dika, Sofia berkata, “Kita akan menjalani hidup dengan bahagia, Sayang. Ibu akan selalu ada untukmu.”

Dika tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, Sofia merasakan kebahagiaan yang murni. Mereka telah melalui perjalanan yang panjang, tetapi cinta mereka telah mengalahkan semua rintangan. Kini, mereka siap untuk melangkah menuju masa depan yang lebih cerah, bersama-sama.

Saat Dika pertama kali mendengar tentang perceraian orang tuanya, ia merasa bingung dan tidak mengerti. Suatu malam, setelah Andi dan Sofia bertengkar, Dika duduk bersama ayahnya di ruang tamu.

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak bisa bersama lagi?” tanya Dika dengan suara kecil, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Andi menghela napas, berusaha menjelaskan. “Kadang, orang dewasa harus membuat keputusan yang sulit, Nak. Ibu dan Ayah tidak lagi cocok satu sama lain.”

Dika mengerutkan dahi, berusaha mencerna kata-kata itu. “Tapi aku ingin Ibu di sini. Kenapa kita tidak bisa tinggal bersama?”

Andi menatapnya, hatinya terasa berat. “Kita akan tetap bersama, Dika. Ibu akan selalu mencintaimu, meskipun kalian tidak bisa bertemu seperti sebelumnya.”

Namun, setelah perceraian, Dika tidak lagi melihat ibunya. Saat waktu berlalu, rasa kehilangan dan kebingungan semakin membebani hatinya. Ia sering bertanya kepada Andi.

“Kenapa Ibu tidak pernah datang?” tanya Dika, suaranya penuh harap.

“Dia tidak bisa, Sayang. Itu keputusan Ibu dan Ayah,” jawab Andi, berusaha memberikan penjelasan meskipun hatinya juga terluka.

Kehilangan sosok ibunya membuat Dika merasa sepi. Ia merindukan pelukan hangat Sofia, tawa, dan cerita-cerita sebelum tidur. Di sekolah, saat teman-temannya berbicara tentang ibu mereka, Dika merasa terasing.

“Kenapa kamu tidak pernah bercerita tentang ibumu?” tanya salah satu teman.

Dika hanya tersenyum masam. “Ibu tidak bisa bertemu aku lagi.”

Suatu malam, Dika menemukan foto lama bersama Sofia. Ia menatap foto itu dengan kerinduan. “Ibu, di mana kamu?” bisiknya, air mata mengalir di pipinya.

Di dalam hatinya, Dika berjuang antara harapan dan kenyataan. Ia menyimpan kenangan indah itu, tetapi rasa sakit karena tidak bisa bertemu ibunya selalu mengganggu pikirannya.

Dalam setiap mimpinya, Dika selalu melihat Sofia tersenyum, dan saat terbangun, ia merasa hampa. Momen-momen itu membuatnya semakin merindukan sosok yang selalu ada di sampingnya, hingga ia berdoa setiap malam agar bisa bertemu kembali dengan ibunya.

Reaksi Dika adalah campuran antara kebingungan, kerinduan, dan harapan. Setiap hari, ia berusaha memahami situasi ini, sambil menyimpan cinta yang mendalam untuk ibunya dalam hatinya.