Suatu hari, Tomy pulang dari kantor dengan wajah muram. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan besar. Dia merasa tidak adil, karena dia sudah bekerja keras dan loyal selama bertahun-tahun. Dia berharap Santi bisa memberinya dukungan dan pengertian.
Namun, begitu dia masuk ke rumah, dia disambut dengan suara keras dari televisi. Santi sedang menonton sinetron favoritnya, sambil makan kacang dan minum teh. Dia tidak menyadari kedatangan Tomy, dan terus asyik dengan acaranya.
Tomy merasa kesal. Dia berpikir, apa yang dilakukan Santi sepanjang hari? Apakah dia tidak peduli dengan keadaan mereka? Apakah dia tidak tahu bahwa mereka sedang dalam masalah besar?
Dia mendekati Santi dan mematikan televisi dengan kasar. Santi terkejut dan marah.
"Sudah gila, ya? Kok matiin TV gitu aja? Aku lagi nonton, tau!" Santi protes.
"Kamu ngapain sih seharian? Nonton TV aja? Kamu gak lihat aku capek pulang kerja?" Tomy balik bertanya.
"Kerja? Kerja apa? Kamu kan udah dipecat! Kamu gak malu, ya? Kamu gak bisa jaga pekerjaanmu sendiri, trus mau ngomong apa?" Santi mengejek.
Tomy merasa tersinggung. Dia merasa Santi tidak menghargai usahanya. Dia merasa Santi tidak tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan di tengah krisis ekonomi. Dia merasa Santi tidak bersyukur dengan apa yang sudah dia berikan selama ini.
"Kamu gak usah sok-sokan, ya! Kamu kan gak pernah kerja! Kamu cuma bisa ngabisin uang yang aku hasilkan! Kamu gak punya kontribusi apa-apa buat rumah tangga kita!" Tomy menuduh.
Santi merasa tersakiti. Dia merasa Tomy tidak mengakui pengorbanannya. Dia merasa Tomy tidak tahu betapa beratnya mengurus rumah dan segala urusannya. Dia merasa Tomy tidak menghormati pilihannya untuk menjadi ibu rumah tangga.
"Kamu gak tahu apa-apa, ya! Kamu kira gampang ngurus rumah? Kamu kira gampang masak, nyuci, bersih-bersih, belanja, bayar ini-itu? Kamu kira gampang ngejaga hubungan sama keluarga dan tetangga? Kamu gak pernah peduli sama aku!" Santi menangis.
Mereka berdua terdiam. Mereka saling menatap dengan penuh amarah dan kecewa. Mereka tidak tahu harus berkata apa lagi. Mereka merasa tidak ada yang mengerti mereka. Mereka merasa tidak ada yang mencintai mereka.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara ketukan di pintu. Mereka berbalik dan melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun berdiri di depan pintu. Dia adalah anak mereka, Raka. Ya.. Anak semata wayang mereka, anak yang polos tanpa dosa, yang selalu membuat kejutan di tengah kehidupan pernikahan ini. Dia baru saja pulang dari bermain di taman bersama teman-temannya. Dia membawa seikat bunga yang dia petik dari kebun.
Dia tersenyum manis dan berkata:
"Bapak, Ibu, aku bawa bunga buat kalian. Aku sayang Bapak dan Ibu."
Tomy dan Santi terkejut. Mereka merasa malu dan bersalah. Mereka sadar bahwa mereka telah melupakan sesuatu yang penting. Mereka sadar bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang berharga. Mereka sadar bahwa mereka masih saling mencintai.
Mereka berdua berlari ke arah Raka dan memeluknya erat. Mereka meminta maaf kepada Raka dan kepada satu sama lain. Mereka berjanji untuk tidak bertengkar lagi. Mereka berjanji untuk saling mendukung dan menghargai. Mereka berjanji untuk saling mencintai.
Mereka berdua menatap Raka dengan penuh kasih sayang. Mereka melihat bunga yang Raka bawa.
Mereka tersenyum dan berkata:
"Terima kasih, Nak. Kamu adalah bunga terindah di hidup kami. Kamu adalah cinta kami."
Salam,