Showing posts with label wanita muslimah. Show all posts
Showing posts with label wanita muslimah. Show all posts

Dendam Di Tepi Jurang Kelam

Dendam Di Tepi Jurang Kelam
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah perjuangan seorang pemuda untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun, saat ia mencoba menyelesaikan misinya, ia menemukan bahwa kebenaran tidak selalu sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Intrik dan plot twist dalam novel ini akan membuat Anda terus ingin membaca lebih lanjut.

Di desa kecil yang terletak di tepi jurang kelam, seorang pemuda bernama Arkan hidup dalam bayang-bayang kematian ayahnya. Ayahnya, seorang petani sederhana, ditemukan tewas di dekat jurang dengan luka parah di kepalanya. Penduduk desa berbisik-bisik tentang sebuah kecelakaan, tetapi Arkan tahu bahwa ada sesuatu yang lebih gelap di balik kematian itu.

Sejak hari itu, dendam membara di hati Arkan. Ia bertekad untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Setiap malam, ia berdiri di tepi jurang, menatap ke dalam kegelapan yang dalam, membayangkan wajah ayahnya dan mengingat semua kenangan indah yang telah direnggut darinya.

Arkan mulai menyelidiki kematian ayahnya. Ia berbicara dengan penduduk desa, mengumpulkan informasi. Beberapa orang mengisyaratkan bahwa ayahnya terlibat dalam konflik tanah dengan seorang pengusaha bernama Rendra, yang dikenal kejam dan licik. Rendra telah berusaha mengambil alih tanah milik orang-orang desa untuk kepentingan bisnisnya.

Dengan tekad yang menggebu, Arkan memutuskan untuk menghadapi Rendra. Ia mengumpulkan teman-temannya, Damar dan Sari, yang bersedia membantunya dalam pencarian kebenaran. Bersama-sama, mereka merencanakan untuk menyusup ke rumah Rendra dan mencari bukti yang dapat mengaitkan pengusaha itu dengan kematian ayahnya.

Malam itu, mereka tiba di rumah Rendra. Dengan hati-hati, mereka menyelinap masuk melalui jendela yang tidak terkunci. Di dalam, mereka menemukan ruangan yang dipenuhi barang-barang mahal, tetapi juga ada dokumen-dokumen yang mencurigakan. Arkan dan teman-temannya mulai mencari-cari, berharap menemukan sesuatu yang dapat mengungkapkan kebenaran.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Rendra muncul dengan wajah marah. "Siapa kalian?" teriaknya. Arkan dan teman-temannya berusaha melarikan diri, tetapi Rendra berhasil menangkap Damar. Dalam kekacauan, Arkan berusaha melawan, tetapi Rendra terlalu kuat dan menyerang mereka dengan brutal.

Arkan berhasil melarikan diri, tetapi Damar tertangkap. Dengan rasa marah dan putus asa, Arkan kembali ke desa untuk mencari bantuan. Ia tahu ia tidak bisa meninggalkan temannya. Dengan bantuan penduduk desa, mereka kembali ke rumah Rendra untuk menyelamatkan Damar.

Pertarungan sengit terjadi di halaman belakang rumah Rendra. Arkan, bersama penduduk desa, melawan para pengawal Rendra. Dalam kekacauan itu, Arkan akhirnya berhasil menyelamatkan Damar, tetapi mereka juga menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa Rendra telah menyuap pejabat desa untuk menutupi tindakannya.

Setelah melarikan diri, Arkan dan Damar kembali ke desa untuk mengungkapkan kebenaran. Mereka mengumpulkan penduduk desa dan menunjukkan bukti yang mereka temukan. Namun, saat mereka berbicara, seorang wanita tua berdiri dan berkata, "Kamu tidak tahu seluruh ceritanya, Arkan."

Wanita itu, yang dikenal sebagai Ibu Sari, mengungkapkan bahwa ayah Arkan terlibat dalam skema gelap dengan Rendra. Mereka berdua telah berkonspirasi untuk mengambil tanah milik orang lain. Arkan terkejut dan bingung. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

Arkan berjuang dengan kebenaran yang baru ditemukan. Apakah ayahnya benar-benar terlibat dalam kejahatan? Dendam yang selama ini menggerakkannya kini mulai pudar. Ia merasa terjebak di antara dua sisi: membalas dendam pada Rendra atau mencari kebenaran yang lebih dalam.

Sari, yang selalu mendukung Arkan, berkata, "Kita harus mencari tahu lebih banyak. Mungkin ada alasan di balik semua ini." Arkan menyetujui, dan mereka bertekad untuk menggali lebih dalam.

Arkan, Damar, dan Sari mulai menyelidiki lebih jauh, mengunjungi rumah-rumah penduduk yang pernah berinteraksi dengan ayah Arkan. Mereka menemukan bahwa ayah Arkan memiliki utang yang besar kepada Rendra dan terpaksa terlibat dalam bisnis ilegal untuk melunasinya. Rendra memanfaatkan situasi itu dan mengancam ayah Arkan agar melakukan kejahatan lebih besar.

Dalam perjalanan itu, mereka juga menemukan bahwa ayah Arkan sebenarnya ingin keluar dari lingkaran kejahatan, tetapi Rendra tidak membiarkannya. Arkan mulai merasa empati terhadap ayahnya dan merasakan rasa kehilangan yang lebih dalam.

Dengan informasi baru ini, Arkan memutuskan untuk menghadapi Rendra sekali lagi, tetapi bukan hanya untuk membalas dendam. Ia ingin mengakhiri siklus kekerasan ini. Bersama Damar dan Sari, mereka merencanakan untuk menghadapi Rendra di hadapan penduduk desa.

Malam itu, Arkan dan teman-temannya berhadapan langsung dengan Rendra. "Kau telah merusak hidup banyak orang! Ini saatnya untuk membayar!" seru Arkan dengan suara bergetar.

Rendra merespons dengan arogan, tetapi saat penduduk desa berkumpul dan memberikan dukungan kepada Arkan, ia mulai merasa terpojok. Dalam perdebatan sengit, Arkan mengungkapkan semua kejahatan yang dilakukan Rendra, termasuk pengaruhnya terhadap ayahnya.

Akhirnya, Rendra ditangkap atas bukti yang diajukan oleh Arkan dan penduduk desa. Namun, kemenangan itu terasa pahit bagi Arkan. Ia menyadari bahwa balas dendam tidak akan mengembalikan ayahnya. Alih-alih merayakan kemenangan, Arkan berdiri di tepi jurang, mengenang semua yang telah terjadi.

Dengan air mata di matanya, ia berbisik, "Ayah, aku telah mencari kebenaran. Kini aku bisa melanjutkan hidupku tanpa beban ini."

Setelah kejadian itu, Arkan berusaha untuk membangun hidup baru. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dan membantu penduduk desa yang telah terpengaruh oleh tindakan Rendra. Damar dan Sari selalu ada di sampingnya, mendukung setiap langkahnya.

Arkan belajar bahwa kehidupan tidak hanya tentang membalas dendam, tetapi juga tentang pengampunan dan pertumbuhan. Ia mulai mengajarkan anak-anak di desa tentang pentingnya kejujuran dan tanggung jawab.

Beberapa bulan berlalu sejak Rendra ditangkap, dan desa mulai pulih dari trauma yang ditinggalkan. Arkan, yang kini menjadi sosok teladan di desa, berusaha membangun kembali kepercayaan dan solidaritas di antara penduduk. Ia mengadakan pertemuan rutin untuk mendiskusikan perkembangan desa dan merencanakan masa depan yang lebih baik.

Suatu hari, saat Arkan sedang memimpin pertemuan, seorang penduduk desa bernama Pak Rahmat mengangkat tangan. "Arkan, kami semua berterima kasih atas keberanianmu. Namun, ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Apa yang akan terjadi jika Rendra kembali? Dia masih memiliki banyak pengaruh di luar desa."

Arkan menanggapi dengan serius. "Kita harus berpegang pada kebenaran dan keadilan. Jika kita bersatu, kita bisa menghadapi siapa pun yang mengancam kedamaian kita."

Malam itu, saat Arkan pulang, ia merasakan ketegangan di udara. Ada bisikan-bisikan di antara penduduk desa yang membuatnya khawatir. Sesampainya di rumah, ia menemukan surat misterius yang ditinggalkan di pintu. Surat itu berisi ancaman yang mengingatkan Arkan bahwa Rendra masih memiliki banyak sekutu dan bahwa mereka akan membalas dendam.

Arkan merasa ketakutan, tetapi juga bertekad untuk tidak membiarkan ancaman itu menghentikannya. Ia segera mengumpulkan Damar dan Sari untuk membahas situasi ini. "Kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus bersiap-siap untuk menghadapi apa pun yang datang," kata Arkan.

Mereka mulai merencanakan langkah-langkah untuk melindungi desa. Arkan mengajak penduduk desa untuk berlatih bela diri dan memperkuat pertahanan. Damar berinisiatif untuk mengumpulkan informasi tentang kemungkinan ancaman dari sekutu-sekutu Rendra. Sari, dengan bakatnya dalam meracik ramuan, membuat obat-obatan untuk persiapan medis.

Dalam proses persiapan ini, Arkan merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya. Ia mulai merindukan ayahnya dan berharap bisa berbicara dengannya untuk mendapatkan nasihat. Ia berdoa di tepi jurang, berharap bisa menemukan ketenangan dalam keputusan yang akan diambil.

Beberapa minggu kemudian, saat desa sedang bersiap untuk festival tahunan, kelompok pria bersenjata tiba-tiba menyerbu. Mereka adalah sekutu Rendra, dipimpin oleh seorang pria bernama Kadir, yang dikenal brutal dan sangat ambisius. Kadir bersumpah untuk membalas dendam atas penangkapan Rendra.

Arkan dan penduduk desa berusaha melawan, tetapi jumlah mereka jauh lebih sedikit. Dalam kekacauan, Arkan berteriak, "Bertahanlah! Kita tidak boleh membiarkan mereka menghancurkan apa yang telah kita bangun!"

Pertarungan sengit terjadi di tengah desa, dan Arkan berjuang sekuat tenaga. Ia merasa bahwa hidupnya dipertaruhkan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang telah berjuang bersamanya.

Saat malam mulai turun, pertarungan semakin brutal. Kadir dan Arkan berhadapan langsung. "Kau pikir kau bisa melindungi desa ini? Semua ini akan hancur, sama seperti ayahmu!" Kadir mengejek, menyoroti patah hati Arkan.

Kemarahan membara dalam diri Arkan. "Itu tidak akan terjadi! Aku akan melindungi orang-orang yang aku cintai!" Dengan semangat yang membara, Arkan melancarkan serangan. Mereka bertarung dengan sengit, tetapi Kadir lebih berpengalaman.

Di tengah pertarungan, Arkan terjatuh dan Kadir bersiap untuk menghabisinya. Namun, saat itu, Sari datang dengan ramuan yang ia buat dan melemparkannya ke arah Kadir. Kadir terhuyung, memberikan kesempatan bagi Arkan untuk bangkit dan melawan kembali.

Dengan dukungan teman-temannya, Arkan berhasil mengalahkan Kadir. Namun, sebelum pergi, Kadir berteriak, "Ini belum berakhir! Rendra akan kembali, dan kalian semua akan menyesal!" Dengan kata-kata itu, Kadir melarikan diri.

Arkan, meskipun merasa lega bahwa mereka telah menang, merasakan keletihan yang mendalam. Ia tahu bahwa pertarungan ini bukanlah akhir, tetapi sebuah awal dari tantangan yang lebih besar. Ia mengumpulkan penduduk desa dan berkata, "Kita telah menghadapi ancaman dan berhasil. Tetapi kita harus bersiap untuk apa yang akan datang."

Setelah serangan, Arkan dan teman-temannya mulai menyelidiki lebih lanjut tentang Rendra dan sekutunya. Mereka menemukan bahwa Rendra memiliki rencana untuk menguasai lebih banyak tanah di sekitar desa. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa Rendra memiliki hubungan dengan pejabat di pemerintahan yang berusaha mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

Arkan merasa terpanggil untuk mengungkap kebenaran ini kepada dunia luar. Dengan bantuan Damar dan Sari, mereka merencanakan untuk mengumpulkan bukti dan melaporkannya kepada pihak berwenang.

Dengan dokumen dan bukti yang mereka kumpulkan, Arkan dan teman-temannya berangkat ke kota untuk menemui pejabat yang berwenang. Perjalanan ini penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian. Arkan merasa beban berat di pundaknya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat.

Sesampainya di kota, mereka bertemu dengan seorang pengacara bernama Ibu Maya, yang sangat berpengalaman dalam kasus-kasus tanah. Ibu Maya mendengarkan cerita mereka dan berjanji untuk membantu. "Kita akan melawan ketidakadilan ini. Keadilan harus ditegakkan," katanya dengan tegas.

Setelah beberapa bulan persiapan, kasus Arkan akhirnya dibawa ke pengadilan. Rendra, meskipun di penjara, masih memiliki pengaruh yang kuat dan mencoba memutarbalikkan fakta. Arkan dan Ibu Maya berjuang keras untuk menghadapi semua bukti yang ada.

Selama persidangan, banyak penduduk desa memberikan kesaksian tentang kejahatan Rendra. Arkan merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk memberikan suara pada semua yang telah menderita. Dengan setiap saksi yang dihadirkan, ia merasa semakin kuat dan yakin.

Setelah berbulan-bulan persidangan, akhirnya hakim memutuskan. Rendra dinyatakan bersalah atas semua tuduhan, dan semua tanah yang dirampas dikembalikan kepada penduduk desa. Arkan merasakan kelegaan yang mendalam. Ia tahu bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.

Namun, kemenangan ini datang dengan harga. Arkan menyadari bahwa meskipun kebenaran telah terungkap, luka yang ditinggalkan tidak akan pernah sepenuhnya sembuh. Ia berdiri di tepi jurang, memikirkan ayahnya dan semua yang telah terjadi.

"Dendam di Tepi Jurang Kelam" berakhir dengan Arkan yang berdiri di tepi jurang, mengingat perjalanan panjang yang telah dilalui. Ia telah belajar bahwa jalan menuju keadilan tidak selalu mudah, tetapi juga tidak selalu tentang membalas dendam. Dalam prosesnya, ia menemukan kekuatan dalam diri dan cinta untuk orang-orang di sekelilingnya.

Dengan harapan baru dan keyakinan, Arkan melangkah maju. Ia bertekad untuk membangun desa yang lebih baik dan mengajarkan generasi mendatang tentang pentingnya kejujuran, keadilan, dan pengabdian. Dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh liku, setiap langkah membawa makna yang mendalam. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.

Kulepas Kamu Dengan Bismillah

Terang saja, aku ini sedang jatuh cinta.
Cinta dengan seorang gadis cantik, yang kini tumbuh dewasa. Tumbuh dengan mempesona. Dan tumbuh indah dengan agamanya. Dia Laila. Laila Syafa Nafeeza. Cantik, kan, namanya? Iya. Sama. Orangnya juga begitu. Lebih malah.
Kami udah bareng-bareng dari sejak kami masih kecil.

Karena terlalu sering bersama dan saling mengisi kekosongan waktu satu sama lain, aku sama dia pun semakin dekat. Saling muncul rasa perhatian. Muncul rasa takut kehilangan. Takut kalau berpisah. Muncul rasa nggak ingin jauh-jauhan. Muncul rasa kangen meski hanya sebentar saja tak ber-sua. Semua ada.

Aku yakin, aku menyukainya.
Dan aku nggak mau memendam itu terlalu lama.

Kemarin, aku sudah mengungkapan apa isi hatiku sama dia. Dia pun sama. Ternyata, dia juga punya perasaan yang sama dengan apa yang aku rasa. Tahu kan, pastinya, gimana senangnya aku sekarang?
Iya, seneeeeeeeng banget.

Tapi aku sama dia punya prinsip yang sama. Aku nggak mau pacaran dan dia nggak mau dipacarin. Aku maunya langsung halal, dan dia juga maunya dihalalin.

Hanya saja, untuk per-detik ini aku belum bisa meminang dia. Aku masih menjalani rutinitasku sebagai Santri di salah satu pondok pesantren yang ada di Jombang. Iya. Namanya Pondok Pesantren Tebu Ireng. Pernah dengar? Atau ada yang pernah mondok di sana mungkin?

Hem, sebenarnya bukan karena itu saja aku belum mau meminangnya. Alasan kedua adalah: orangtuaku belum begitu setuju jika aku menyukai dan ingin serius dengannya. Orangtuaku maunya, aku tuh, dekat dengan wanita yang jamil dan shalihah. Menurut pandangan orangtuaku saat ini, dia belumlah cukup dibilang shalihah.

Tapi ada manfaatnya juga aku mondok di Tebu Ireng ini. Aku bisa berbagi ilmu agama sama dia. Aku bisa sedikit demi sedikit mengajak dia untuk menjadi lebih baik lagi. Dan alhamdulillah.. dia benar-benar menjadi gadis yang aku sendiri saja tak bisa berkedip melihat ketaatannya. Alhamdulillah dia menjadi gadis yang mendekati sempurna. Benar-benar jauh lebih baik dari sebelumnya.

Subhanallah, Laila… Semoga Allah selalu melindungimu, ya.. kamu wanita yang luar biasa…

3 tahun sudah aku menjadi Santri di Tebu Ireng ini. Dan 3 tahun juga lamanya aku semakin dekat dengan Laila. Ada banyak sekali perubahan di diri aku dan Laila. Darinya, dia sekarang memakai cadar. Semakin membuatku ingin sekali segera meminangnya. Semakin membuatku takut kalau dia dimiliki orang lain.

Perubahanku, insyaallah aku bisa membimbing calon istriku kelak dengan ilmu yang aku miliki sekarang ini.
Dan aku sekarang fokus untuk memikirkan hal itu. Hal bagaimana caranya aku bisa segera menjadi pembimbing rumah tangga antara aku dengan Laila.
Aku mulai membayang-bayangkan hal yang belum pasti itu terjadi. Aku juga selalu merencanakan khayalan-khayalan konyol kelak jika aku benar-benar bisa memiliki Laila.

Ternyata Allah itu benar-benar tidak tidur. Ia memperhatikanku. Aku baru tahu, kalau ternyata Allah itu tidak suka dengan hamba-Nya yang selalu menghitung-hitung sesuatu yang belum pasti.

Kenapa kubilang seperti itu?

Iya, seminggu setelah aku berhasil hidup dengan khayalan-khayalan itu, Orangtuaku mengajakku pindah dari Jakarta ke Jogja, alasan karena papah-ku memang dipindah tugaskan di sana.
Dan itu mau nggak mau aku memang tetap harus ikut, kan?

Ya Allah.. maafkan aku..

Aku ingin sekali menjerit saat itu. Kenapa saat semua sudah sedekat ini justru Engkau malah menjauhkan kami? Apa ini memang ujian dariMu yang harus aku lalui? Tapi apa salahku?

Ya tuhan..

Saat itu juga aku mulai takut. Aku takut kalau suatu saat aku nggak bisa lagi bertemu dengan Laila. Aku takut kalau saat aku balik ke Jakarta nanti, dia sudah menjadi istri dari ikhwan lain. Aku takut sekali kehilangan dia. Aku takut kalau dia bakalan lupain aku karena saking lamanya aku di Jogja.

Iya. Aku bakal netap lama di Jogja. Orangtuaku menyuruhku lanjut kuliah di salah satu universitas islam di Jogja. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa nurut apa mau mereka. Meski ini bukan mauku, tapi nggak salah, kan, kalau aku mengikuti apa saran orangtua?

Sepanjang malam aku terus memikirkan masalah itu.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Laila. Aku bilang minta maaf juga pamitan sama dia. Aku juga menyuruhnya melupakan aku. Menyuruhnya untuk segera membuka hatinya untuk orang lain. Aku nggak bilang apa alasanku menyuruhnya seperti itu. Karena setelah itu, aku langsung mematikan teleponku. Aku takut kalau dia sampai nangis. dan aku nggak mau mendengarkan itu.

Entah benar atau tidak keputusanku ini, tapi yang pasti aku punya alasan kenapa aku melakukan ini. Aku nggak mau kalau dia nunggu hal yang belum pasti. Aku kasihan, kalau dia terus-terusan menungguku sedangkan orangtuanya sudah menyuruhnya mencari pendamping agar segera bisa memomong cucu. Aku bisa apa sekarang?

4 bulan pertama di Jogja. Artinya sudah 4 bulan juga aku nggak ngabarin Laila. Dia terus menanyakan kabarku, tapi dua bulan terakhir ini dia sama menghilangnya denganku.
Entahlah, tiba-tiba ada rindu yang menerpa wajahku saat aku sedang tertidur di kamar. Aku sesaat terbangun dan teringat wajahnya. Tanpa kuminta. Tanpa kusengaja.

Saat itu aku langsung melamun dan kembali mengingat masa-masa itu.
Saking nggak bisa nahan, aku memutuskan untuk menghubunginya via telepon saat itu juga.
Alhamdulillah langsung diangkat sama dia.
Dan senang sekali aku rasanya. Aku masih mendengar suaranya yang renyah. Tawanya yang anggun. Tutur katanya yang lembut. Ah, aku senang sekali pokoknya.

Tapi, dia memang pandai membawa hatiku kemana ia suka. Dia pandai menjunjungku juga menjatuhkanku kapanpun dia mau. Dia bilang di ujung teleponku, dia minggu depan akan menikah dengan lelaki pilihan orangtua dia.

Apa ini jawaban kenapa tiba-tiba aku merindukannya? Atau ini pelajaran agar aku tidak lagi mengulur-ngulur waktu saat jodoh yang baik itu sudah Allah tunjukan? Tapi bukankan jodoh itu nggak selalu yang ada di dekat kita?

Astaghfirullah, ya Rabb…
Kuatkan hatiku..

Bagaimana bisa aku melupakannya sekarang?
Bagaimana bisa aku fokus dengan kuliahku sekarang?
Apa bisa aku bertemu lagi dengan wanita seperti dia?
Apa ada wanita seperti dia?
Tuhan… ini apa? kenapa seperti ini rasanya?

Malam sebelum paginya dia melakukan ijab qabul, dia nelpon aku. Sebenarnya aku nggak mau mengangkatnya, tapi entahlah. Aku malah cepat sekali mengangkat telepon darinya itu.

Aku bingung, karena yang kudengar di telepon itu hanya isak tangisnya saja. Dan itu sakit sekali. Ulu hatiku serasa ada yang menusuk saat aku mendengarnya menangis seperti ini. Aku terus menerus bertanya kenapa? ada apa? kenapa menangis? siapa yang nyakitin kamu? kamu diapain? tapi dia tetap terus terisak dalam tangisnya.

Sampai subuh telepon kami baru selesai. Kami saling jujur satu sama lain. Saling mengungkapan isi dan alasan masing – masing. Aku juga jujur kenapa waktu itu aku bilang sama dia untuk memintanya lupain aku. Dan dia juga jujur apa alasan dia menikah dengan laki-laki itu.

Tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Sudah nggak mungkin kuubah menjadi nasi lagi.
Aku harus bisa ikhlas. Aku harus bisa menerima dan mendoakan yang baik untuk dia juga keluarga barunya. Meskipun aku dulu udah pernah mencoba melupakannya berkali-kali dan itu gagal, semoga dengan kejadian ini, aku bisa benar-benar ikhlasin dia dari hati.

Aku nggak yakin hidupku ke depannya akan baik-baik saja. Aku nggak yakin kalau hidupku akan berjalan seperti sediakala.

Dulu, aku pikir menyuruhmu melupakanku untuk membuka hati selain untukku itu sudah tepat. Kamu dengan yang lain, yang dekat denganmu. Dan aku dengan hati baru yang juga mendekatiku. Aku pikir kamu akan bahagia dan melupakan aku. Aku pikir aku juga akan bahagia dan merelakanmu.
Tapi aku keliru. Melupakanmu itu ternyata bukan dengan seperti itu.
Bahkan nggak ada cara. Nggak akan ada cara mudah untuk lupa denganmu.

Aku..
Aku akan tetap mendoakanmu. Menddoakan agar kamu bahagia dengan pilhanmu. Meskipun aku tahu keputusan itu menyakitkan, tapi ini sudah takdir dan pilihan..

Bissmillah.. Aku pasti bisa melepasmu..

Selamat menempuh hidup baru buatmu.
Allah selalu melindungimu…

Cerpen Karangan: Anna Safitri