25 Januari 2009

Bagai Kepingan-kepingan Kaca

Bagai Kepingan-kepingan Kaca

Adikku menikah, ya…. Menikah dengan seorang perjaka. Sungguh sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh seorang janda untuk dapat mengubah status menjadi istri dari seorang laki-laki. Karena berarti ada seseorang yang memberikan bahunya untuk disandarkan. Menghapus air matanya dikala dihinggapi penderitaan. Mungkin kata yang lebih tepatnya adalah untuk bisa berbagi, baik suka maupun duka, kala senang ataupun susah.

Apalagi bila seseorang itu adalah masih perjaka. Mungkin saja adikku takut bila mendapat seorang duda. Takut apabila ternyata di kemudian hari mantan istrinya ternyata masih mencintainya, dan cintapun tumbuh bersemi kembali. Takut mambawa anak-anak, takut akan sebutan ibu tiri yang jahat.

Ah, angan-anganku terlalu membabi buta. Apakah ini karena rasa iriku kepada adikku ? Aku masih menjanda. Kalau saja kala itu emosiku dapat kutahan, mungkin saat ini aku masih bersamanya. Kesabaranku saat itu menyisakan ruang yang sangat sedikit di dalam adrinalinku saat itu. Aku pergi meninggalkan rumah, karena sudah tak kuat hidup bersamanya. Namun kini, Kenangan-kenangan manis bersamanya masih melekat erat di sanubariku yang tak akan pernah bisa aku lupakan.

Kucoba nikmati hidup ini seperti air yang mengalir. Membiarkan kemana saja kakiku melangkah. Dan ketika adikku menikah, jantungku berdebar begitu hebat. Apakah kan kucari pendamping itu sebagi penggantinya ?

Rasanya aku trauma untuk menikah lagi. Kadang pernikahan terlihat indah kala pertama mereguh kasih di peraduan. Namun, apakah pernikahan hanya sebatas pelepasan gelora asmara belaka ? Bukankah disana banyak hal yang harus dilakukan di antara dua jenis manusia yang berbeda.

Haruskah cinta adalah sebuah pengorbanan ? Bagaimana bila ternyata yang berkorban hanya di satu pihak ? Aku sudah berusaha semampuku untuk selalu berkorban demi suamiku. Tapi mengapa suamiku tak pernah mengimbanginya untukku.

Haruskah cinta berarti penderitaan ? kata orang, jika tidak, itu berarti memanfaatkan. Bukankah hidup itu penuh warna. Semua orang berhak untuk bahagia.

Mungkin cinta bagiku akan meninggalkan hati bagai kepingan-kepingan kaca. Seharusnya pikirkan bahwa akan ada sesorang yang akan bersedia untuk menambal luka dengan mengumpulkan kembali pecahan-pecahan kaca itu.