Pages

Pernikahan Yang Kamu Ragukan

Pernikahan Yang Kamu Ragukan
Aditya menatap Aisyah dengan penuh kasih sayang. Dia sudah bersamanya selama tiga tahun, dan dia yakin bahwa Aisyah adalah jodohnya. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama gadis itu, tapi ada satu hal yang menghalangi: Aisyah masih meragukan cinta Aditya. "Adit, kita harus bicara," kata Aisyah suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman. "Ada apa, Sayang?" tanya Aditya, memegang tangan Aisyah. "Aku... aku ingin menikah, Adit. Aku tidak mau terus-terusan pacaran tanpa kepastian. Aku ingin kita serius, Adit. Aku ingin kita berkomitmen," ujar Aisyah dengan nada memohon. Aditya menghela napas. Dia sudah mendengar permintaan ini berkali-kali dari Aisyah, tapi dia selalu menolak. Bukan karena dia tidak mencintai Aisyah, tapi karena dia masih merasa belum siap. Dia masih ingin mengejar karirnya, menabung uang, dan menyiapkan masa depan yang lebih baik untuk mereka berdua. Dia tidak mau menikah dengan terburu-buru, tanpa persiapan yang matang. "Tapi, Sayang, kita masih muda. Kita masih punya banyak waktu. Kita masih bisa menikmati masa pacaran kita. Kita masih bisa saling mengenal lebih dalam. Kita masih bisa mengejar impian kita. Kita tidak perlu tergesa-gesa menikah, Sayang. Percayalah, aku mencintaimu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," kata Aditya, mencoba meyakinkan Aisyah. Aisyah menggeleng. Dia tidak bisa menerima alasan Aditya. Baginya, menikah adalah bukti cinta yang sebenarnya. Dia tidak mau hanya menjadi pacar Aditya selamanya, tanpa status yang jelas. Dia tidak mau hanya menjadi teman kencan Aditya, tanpa ikatan yang kuat. Dia tidak mau hanya menjadi pelengkap hidup Aditya, tanpa hak yang sama. "Adit, aku tidak bisa percaya. Aku tidak bisa percaya bahwa kamu benar-benar mencintaiku. Kalau kamu mencintaiku, kamu pasti mau menikah denganku. Kamu pasti mau memberikan kepastian untukku. Kamu pasti mau memberikan komitmen untukku. Kamu pasti mau memberikan cincin untukku," kata Aisyah, menatap Aditya dengan mata berkaca-kaca. Aditya merasa tersayat. Dia tidak tega melihat Aisyah menangis. Dia mencintai Aisyah, dan dia tidak ingin menyakiti hatinya. Tapi, dia juga tidak bisa memaksakan diri untuk menikah, jika dia merasa belum siap. Dia bingung, dia tidak tahu harus bagaimana. "Sayang, aku mohon, jangan menangis. Aku mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak bisa melihatmu bersama orang lain. Aku hanya ingin kamu bahagia, Sayang. Aku hanya ingin kamu senang, Sayang. Aku hanya ingin kamu tersenyum, Sayang," kata Aditya, memeluk Aisyah erat-erat. Aisyah menangis di pelukan Aditya. Dia merasakan cinta Aditya, tapi dia juga merasakan keraguan Aditya. Dia bimbang, dia tidak tahu harus bagaimana. "Adit, aku mencintaimu, Adit. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak bisa melihatmu bersama orang lain. Tapi, aku juga ingin kamu mencintai aku, Adit. Aku juga ingin kamu menghargai aku, Adit. Aku juga ingin kamu mengikat aku, Adit," kata Aisyah, menatap Aditya dengan mata nanar. Aditya dan Aisyah saling berpandangan. Mereka saling mencintai, tapi mereka juga saling meragukan. Mereka saling membutuhkan, tapi mereka juga saling menyakiti. Mereka saling berpegangan, tapi mereka juga saling melepaskan.
Aditya merasa bersalah. Dia sudah membuat Aisyah menangis, karena dia tidak mau menikah secepatnya. Dia tahu bahwa Aisyah mencintainya, tapi dia juga tahu bahwa Aisyah meragukan cintanya. Dia ingin membuktikan bahwa dia serius dengan Aisyah, bahwa dia tidak main-main dengan Aisyah, bahwa dia akan menikah dengan Aisyah.

"Adit, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menekanmu. Aku hanya ingin kita bahagia, Adit. Aku hanya ingin kita segera menikah, Adit. Aku hanya ingin kita menjadi suami istri, Adit," kata Aisyah, ketika mereka bertemu lagi setelah beberapa hari tidak berkomunikasi.

"Sayang, aku juga minta maaf. Aku tidak bermaksud mengecewakanmu. Aku juga ingin kita bahagia, Sayang. Aku juga ingin kita segera menikah, Sayang. Aku juga ingin kita menjadi suami istri, Sayang," kata Aditya, memeluk Aisyah.

"Benarkah, Adit? Kamu benar-benar ingin menikah denganku? Kamu benar-benar siap untuk menikah denganku?" tanya Aisyah, menatap Aditya dengan harap.

"Benar, Sayang. Aku benar-benar ingin menikah denganmu. Aku benar-benar siap untuk menikah denganmu. Aku sudah mempersiapkan segalanya, Sayang. Aku sudah membeli cincin, Sayang. Aku sudah memesan gedung, Sayang. Aku sudah mengundang keluarga dan teman-teman, Sayang. Aku sudah menentukan tanggal, Sayang. Aku akan menikah denganmu, Sayang. Aku akan menikah denganmu sebulan lagi, Sayang," kata Aditya, mengeluarkan cincin dari sakunya.

Aisyah terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Aditya sudah mempersiapkan semuanya. Dia tidak menyangka bahwa Aditya sudah siap untuk menikah. Dia tidak menyangka bahwa Aditya akan menikah dengannya sebulan lagi.

"Adit, ini... ini sungguh, Adit? Kamu tidak bercanda, Adit? Kamu tidak bohong, Adit?" tanya Aisyah, tidak percaya.

"Sayang, ini sungguh, Sayang. Aku tidak bercanda, Sayang. Aku tidak bohong, Sayang. Aku mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Sayang. Aku tidak bisa kehilanganmu, Sayang. Aku tidak bisa melihatmu bersama orang lain, Sayang. Aku hanya ingin kamu bahagia, Sayang. Aku hanya ingin kamu senang, Sayang. Aku hanya ingin kamu tersenyum, Sayang," kata Aditya, memasangkan cincin di jari Aisyah.

Aisyah menangis. Dia menangis karena bahagia. Dia menangis karena senang. Dia menangis karena tersenyum. Dia merasakan cinta Aditya, dan dia juga merasakan keseriusan Aditya. Dia yakin bahwa Aditya mencintainya, dan dia juga yakin bahwa Aditya akan menikah dengannya.

"Adit, aku mencintaimu, Adit. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Adit. Aku tidak bisa kehilanganmu, Adit. Aku tidak bisa melihatmu bersama orang lain, Adit. Aku juga ingin kamu bahagia, Adit. Aku juga ingin kamu senang, Adit. Aku juga ingin kamu tersenyum, Adit," kata Aisyah, memeluk Aditya erat-erat.

Aditya dan Aisyah saling berpelukan. Mereka saling mencintai, dan mereka juga saling membuktikan. Mereka saling membutuhkan, dan mereka juga salang mengikat. Mereka saling berpegangan, dan mereka juga saling menjanjikan.

Akhirnya, mereka bisa menemukan jalan keluar dari dilema cinta mereka. Akhirnya, mereka bisa menyelesaikan masalah mereka. Akhirnya, mereka bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. 
salam,