Pages

Sebuah Cinta Semu

Jam tiga dini hari aku dikejutkan oleh sebuah SMS misterius."Jangan rebut Riza ya ! Riza itu pacar aku, ngerti !" "Dari siapa sich ini ? Ganggu orang lagi tidur aja !" aku merasa kesal dengan datangnya SMS ini, kenapa tidak siang-siang aja dia mengirim SMS ini.

Lagi pula, jarang sekali kami berbicara mengingat dia beda kelas denganku. Dan di sekolah, aku sama sekali belum tertarik untuk merajut sebuah hubungan kasih dengan seseorang. Aku melanjutkan tidurku tanpa membalas kembali SMS itu, mungkin salah kirim SMS, pikirku.




Di sekolah, saat istirahat, tiba-tiba Riza memanggilku. "Syila, mau ga' kamu nolongin aku, please ....!" sorot matanya seperti sangat mengiba padaku. "Ada apa sih ? koq tiba-tiba kamu minta tolong ? Emangnya aku bisa nolong apa ke kamu ?" Aku mencoba memberinya semangat.
"Gini lho,... Si Naya tau-tau nembak aku. Dia pengen banget aku jadi pacarnya" Riza mencoba menjelaskan."Ya udah, jadian aja !" pembicaraannya aku potong."Yee,... aku ga' mau. Aku bilang sama Naya, kalo aku udah lama jadian ama kamu, La"
"Hah ? ama aku ?"
"Iya, Syila.... Makanya tolong bantu aku. Kita pura-pura pacaran ya, Please." Lagi-lagi Riza benar-benar mengiba sambil mencium tanganku yaknya seseorang yang hendak mengiba sang pujaan hati."
"Yee,... gimana ya ? Hm,...........Iya deh. Aku coba." tanpa pikir panjang lagi aku menyetujui permintaannya.Riza tersenyum lebar, ia sepertinya sangat senang dengan jawabanku.

Malam harinya, aku jadi sulit tidur. Berulang kali pikiranku terbang pada beberapa pertanyaan yang tak mampu kujawab, "Apakah mungkin SMS kemarin itu dari Naya ? Aku jadi aktor memerankan segmen cinta dengan Riza". Kupandangi langit yang penuh bertaburan bintang. Bintang-bintang yang bersinar itu seolah mencoba menghibur diriku. Ku putar sebuah lagu sendu, mungkin dengan begini aku akan menjadi aktor terbaik. Akupun akhirnya tertidur.

Riza adalah anak yang periang. Buktinya aku begitu mudah sekali beradaptasi dengannya. Setiap jam istirahat, Riza selalu menghampiri aku yang sedang makan di kantin sekolah bersama teman-temanku lainnya. Setelah nampak kedekatanku ini, beberapa temanku memang ada yang bertanya mengenai pertemanan antara aku dan Riza. Jawabanku selalu "Ia cuma teman biasa saja, ga' lebih." Sandiwara ini tak boleh tercium oleh teman-temanku, pikirku dalam hati.

Menurut Riza, kami harus nampak benar-benar seperti sepasang kekasih. Oleh karenanya, Setiap Sabtu Sore ada saja waktu yang kami habiskan bersama. Entah itu makan di Mac D, atau sekedar minum di es Teller 77. Terkadang, kami malah mengunjungi Gramedia berjam-jam hanya untuk membaca beberapa buku. Kadang kala kami juga nonton di bioskop 21. Aku hanya mencoba menikmati ajakannya saja. Anehnya Riza sering menggandeng tanganku, seolah-olah ia memang kekasihku. Aku yang merasa oke-oke aja, toh dia masih di bawah batas nilai - nilai kesopanan dan dia hanya kuanggap sebatas temanku saja.

Baru saja sandiwara kami berjalan dua minggu, tiba-tiba Naya mendatangiku di kelas saat jam istirahat hampir usai. "Kamu tuh emang ga' tau diri ya ? Tolong jauhi Riza !" Naya kelihatan marah dengan nada yang sangat keras sampai suaranya terdengar hingga seisi ruangan kelas dan sorot mata yang tajam seperti hendak menerkam mangsanya, ia nampak sangat marah kepadaku. Emosinya begitu meluap sampai-sampai aku tak diberi peluang untuk berucap sepatah katapun. Untungnya, teman-temanku melerai kami. Teman-temanlah yang mencoba menjelaskan kalau tak ada hubungan spesialpun antara aku dan Riza. Nayapun akhirnya pergi mungkin merasa puas dengan kata-kata teman-temanku.

Malam harinya, masih terngiang di kepalaku kata-kata Naya dengan sorot matanya yang tajam. Kata-katanya begitu menyakitkan hati ku. Apakah lebih baik kuakhiri saja sandiwara ini ? Bukankah teror ini mungkin akan berhenti. Tapi hati kecilku mengingkarinya. Aku mulai jatuh cinta pada Riza. Teramat banyak yang ia beri padaku. Perhatiannya yang tulus, melelehkan hatiku. Setiap kata-katanya begitu berarti bagiku. Tapi, haruskah kupendam rasa ini ? Mungkin waktu yang akan bisa menjawabnya. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah SMS yang datang dari Riza, "Maafkan aku ya sayang, aku ga' bantu kamu saat istirahat tadi.
"Ga' papa", cuma kata-kata itu yang bisa aku balas. Mungkin karena pikiranku terlalu lelah, akhirnya aku tertidur juga malam itu.

Sabtunya, Lagi-lagi Riza mengajakku ke bioskop 21. Katanya ada film Indonesia yang baru saja launching perdana dan mendapat sambutan heboh dari penggemarnya. Riza mengajakku berbicara, kali ini ia nampak serius. Ia katakan kalau dirinya benar-benar jatuh cinta padaku. Ia akan sangat menyesal sekali bila cintanya bertepuk sebelah tangan. Aku hanya terdiam tanpa berani memandangi wajah Riza yang tampan. Tapi Riza ingin sekali mendengar kata-kataku, wajahku yang tertunduk dengan perlahan diangkat oleh tangannya yang dingin. Hanya senyuman yang ada padaku. Mungkin Riza memberiku waktu untuk menjawabnya. Buktinya ia langsung menggandeng aku untuk menuju masuk ke bioskop itu.

Meski tak pernah ada jawaban dari ku, hingga saat ini kami masih jalan bersama. Rasanya lidahku terasa kelu untuk mengakui kalau aku juga mencintai Riza. Mungkin Naya tidak mengenal kata putus asa, nyatanya hingga kini Naya tetap sering meneror aku. Tapi karena terlampau sering meneror aku, aku jadi terbiasa dan tak ada perasaan takut lagi kepadanya. Ku ikuti alur hidup ini bagai air yang mengalir yang tak bisa berhenti dan mengikuti apa yang mampu dilewatinya. Lucu juga bila kuingat cinta kami berawal dari sebuah cinta yang semu.