"Pokoknya kalo Maulana sekolahnya di sini, Maulana ga' mau sekolah. Maulana ingin tinggal dengan Eyang ya Yah." ancam anakku bernada kesal padaku.
Ya,... anakku tiba-tiba saja meminta tinggal dan bersekolah di tempat Eyangnya di Jogja. Alasannya adalah karena kualitas nya jauh lebih baik ketimbang di sini yang masih sangat - sangat terbatas. Kami tinggal di daerah dimana masih sangat serba minim fasilitas. Untuk menuju ke kota, cukup dengan 2 jam dengan mengendarai sepeda motor.
Sejak lahir hingga usia 2 tahun, Maulana memang tinggal terpisah dari ku, hidup bersama orang tuanya di Jogja. Eyangnya sangat memberikan kasih sayang yang berlebihan, mengingat Maulana adalah cucu pertamanya saat itu. Hingga kasih sayangnya membekas hingga kini dalam sanubari anakku. Lepas usia 2 tahun, Maulana beserta istriku berkumpul kembali bersama denganku.
Saat-saat bersama keluargaku begitu indah terasa. Damai dan sejuk hari-hariku, seirama dengan tempat tinggalku yang berdekatan dengan sebuah hutan yang belum dijamah oleh manusia sedikitpun. Bila Sabtu dan minggu tiba, tampak maulana bergembira sekali, sebab kami terbiasa jalan-jalan, entah itu untuk berbelanja ke mall di kota, atau sekedar makan di rumah makan tidak beberapa jauh dari rumah.
Hingga di usianya yang kini menjelang 4 tahun, tiba-tiba saja aku harus berpisah kembali. Bagaimana mungkin aku harus menjalani kesendirianku yang pernah kujalani 2 tahun yang lalu ? Baru saja aku mereguk indahnya kebersamaan tuk memadu kasih, manisnya bercanda ria dengan cinta sejatiku semua harus kusimpan lagi kenangan-kenangan itu.
Istriku tidak mampu berbuat apa-apa. Ia juga menginginkan hal ini terjadi. Alasannya cuma dua kata " Demi anak ". Dua kata yang menusuk hatiku. Meski kehidupan rumah tangga kami terbilang adem ayem, tak pernah ada sedikitpun pertengkaran di antara kami, namun aku masih tidak mampu bergeming untuk berpisah dengan keluargaku yang teramat aku cintai.
Tapi, akhirnya aku harus mengantarkan keluargaku ke tempat Eyang, mertuaku. Malam sebelum aku kembali ke rumah tinggalku, ku tatapi dua sosok manusia yang amat kusayangi, Istriku dan Maulanaku. Hingga tak sadar bulir-bulir air mataku jatuh membasahi lengan istriku. Istriku jadi terbangun karenanya. ia menciumku berkali-kali dengan penuh mesra, setengah berbisik, "Yah, jangan lama-lama di sana ya, kasihan Maulana ditinggal Ayahnya ". Tangisku semakin menjadi-jadi seolah aku tak ikhlas mereka berdua jauh dariku.
Pagi yang disertai awan kelabu, mengiringi keberangkatanku kembali ke rumah tinggalku. Di bandara, kucoba menahan air mata yang seakan-akan ingin berjatuhan tiada terkira. Kupeluk satu persatu kesayanganku itu.
"Maulana, jadi anak yang baik dan pintar Yah. jangan kecewakan Ayah" pintaku sambil memeluk dan mencium pipi Maulana yang gembil.
"Iya Ayah " Maulana tersenyum tanda setuju.
"Ayah, jangan nakal ya di sana " istriku berbisik padaku sambil berpelukan denganku.
Aku hanya tersenyum dan sedikit mengangguk.
Sesampainya di tempat tinggalku ini, aku menelpon istriku, mengabari mereka bahwa aku telah sampai dengan selamat. Hari-hariku kini dipenuhi dengan kesendirian. Kadang tuk berperang melawan sepi, aku berkunjung ke rumah kawan. Mungkin dengan menjadi tim pebulu tangkis di kantorku mampu menepis kerinduan ini.