Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ? Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa

Cinta di Ujung Jari

Aku mengenal Doddy berawal melalui sebuah situs perkenalan Facebook, sebuah situs perkenalan di dunia maya yang sedang booming..

Sebuah Cinta Semu

Jam tiga dini hari aku dikejutkan oleh sebuah SMS misterius."Jangan rebut Riza ya ! Riza itu pacar aku, ngerti !"

Bimbang tiada bertepi

Sudah enam bulan ini ada janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Selama itu pula kuselami penyesalan yang tiada pernah berakhir.

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

"Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku

15 Agustus 2009

Gila Facebook

Siapa yang tidak tau akan Facebook ? Facebook rupanya sedang booming di jagad ini. Bagaimana tidak, bila kita menemui seorang teman lama atau mendapat kenalan baru, mereka tak pernah lupa menanyakan kepada kita "punya account facebook ga' ?". Kadang juga aku pernah menjumpai seseorang yang belum punya account facebook, hingga tiba-tiba aku meledeknya, "Hari gini.... ga' punya facebook ?" Jadilah kita pada akhirnya seperti terseret untuk mempunyai sebuah account di facebook.

14 Agustus 2009

Sesosok Lelaki Sempurna

Entahlah, kami belum mengetahui mengapa si Bandi, tetangga kami betah dengan tanpa memiliki status pekerjaan apapun. Sebelumnya telah bertahun-tahun lamanya si Bandi ini menjadi pengangguran, mungkin faktor usia yang sudah tidak bisa lagi mengajukan lamaran pekerjaan, mengingat usianya telah di atas angka empat puluhan.
Dahulu ia bekerja sebagai seorang Satpam atau petugas keamanan di sebuah pabrik dekat rumahnya. Namun karena pabriknya terkena dampak krisis global, diapun bersama ratusan karyawan lainnya di PHK. Kira-kira dua tahun yang lalu istrinya sudah tidak bekerja lagi di suatu pabrik sebagai buruh biasa. Jadilah keduanya hidup tanpa ada penghasilan apapun.

Setahun pasca tidak bekerjanya sang istri, uang pesangon yang pernah didapat nyatanya habis. Aku tahu, jika sang istri merasa berat menghadapi hidup ini, tubuhnya kini kurus tak seperti dulu lagi sangat jauh sekali berbeda pada waktu ia dulu masih bekerja. Aku sampai salut kepada sang istri itu. 


29 Juli 2009

Seharusnya Aku Tau

Kumpulan CerpenKumpulan Cerpen Siti Arofah . Suamiku menikah lagi ! Kejadian ini benar-benar membuat aku sangat terpukul. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku. Aku begitu sangat mencintainya ! Aku tak rela bila cinta suamiku harus terbagi dengan wanita lain. Aku tak kuasa menghadapi ini semua, hingga beberapa hari setelah kuketahui suamiku menikah lagi, aku sering terjatuh pingsan. Suamiku tak pernah tau akan keadaanku ini mengingat ia tak sering lagi berada di rumah.Dengan awal kekuatan cinta kami, seharusnya suamiku tak setega itu padaku.



Aku yang kala itu diperebutkan oleh beberapa teman laki-laki, hanya suamikulah yang aku pilih. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, aku memilihnya karena ia adalah laki-laki yang tangguh, yang mau menyekolahkan adik-adiknya hingga ke jenjang yang tinggi. Kata-katanya yang lembut seolah menyakinkan aku bahwa dialah yang pantas menjadi ayah dari anak-anakku. Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya, sebab kedua orang tuanya tinggal bersama kami sampai akhir hayatnya. Pun dengan keluargaku, dia tak pernah pilih kasih, kasih sayangnya ia ulurkan dalam berbagai bentuk, entah dalam bentuk materi atau sikap perhatiannya.Seandainya aku tau akan gurauannya waktu itu, mungkin akan aku jawab dengan tegas kalau aku benar-benar menentangnya. Manusiawi bila hampir semua wanita pasti tak ingin diduakan. "Dinda, kalau abang menikah lagi bagaimana ? " kata-katanya disertai dengan sorot matanya yang tampak seperti menyandai diriku. Mesti sejujurnya aku tak rela bila suamiku menikah lagi, tanpa banyak pikir kukatakan "Ya .....menikah aja sana, asal Abang ingat aku dan anak-anak !" . Mendengar jawaban itu, suamiku mencubit pipiku tanpa kata-kata. Di kamar pembaringan dengan sebuah lampu kecil, kami seperti biasa tertawa seolah seperti pengantin baru.

Belakangan ini memang suamiku sering beberapa hari tak pulang ke rumah. Kadang tiga hari atau bahkan seminggu ia tak berada di rumah. Kupikir ia sibuk dengan mengelola bisnis barunya yang sedang digelutinya. Aku sama sekali tak merasakan keanehan itu. Toh nyatanya bila ia datang ke rumah ia masih menafkahi bathinku. Masalah keuangan juga sepertinya no problem bagiku, tak pernah kurang dari yang diberikannya untukku. Pun kepada anak-anak kami, nyaris tak berbeda sekali, seakan ia adalah aktor terbaik di balik kejadian itu. Kabar ini awalnya kudengar dari sahabatku sendiri.

Mulanya aku tak mempercayainya. "Apa suamiku setega itu mau berbagi cinta dengan yang lain selain diriku ?" kata-kata ini yang membuat aku tak percaya akan berita ini. Sahabatku hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali karena aku sama sekali tak menggubris kata-katanya. Belum lagi ada tiga orang anak hasil cinta kami berdua yang masih harus butuh perhatian dari ayahnya. Rendahnya kesetiaan suamiku sama sekali tak terlintas dalam benakku.

Hari-hari awal setelah kuketahui suamiku menikah lagi, sikapku terasa hambar untuknya. Jangankan kepada suamiku, untuk diriku sediri saja aku sampai tak mau makan. Dunia seakan berhenti, tulang-tulangku serasa melunak, membuat aku merasa tak mampu untuk meneruskan hidup. Aku bahkan nyaris tak mau bercinta dengannya lagi. Aku merasa jijik, sebab ada bekas wanita lain yang telah merebut hati suamiku. Tapi mungkin karena aku telah pernah merasakan kenikmatan itu, akhirnya aku luluh juga dipelukannya.

Itupun kulakukan dengan rentan waktu yang cukup begitu lama. Bila suamiku sedang tak ada di rumah, kerinduan ini begitu dalam, merobek setiap pembuluh darah hingga ke jantungku. Aku dilanda oleh perasaan hampa, seperti wanita kesepian yang haus akan kasih sayang suaminya. Hanya air mata yang dengan setia menemani malam-malam kesendirianku. Tangisku sering tak dapat kubendung, saat aku teringat bagaimana suamiku bercinta dengan istri keduanya itu. "Kenapa Abang tega ?" berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri. Aku benar-benar dilanda oleh perasaan cemburu yang teramat sangat. Bila aku telah bosan menangis, Kutumpahkan semuanya dalam doa kepada Sang Illahi, "Tuhan, ...... tolong kuatkan aku !"Sahabatkulah yang selalu memberikan dorongan dan semangat hidup untukku. Ia tak pernah absen untuk mengetahui keadaanku. Beginilah gunanya memiliki sahabat, tertawa bersama dikala senang, dan mau peduli di saat sahabatnya susah. Akhirnya aku mencoba kesibukan baru, berjualan nasi uduk di depan rumahku. Karena di rumahku belum ada kedai nasi uduk, Cukup lumayan juga para pengunjung yang datang di hari pertama saat aku membuka kedaiku ini. Kesibukan baruku ini rasanya mampu melupakan sejenak akan kesedihanku.

Aku tak tau apa yang akan terjadi esok, andai saja suamiku jujur mengatakan pernikahannya itu padaku. Sampai saat ini suamiku masih menyimpan sandiwaranya itu. Apakah aku akan meninggalkannya ? Atau aku akan memilih untuk masih bersamanya meski mungkin dengan bulir-bulir air mata.

23 Juli 2009

Anakku, Kamu Terpaksa Ibu Bawa

kumpulan cerpen
Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. "Anakku, Maafkan Ibu Nak ! Kamu terpaksa ibu bawa, demi untuk sesuap nasi." Ibumu hanya mampu sebagai pengamen bus kota. Mengais rizki dari belas kasih para penumpang bus. Sebab bila anakku dititipkan tentunya akan menambah biaya bagi kami. Sering kamu menangis karena tak kuat menahan terik matahari yang begitu panas. Air mataku sering jatuh berderai di pipi anakku seraya tak kuasa menahan iba untuk dirimu yang selalu dalam gendonganku. Di usia anakku yang 8 bulan, rasanya sangat kasihan sekali bila ia harus selalu ikut denganku, mengingat di usianya seharusnya asyik bermain kesana kemari, berexplorasi dalam masa pertumbuhannya, entah itu ingin berusaha bisa berdiri atau berguling-guling kesana kemari dengan tawa yang menggemaskan. Namun sejatinya kamu menangis meronta-ronta dalam gendongan ibu. "Ibu tahu kamu protes, anakku. Tapi harus bagaimana lagi ?" pertanyaan ini tak pernah mampu kujawab.

Bila hari sedang panas, kami kepanasan, seolah-olah teriknya matahari melelehkan isi kepala kami. Debu yang menempel pada tubuh kami menjadi saksi seberapa gigihnya kami menjalani hidup ini. Pun, saat hari sedang hujan, kami menggigil kedinginan di sebuah halte tempat pemberhentian bus menatapi para penumpang mobil pribadi yang dengan nyaman duduk di kursi yang empuk. Bahkan terkadang ada salah satu dari mereka ada yang tertidur. Anakku kuselimuti dengan mantel yang kudapat dari sebuah yayasan yang mengadakan kegiatan amal untuk kaum dhuafa. Aku hanya terbalut baju hangat yang kubeli di toko loak. Sedang suamiku tak pernah memakai baju hangat meski cuaca sedang dingin sekalipun.

Di dalam bus kota, kami seperti bersaing, antara aku dengan para pengamen lainnya. Karena telah banyak terdengar kabar, bahwa kala ini telah banyak bayi-bayi di sewa untuk dibawa sebagai tameng agar para penumpang bus merasa iba melihat sang ibu yang tengah membawa bayi sambil mengamen. Ada lagi seseorang yang berpura-pura cacat fisiknya, padahal ia sehat lahir dan bathin, lagi-lagi supaya para penumpang iba kepadanya. Jadilah para penumpang merasa malas memberikan koceknya kepada kaum seperti kami karena merasa telah dibohongi. Akhirnya kami jualah yang menjadi korban akibat ulah para pembohong itu. Namun, Seberapa besar yang kami terima, aku masih bisa bersyukur dengan senyum yang penuh keikhlasan.

Rasanya sangat sulit untuk meneruskan hidup di kampung halamanku. Untuk itulah aku bersama suamiku pergi merantau ke kota jakarta untuk berjuang mengadu nasib. Toh nyatanya Jakarta kata orang-orang bilang adalah kota yang keras, aku tak gusar mendengarnya. Ada yang sangat kaya, namun juga ada yang sangat miskin, situasi ini sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan kehidupan di desa. kehidupan di kota Jakarta umumnya saling tak peduli akan kondisi satu dengan yang lain.

Kedatanganku tuk kali pertama di kota jakarta ini begitu mengesankan. Dengan bekal 600 ratus Ribu rupiah yang kami bawa dari kampung, kami bisa mengontrak di sebuah rumah petakan yang memiliki gang-gang yang sempit dengan harga sewa per bulan sebesar Dua Ratus Ribu rupiah. Rumah kami berdampingan dengan sebuah apartement berlantai 30. Kami hanya dibatasi oleh dinding setinggi empat meter yang nyaris membuat kami tak sanggup melihat situasi di dalam apartement itu. Kadang, aku hanya mampu menerawang ke apartement itu, tampak sesekali kulihat seorang wanita cantik sedang bersandar di salah satu beranda, atau laki-laki gagah sedang duduk dengan rokok yang sedang dihisapnya.

Karena para tetanggaku banyak yang berprofesi di jalan atau dalam bus-bus kota, akhirnya aku tergoda juga untuk menggelutinya. "Yang penting halal" lirihku. Jadilah aku sebagai pengamen di bus kota, sedang suamiku menjajakan minuman botol di setiap bus kota yang lewat. Pada awalnya aku agak sedikit risih, namun lambat laun aku terbiasa juga. Pun begitu juga dengan suamiku. Kadang, kami bertemu di dalam bus yang sama. Kuusap keringatnya dengan selendang yang sedang kupakai untuk menggendong anakku. Diapun tersenyum dan kembali lagi sibuk menjajakan dagangannya. Meski senyumnya tak segagah dahulu, tapi aku cukup bahagia akan kegigihan suamiku yang mau bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Setiap hari, hasil yang berhasil kami peroleh, tak lupa kusisihkan. Meski sedikit, aku ingin bisa keluar dari lingkaran kehidupan yang begitu getir ini. Sambil kuusap kepala anakku yang sedang terlelap tidur dalam gendonganku, ku panjatkan do'a berkali-kali berharap Sang Illahi mau mengubah nasib kami.

18 Juli 2009

Ke Sekolah Lagi

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Hari ini anakku masuk sekolah lagi di kelas yang baru. Kini ia telah duduk di kelas dua. Mataku sempat meleleh saat mengantarnya. Betapa kini aku merasa umurku kian bertambah. Ada asa yang sempat melayang di angan-anganku, aku ingin bisa menimang cucu dari anak-anakku.

Teringat kembali saat aku berderai air mata tak terbendung ketika acara pelepasan anak-anak kelas 6 di SD anakku. Saat itu, meski tak ada satupun dari mereka itu anakku, namun aku jadi ingat akan zaki, anakku. Entahlah, tak ada yang aku pikirkan, hanya ada air mata yang mengalir begitu saja.

Nilai-nilai raportnya sungguh menggembirakan bagi kami. Padahal kami tak punya target untuknya. Aku merasa kemampuan mereka menyerap pelajaran di sekolah dengan semampu dirinya sendiri. Kami sebagai orang tua hanya berupaya membantunya dalam belajar di rumah saat sore tiba setelah sholat maghrib.

Kini zaki pun telah memiliki kamar sendiri. Sesuai permintaannya, kamarnya kami cat dengan warna hijau cerah. Namun sayangnya, gambar planet tak bisa kami buatkan, kami bingung bagaimana melukisnya. Meja belajrnya yang baru kami belikan adalah hadiah kami karena nilai raportnya telah membanggakan kami. Tasnya pun juga baru. Kusempatkan pula membuat kelambu.

Minggu pertama masuknya anakku sekolah membuat aku juga sibuk. Aku harus menyampul buku tulis dan cetaknya. Disitulah aku dituntut berkreatifitas. Aku membuatkan namanya dengan nama kelasnya serta nama pelajarannya yang aku print untuk dilekatkan di bukunya. "Bagus Ma, makasih ya Ma" kata-katanya yang polos seakan menghapus lelah hasil kerja kerasku.

Karena Zaki masuk SD Islam Terpadu, jam pulangnya adalah jam 2 siang. Itu berarti, aku harus menyiapkan bekal makan siangnya di samping uang jajannya. Pagi yang segar untuk menyiapkan makanan untuk semua orang yang tinggal di rumahku. Kadang, aku didera oleh rasa kantuk yang tiada mau mengalah. Tapi itulah resiko menjadi seorang ibu. Jika seperti ini, aku jadi teringat akan ibuku yang tidak pernah menggunakan pembantu. Manusia super bagiku !

Setiap pagi aku mandikan Zaki, aku tak tega bila ia harus mandi sendiri. takut ada yang tidak bersih. Kusiapkan pakaiannya, sambil memasak kusuapi makannya.

Setelah dua hari aku mengantarnya ke sekolah, zaki ke sekolah sendiri dengan naik mobil antar jemput. "Ma, aku berangkat dulu yaa, assalamu'alaikum " zaki berjalan ke arahku sambil bersalaman. "Di sekolah jangan nakal yaa, wa'alaikum salam" jawabku

26 Juni 2009

Sang Nahkoda Sebuah Bahtera Hidup

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah.Pernikahan adalah suatu moment paling membahagiakan bagi siapapun. Meski hanya sekedar mendengar bahwa si A telah menikah, ada seberkas cahaya kebahagiaan dari si pendengar berita itu. Baik yang menikah, dan kerabatnya pun semua turut berbahagia. Yang menikah berharap pasangannya adalah teman yang menemani di sepanjang sisa hidupnya yang mau berbagi kasih, menghibur duka dan menganggap pasangannya adalah tulang rusuknya yang hilang.

Awal pernikahan adalah masa-masa emas kebahagiaan yang tiada berperi. Itulah syurga dunia yang telah Tuhan berikan kepada para hambanya. Mereka berdua saling memadu kasih, bercumbu mesra tanpa ada rasa malu lagi. Keduanya saling menikmati indahnya setiap detik di peraduan serasa berada dalam sebuah istana yang dinaungi sebuah cinta nan suci. Ritual yang tadinya haram, kini telah halal setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri, bahkan adalah ibadah bila diniatkan dengan ikhlas kepada Illahi.

Kata-kata yang diucap bagaikan harumnya bunga-bunga yang tumbuh liar di pegunungan yang sejuk dan damai. Belaian lembut sang kekasih yang dirindukan bagi setiap insan di seluruh jagad ini adalah lukisan bagi sepasang pengantin yang baru menikah. Senyuman-senyuman kecil yang menggetarkan jiwa membuat ingin bersama selalu terbang mengarungi luasnya cakrawala bumi ini. Jika sang suami dirundung duka, istrilah yang bisa menghiburnya. Jika sang suami berbahagia, justru istrilah yang meneteskan air mata kebahagiaan. Mungkin keduanya masih sama-sama malu untuk menunjukkan kekurangannya.

Tidakkah semua ini harusnya terjaga sampai maut memisahkan ? Tidakkah semua ini yang dirindukan bagi hamba-hamba Nya ? Telah banyak kudengar pengalaman dari beberapa teman. Di jaman sekarang ini ada sedikit sekali rumah tangga yang didalamnya tumbuh tanpa adanya pertengkaran. Entah itu pertengkaran kecil, ataupun bisa juga hingga meluas menjadi pertengkaran hebat nan sengit. Pertengkaran yang membawa malapetaka rumah tangga itu, dimana Syetan-Syetan bersorak riang menandai kemenangannya.

Pertengkaran memang bukan jalan terbaik bagi mereka. Terkadang pertengkaran bisa saja melukai phisik sang istri, bahkan berujung maut ! Namun pertengkaran juga banyak yang tanpa melukai phisik atau tanpa kekerasan. Meski pertengkaran tanpa kekerasan tak melukai anggota tubuh, namun siapa yang bisa menambal luka hati yang harus butuh waktu yang cukup lama untuk dapat melupakannya. Terlebih, biasanya sang istrilah yang paling merasa terluka hatinya.

Betapa meruginya sang suami, yang tega mencaci maki istrinya. Apakah tak pernah terpikir, apakah ia dapat mencaci orang lain selain istrinya ? padahal orang lain itu statusnya adalah temannya yang hanya bisa bertemu hanya dalam beberapa masa saja, yang dimasa yang lain ia akan berpisah dan bertemu dengan teman baru lainnya. Sedang istrinya adalah teman hidupnya yang mendampinginya di sepanjang hidupnya. Bila hati sang istri telah terluka, maka luka itu kan dibawa sepanjang hidupnya kelak. Entah sampai kapan ia mampu melupakannya.

Betapa bodohnya sang suami, yang mau berselingkuh dengan seorang wanita, padahal istrinya selalu menjaga kesuciannya. Laki-laki itu tergoda pada seseorang yang memiliki sifat dan karakter yang tidak dimiliki oleh istrinya. Padahal sungguh ia bukan tergoda karena sifat yang tidak dimiliki oleh sang istri, tetapi hawa nafsu-nyalah yang menggoda dirinya untuk berselingkuh. Padahal teramat nyatalah dosa bagi seseorang yang melakukan perselingkuhan tersebut, dirajam sampai mati !

Betapa kejamnya sang suami, yang tega meninggalkan sang istri, pergi menikahi gadis lain setelah ia mendapatkan rizki yang besar dan tiba-tiba. Padahal istrinya dengan setia mau hidup bersamanya meski pendapatan sang suami hanya pas-pasan. Bahkan sang istri rela bekerja keras untuk meringankan beban suaminya. Di saat kepergiannya sang istri hanya menatapnya hampa sambil berurai air mata.

Betapa Ironisnya, sang suami yang telah lama menjadi pengangguran setelah di PHK beberapa tahun lamanya, tiba-tiba secara diam-diam ia menikahi janda muda tetangga karibnya. Padahal sang istri telah ikhlas memilih kerja guna menutupi kebutuhan hidup rumah tangganya. Sang istri hanya bisa menangis kenapa suaminya tega berbuat demikian.

Telah banyak deretan-deretan kisah memilukan dalam sebuah pernikahan. Namun dibalik itu, Tuhan masih memberikan rahmatnya. Ada beberapa rumah tangga yang tak pernah diliputi oleh ketidak cocokan sedikitpun. Mereka mampu menyikapi ketidak samaan diantara mereka dengan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Betapa bahagianya sang istri, bila sang suami tak pernah marah sedikitpun kepadanya. Semua ucapannya tak pernah menyakitinya. Bila ada yang dirasa tidak cocok, mereka saling tersenyum atau memberi isyarat dengan gurauan-gurauan kecil. "Pasanganku adalah seseorang yang Tuhan titipkan padaku, jadi jagalah dia dan jangan sakiti hatinya" begitulah prinsip mereka.

Ada juga yang mengaku kalau sang suami selalu mensupport sang istri untuk selalu berbahagia akan apa yang selalu didapatkannya dalam hidup ini. Pernikahan mereka tumbuh bersemi indah bagai rumput-rumput yang selalu dijaga keindahan dan kebersihannya.

Disinilah arti pentingnya peranan seorang suami dalam me-nahkoda-i bahtera hidup ini. Sebaik-baik laki-laki adalah bagaimana ia memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya.

I Hate Monday

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Minggu yang indah terasa sangat menghimpit waktuku bersama keluarga. Saat - saat itu begitu sangat berharga bagiku. Ku usahakan tiada waktu yang sia-sia bersama mereka. Terkadang kami makan bersama keluarga di rumah makan pemancingan dengan berharap anak-anak menikmati kebersamaan kami. Kadang juga mengunjungi sanak saudara kami atau hanya berdiam diri, asyik bermain bersama, menikmati indahnya menjadi seorang ibu rumah tangga seutuhnya.


Bila anak-anak kami ajak ke pemancingan, mereka tampak antusias sekali. Sebab di sana diberikan sarana bermain anak. Ada ayun-ayunan, jungkat jungkit dan permainan anak lainnya. Udara yang dingin dan segar menyelimuti indahnya hati kami yang merindukan kebersamaan. Sampai-sampai si bungsu enggan diajak pulang.

Sesekali kami mengajak anak-anak ke tempat hiburan, seperti bermain game atau permainan anak-anak dengan memasukkan coin atau kartu layaknya sebuah ATM yang tinggal gesek. Si kakak yang sudah menginjak bangku SD kelas 1 tentunya lebih memilih bermain game balap mobil. Adiknya karena masih balita, ia memilih menaiki kereta mini atau mobil-mobilan atau bebek-bebekan yang bergoyang-goyang di tempatnya.

Mengunjungi Kakek dan Nenek cukup melelahkan. karena Kakek dan Nenek tinggal di daerah lain. Karena kami belum punya mobil pribadi jadilah kami menaiki bus umum. kami lebih memilih yang ber-AC untuk kenyamanan si bungsu, apalagi tarifnya hanya beda tipis dari yang biasa. Sesampainya di sana kami sekeluarga saling berpelukan, melepas rindu yang tiada tara seiring menebus dosa karena tak mampu hidup bersamanya.

Ya,... karena aku adalah seorang ibu dengan titel wanita karier, dimana dari Senin hingga Jum'at aku harus duduk di kursi tempat kerjaku meninggalkan anak-anakku. Sabtunya aku juga masih masuk kerja setengah hari, hingga pulang kerja aku harus beristirahat sejenak melepas lelah setelah memeras otak dan tenaga selama bekerja.

Begitu terlukanya batinku kala harus melambai-lambai tangan sambil mengucap salam ketika hendak berangkat kerja, sampai-sampai si bungsu melambai-lambaikan tangannya hingga aku telah berada di tikungan rumahku. Senyumnya yang manis menyisakan rindu yang teramat dalam untuk bisa bersamanya selalu. Atau ia malah tak berexpresi sama sekali. Tatapannya dingin, seolah memberi isyarat padaku jika ia sedang protes padaku.

Terkadang, bila si bungsu sedang tak ingin ditinggalkan olehku, ia benar-benar marah sambil berteriak keras sekali.
"Mama ga' boleh kerja !" rengeknya.
"Kalo mama ga' kerja, nanti beli susu gimana ?, kan Mama kerja cari uang, uangnya untuk beli susu dede" aku mencoba berdalih.
"ga' boleh !" si bungsu tambah keras merengek.
"Nanti kalo Mama ga' kerja, nanti dede ga' bisa mimi cucu" lagi-lagi aku merayunya.
Akhirnya si bungsu mengangguk. Meski ia memeprbolehkan aku bekerja, namun aku mampu merasakan apa yang dirasakannya kala itu. Mungkin ia belum puas melepas rindunya bersamaku.

Senin itu, aku berangkat menuju tempat kerjaku seiring dengan bayang-bayang raut wajah anak bungsuku. Wajahnya yang lugu seolah memberiku semangat untuk melalui hari Senin yang amat kubenci. Saat aku menciumnya, ciuman hangat dariku seakan kucium wangi surga. Pelukan erat yang tak ingin kulepas membayangi detik demi detik waktuku di tempat kerja.

Rutinitas ini harus kulalui dengan ikhlas dengan berharap berbuah pahala dari Sang Illahi. Aku berada dalam dilema tiada bertepi. Antara membantu mengais rejeki bersama suami atau hanya menjadi ibu rumah tangga untuk mengasuh buah hati kami dan mengurusi pekerjaan-pekerjaan di rumah.

09 Juni 2009

Yang Tak Punya Malu

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Dengan kulitku yang putih dan bersih, aku sekilas tak tampak seperti orang tak punya. Tetangga kami semua nampak bingung dengan kulitku yang putih dan bersih, karena kedua orang tuaku berkulit sangat berbeda denganku.

Kulit kedua orang tuaku agak sawo matang. Namun seputih kulitku ini tak seputih jalan kehidupanku. Telah begitu banyak pahit getir yang telah kulalui. terlahir dari keluarga tak mampu. Aku tak tau siapa sebenarnya ayahku. Ini disebabkan oleh Ibuku yang terpaksa harus mengamen di dalam bus kota di jakarta, pindah dari satu bus ke bus kota yang lain. Membuat ia terbiasa dengan hiruk pikuknya malam seperti tiada bertepi. Manusia - manusia yang mengadu nasib di jalan terbiasa dengan kehidupan bebas, mereka selalu lupa akan adanya aturan agama. Hingga mereka terbenam dalam lautan yang memabukkan meski ada sedikit batin yang bergejolak akan salah yang mereka jalani.

Ibuku telah pasrah, karena telah mengiba kepada beberapa laki-laki teman dekatnya sebelumnya, namun tak juga ada yang mau mengakui aku sebagai anaknya. Hingga suatu hari saat aku terlahir dan telah menghirup udara selama 7 bulan, ada seorang laki-laki yang mau mengakui sebagai ayahku. . Itupun ibuku sebagai istri keduanya. Istri pertamanya telah memiliki empat anak. Bagaimana mungkin ayah menghidupi kedua dapurnya padahal ia berbekal dengan hanya sebuah bajaj tua yang katanya terlampau sering mogok di jalan.

Ibuku yang tegar meski selalu saja ada terbesit kata-kata mengeluh, namun tak pernah aku melihat air matanya sedikitpun seumur hidupku. Ia selalu merawatku dengan kasih yang tulus, meski hidup kami sangat susah. kami semua berupaya untuk tetap dapat bertahan hidup. "Jangan pernah ada kata putus asa" begitu yang selalu kami tanam dalam-dalam di sanubari kami. Ah, begitu bangganya aku pada ibuku.

Di setiap malam tak pernah kami menghirau lagi akan tubuh yang letih sambil menggigil. Ibuku tak pernah lupa menyelimuti aku dengan mantel bekas. Mantel yang masih lumayan bagus, tak ada sisi kainnya yang sobek. Mantel itu berwarna kuning muda, dengan kerah berwarna putih yang pernah didapat dengan cuma-cuma dari bazar sekolah dekat dengan tempat tinggal kami. Pernah suatu ketika aku memohon "kenapa harus malam-malam mengamennya ?". Dengan nada datar ibuku menjelaskan "kalo siang panas, ibu kasian sama kamu".

Kami tinggal bersama nenek. Di sebuah rumah petakan yang kami kontrak per tahun, berukuran 3 X 8 meter. kamar mandi kami cuma satu yang kami pakai bersama dengan sesama tetangga kontrakan. Di rumah nenek, bersama ketiga anaknya kami tinggal bersama. Adik dan kakak ibuku juga harus membanting tulang dengan sama-sama mengadu nasib di jalan pula. Sedang nenek berjualan panganan kecil yang dijajakan di Terminal Bus Kota Blok M.

Bila penumpang bus keliatan telah menyusut, ibuku segera beranjak pulang. sebelumnya menghitung uang yang telah didapatnya hari itu. Kadang ibuku hanya terdiam, lalu bergegas pulang. Kadang juga ibuku nampak tersenyum, bahkan langsung meluncur ke rumah makan untuk membelikan makan malam untuk aku dan sekeluarga di rumah nenek. Mungkin senyumnya itu pertanda ia telah mendapat hasil yang lebih dari yang diinginkannya.

Kehidupan kami nampak terbalik dari kehidupan manusia-manusia normal lainnya. Malam kami jadikan siang, siang kami jadikan malam. Bila malam kami pergi mencari nafkah, Bila siang, kami tertidur dengan pulas. Namun tidur ibuku dan nenek tidak lama, mereka harus menyiapkan panganan yang akan dijual nenek malam nanti.

Mungkin kami ini telah disebut sebagai kaum yang disebut tak punya malu, Kami sudah tak memperdulikan lagi cercaan itu. Yang terpenting bagi kami adalah bagaimana kami bisa bertahan hidup tanpa mencuri.

18 Mei 2009

Sebongkah Maaf yang Terabaikan

Karawang, Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku. Penyesalan yang berakhir tragis dalam kematian.

Dahulu, di kampungku, ada seorang dokter yang berhati sangat mulia. Beliau adalah sosok yang rendah hati, karena tumbuh dan dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah yang harus membanting tulang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya. Di perjalanan hidupnya, ia tertarik dengan seorang gadis anak Bupati, namun gadis tersebut menginginkan syarat, Ia ingin suaminya adalah seorang dokter, bila tidak pupuslah harapannya untuk bisa bersanding dengannya. Karena teramat cintanya kepada gadis tersebut, dengan gigihnya dirinya mampu menjadi seorang dokter. Akhirnya menikahlah ia dengan gadis sang pujaan hati.

Di tengah menjalani kehidupan mahligai rumah tangganya, ia tak pernah meminta bayaran sedikitpun kepada kaum dhuafa, pun kepada tetangga dekatnya juga demikian. Setiap hari ia melayani pasien yang jumlahnya tidak sedikit. Meski pasiennya banyak yang gratis, ia tak pernah membeda-bedakan mana pasien yang tidak membayar dan mana pasien yang membayar. Ia menjadi sosok yang amat dicintai dan disayangi di kampungku itu. Karena kebaikannya itulah hingga kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di daerah tersebut, sebagai bentuk untuk mengenang jasa-jasa semasa hidupnya.

Sang Dokter memiliki beberapa orang pembantu untuk mengurusi rumahnya, untuk membersihkan rumahnya, mencuci pakaian, atau memasak dan aneka pekerjaan rumah lainnya. Suamiku dulu adalah salah seorang pembantu di rumah sang dokter itu. Begitu perhatiannya Sang Dokter yang mau menyekolahkan semua pembantunya. Padahal di jaman sekarang ini sangatlah jarang pembantu yang mendapat perlakuan khusus seperti itu. Meski demikian, Sang Dokter seakan tak pernah peduli akan apa yang telah dikerjakan oleh suamiku, pun suamiku lebih banyak menghabisi makanan yang ada di kulkasnya ketimbang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya. Suamiku agak pemalas, mungkin karena merasa pekerjaannya bisa dikerjakan oleh pembantu yang lainnya.

Suatu ketika sekotak perhiasan emas milik istri Pak dokter raib entah tidak diketahui keberadaannya. Begitu cemasnya, ia merasa kotak perhiasan emasnya itu adalah satu-satunya benda yang paling berharga. Akhirnya, ia melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. "Lebih baik diserahkan kepada yang berwajib daripada mengira-ngira siapa pelakunya" begitulah istri pak dokter berharap cemas. Lalu selang beberapa jam kemudian datang petugas polisi ke rumah tersebut. Polisi tersebut membawa para pembantu ke kantor polisi untuk segera diintrogasi. Pun termasuk suamiku.

Namun, Belum 24 jam, Istri Pak Dokter telah mengetahui sang pelaku, yang mengambilnya adalah adiknya sendiri yang kala itu berkunjung ke rumahnya. Buru-buru ia menelpon kembali ke kantor polisi. Ia meminta maaf kepada seluruh pembantunya satu persatu.
"Saya minta maaf, semua itu adalah prosedur dari kepolisian" mencoba menjelaskannya. Satu demi satu semua pembantu memaafkannya. Dan pada saat giliran meminta maaf pada suamiku, mata suamiku terbelalak tajam seperti akan menerkam seekor mangsa.
"sampeyan ga' pantes minta maaf, aku tidak sudi memaafkan sampeyan" kata-katanya keras tidak seperti biasanya. Bahkan yang lebih dasyat lagi ia sampai menendang istri sang dokter itu hingga bu dokter sempat mundur beberapa langkah namun mampu berdiri kembali. Tangan istri pak dokter dilepas jauh-jauh dari gengamannya seakan-akan tangan yang ada di depannya itu tangan yang penuh oleh kotoran najis. Sontak peristiwa itu membuat kaget semua mata. Suasana yang awalnya haru biru, kini berubah menjadi sebuah ketegangan. Bagaimana tidak ? Baru kali ini ada seorang pembantu yang dengan angkuhnya berani menendang majikannya. Sambil menunduk dengan muka penuh amarah suamiku pergi menuju kamar pembanringannya di rumah dokter itu. Mungkin suamiku benar-benar marah, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, karena telah dituduh sebagai pencuri. Namun anehnya, tak ada kemarahan dari istri sang dokter. Wajahnya yang berkulit kuning langsat, bersih dan ayu seakan sepadan dengan ketulusannya menerima perlakuan dari pembantu, suamiku yang tak pernah tau berterima kasih itu. Ia benar-benar memakluminya.
Pasca kejadian itu, suamiku masih bekerja di rumahnya seperti biasa dan masih bersekolah dengan biaya Pak Dokter pula. Kehidupan berjalan seperti biasanya.

Suatu hari, suamiku sakit. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, hingga ia tak mampu lagi melakukan apa-apa. Suamiku pamit untuk pulang ke kampung halamannya.
"Kamu ndak usah pulang ke kampung, biar di sini saja, nanti tak panggilkan mantri untuk mengurusimu, mengenai istrimu, biar kalau dia mau, juga tinggal di sini bersamamu." dengan raut wajah penuh keikhlasan, Pak Dokter mencoba menawarkan untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Iya, Pak Dokter benar ", istri Pak Dokter menimpali.
"Istri saya minta saya pulang aja Pak.....Bu......" suamiku tetap pada pendiriannya.

Ia akhirnya harus meninggalkan rumah sang dokter, kembali bersama keluarga namun dalam keadaan sudah tak mampu melakukan aktifitas apapun. Sejak kedatangannya ke kampung halamannya, Sang Dokter yang berjiwa besar itu mengutus seorang mantri sebagai perawat untuk mengurusi suamiku. Sakit lepra yang diderita suamiku seakan sedang menyiksanya. Begitu teramat parahnya, hingga salah satu kaki suamiku akhirnya harus mau untuk diamputasi. Ada banyak tangis di saat prosesi amputasi kaki suamiku. Terlebih aku, hingga aku terjatuh tak ingat apa-apa lagi, rupanya aku pingsan beberapa jam. Suamiku berteriak histeri saat melihat kakinya telah hilang.

"Pak, istighfar Pak" aku berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya. Namun suamiku tetap saja masih belum mau menerima kenyataan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri dalam beberapa jam. Aku hanya mampu menangis di atas tubuhnya yang diam terbujur di ranjang kasur rumah sakit.

Hingga datanglah hari berkabut, hari dimana duka menyelimuti kami, suamiku pergi untuk selamanya. Menunggu babak akhir dari lelah akan sakit yang telah mengeram lama dalam dirinya. Sempat ia meneteskan air mata.
"Mbok'e, aku ndak punya malu...... aku memang salah " dia bertutur kepadaku dengan wajah yang iba.
"Pak, yang sabar, mintalah kepada Yang Kuasa", kucoba menenangkan hati suamiku. Namun tiba-tiba ia mengerang keras seperti ketakutan. Keras sekali, membuat kamar kami bergema karenanya. "Inna lillahi, wa inna illaihi rooji'un" , Segera kututup mata suamiku setelah mengetahui dirinya telah tiada.

Selang beberapa jam kemudian, Keluarga Pak Dokter datang melayat. Seketika datangnya Pak dokter dan istrinya, buru-buru aku mencium lutut ibu dokter itu.
"Pak....Bu..... Maafkan suami saya" pintaku kepada ibu dan pak Dokter dengan mata berkaca-kaca. Aku diselimuti oleh rasa malu tiada berperi, hingga pandanganku tak mampu lagi kuhadapkan kepadanya.

Pak Dokter menepuk bahuku, ia meminta aku untuk berdiri kembali.
"Saya dan ibu telah memaafkannya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkannya pula" Pak Dokter tampak sedih seakan benar-benar memaafkannya. Istri pak Dokter hanya mengangguk sambil memeluk tubuhku yang dingin, pertanda ia telah memaafkannya juga. Suamiku yang kini telah terbujur kaku, menunggu peradilan Tuhan yang kami tidak mengetahuinya.

13 Mei 2009

Kenangan Manis nan Indah

Dimalam yang sesunyi ini,....
aku sendiri... tiada yang menemani,...
akhirnya kini kusadari... dia telah pergi....
tinggalkan du...nia....


"Duh...Adakah semua kan terulang kisah cintaku yang seperti dulu...

uh, mengapa pengamen itu nyanyi-in lagu ini ?" gundahku seakan tak terima bila pengamen itu menyanyikan lagu milik Crisye. Di dalam bus kota yang sedang aku tumpangi ini, pengamen menyanyikannya dengan syahdu sekali. Pengamen bus kota memang semakin banyak saat ini, terkadang kemahirannya membawakan lagu lebih indah terdengar daripada sang artis yang asli itu sendiri. Hingga aku seakan terbang kembali ke masa laluku nan indah saat aku masih tengah bersamanya. Kenangan-kenangan itu begitu manis, meski yang pernah kudengar dari kebanyakan orang, katanya, kenangan manis "cuma ada di senetron saja". Justru karena itulah seakan tak mampu kulepas dan selalu melekat dalam sanubariku.

Untuk menuju gerbang pernikahan, kami hanya butuh waktu enam bulan untuk saling mengenal. Suamikulah pacar pertamaku, sedang suamiku telah beberapa kali didera kekecewaan yang begitu panjang oleh beberapa wanita. Hingga saat mengenalku, ia begitu tak ingin dikecewakan lagi. Orang tua kami masing-masing telah merestui hubungan kami, kamipun akhirnya menikah.

Setiap ucapan suamiku hingga akhir hayatnya, tak pernah ada kata-kata yang menyakitkan aku. Sekalipun aku berbuat kesalahan, dia bahkan malah mencium aku. "Mendapatkanmu adalah hadiah terindah dalam hidupku" begitu indah terucap dari bibir suamiku sambil menciumku penuh mesra kala aku membuat kesalahan. Aneh, tapi yang lebih aneh lagi aku menikmatinya. Aku cuma mampu tersenyum kecut karena merasa malu mengakui kesalahanku.

Hingga kedua benih cintanya lahir, ia tetap selalu menjadi seperti saat-saat pertama aku mengenalnya. Tak pernah ada yang berubah dari dirinya. Sehari-harinya ia tampak dingin, namun jauh sekali saat dekat denganku ia begitu hangat dan mesra. Kepada buah hati kamipun suamiku selalu berusaha untuk menyayanginya. Kadang, sepulang kerja, saat badan terbasuh keringat dan lelah, Nayla, putri bungsu kami mengajak Ayahnya jalan-jalan berkeliling kompleks perumahan kami. Suamiku tak pernah sekalipun menolak ajakannya. Pun dengan Daffa, Si Sulung kami, Suamikulah yang selalu mengajarkan hafalan surat demi surat Al-Qur'an dengan sabar dan penuh kasih sayang. Daffa selalu bersemangat bila menghafal Al-Qur'an, sebab ayahnya pernah bilang, "kalau kita hafal Al-qur'an, kelak di akhirat jalan kita akan diterangi." Tak heran saat Daffa naik ke kelas 2, ia telah hafal juz ke-30. "Sungguh itu adalah yang terindah buat ayah" Suamiku bangga sambil mencium pipi merah Si Daffa. Karena bangga itulah suamiku membelikan sepeda baru yang Daffa pilih sendiri.

Kejutan demi kejutan adalah hal yang selalu membuat aku menangis kala mengingatnya. Pernah suatu kali, ia mengajakku ke mall bersama anak-anak. Tapi nyatanya di sana aku malah dibelikan sebuah cincin emas, 4 gram, bermata merah yang sebelumnya memang pernah aku ingin-inginkan. katanya ini sebagai hadiah di hari pernikahan kita yang ke-10 th. Padahal, aku tidak ingat kalau hari itu adalah hari pernikahan kita. Kebahagiaan aku saat itu merupakan klimaks dari sebelumnya, hingga air mataku tak sanggup kutahan lagi. Suamiku sempat bingung, sebab ia tidak mau melihat air mataku, tetapi kebahagiaankulah yang dia inginkan. Aku hanya mampu mendekapnya, meski masih di depan si penjual cincin itu, aku tak memperdulikannya.

Suatu kali, saat ingin pergi mengunjungi saudara kami yag jauh, kami sudah berkemas hendak berangkat. kala itu, tas ku yang talinya hampir putus kubawa tanpa ada rasa malu. ku pikir, adalah lebih serakahnya aku bila aku membeli tas untuk diriku sendiri, padahal membeli keperluan anak-anak kami lebih utama. Namun, tiba-tiba saat ingin berangkat, suamiku menyodorkan sebuah bungkusan sambil berkata, "Pakai ini ya Ma, tas yang lama langsung dibuang aja yaa". Aku begitu tersentuh, sebab setelah kubuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah tas yang lagi nge-trend saat itu. Tas berwarna hijau tua dengan tali berwarna coklat, tepat sekali dengan seleraku. Aku benar-benar menyukainya. Ciuman hangat dariku tiba-tiba saja meluncur dipipi suamiku sebagai wujud terima kasihku padanya. "Ih Mama pacaran lagi dech sama Ayah " Nayla yang dengan polosnya mengatakan itu merengek minta dicium juga oleh kami, karena mereka tau aku mencium ayahnya.

Namun, nyatanya, Tuhan menitipkan suamiku hanya sesaat, kebahagiaan itu tak sempat kureguk untuk waktu yang lama. Kanker paru-paru rupanya telah mengerogoti dan bertahan tanpa ampun di dalam diri suamiku. Diam-diam suamiku tak pernah mengeluh akan sakit yang dideritanya. Aku hanya mendengar suamiku terkadang sering batuk-batuk. Aku mengira batuknya cuma batuk biasa, waktu itu bila suamiku sedang batuk, aku segera memberinya obat batuk yang dijual di toko obat dekat rumah. Hingga kami terlambat mengetahuinya secara dini. "Sudah Stadium 3", kata sang Dokter spesialis paru. Segala upaya telah kami jalankan, mulai dari berobat ke dokter hingga melakukan aneka terapi. Namun hasilnya selalu membuat kening berkerut.

Di tengah segala usahaku berjuang melawan penyakit suamiku, tak pernah aku memperlihatkan keputus asa-anku sedikitpun. Aku ingin bisa bersamanya kembali. Merajut cinta sambil membesarkan anak-anak kami. Namun Tuhanlah yang berkehendak akan drama yang terjadi pada setiap insan di dunia ini. Hingga di saat-saat terakhirnya, ia meminta menciumku dan berkata, " jaga anak kita, apakah kau akan menikah lagi ? " Belum sempat kujawab pertanyaannya itu, suamiku menutup mata untuk selama-lamanya sambil bersyahadat. Anehnya Ia tampak tertidur dengan senyum yang paling indah dari senyum-senyum sebelumnya.

"Aku ingin bertemu kembali denganmu di syurga, suamiku" ucapku lirih. Air mataku tak sempat lagi kubendung. Aku dan anak-anakku saling berpelukan. Aku harus tegar untuk bisa hidup membesarkan kedua buah hati kami yang telah Tuhan titipkan padaku. Semoga.

06 Mei 2009

Kepergiannya

Sungguh, aku begitu terkejut ketika aku mendapat kabar bahwa budeku meninggal.
Akupun berkemas untuk menghadirinya bersama kakakku. karena jika aku berangkat sendiri, aku ga' akan bisa.


Aku selalu bersama kerabatku jika mengunjungi budeku itu. Ya... rumah budeku di Demak.

"Sa, Mas ga' bisa bareng kamu. Mas udah di bis Nusantara. Kalo bareng kamu, takut kami ga' bisa melihat untuk saat terakhir" kata kakakku dalam teleponnya.

Seketika itu aku langsung lemah lunglai. Pupus sudah harapanku untuk dapat menghadiri pemakaman budeku. kakakku yang tinggal di Jakarta tidak bisa menunggu aku yang tinggal di karawang. Aku harus berbesar hati, merekapun juga ingin melihat saat-saat terakhir budeku.

Dalam bulir-bulir air mataku, tergelar indah masa lalu saat budeku masih ada. Kata Ayahku, bude-lah yang menyarankan ibuku untuk tidak menggugurkan bayinya saat mengandung aku. Dokter saat itu mengatakan terlalu riskan bagi ibuku untuk hamil di usia di atas 40 tahun. Katanya bude bilang " Siapa tau bayinya perempuan". mengingat ketika kakakku semua laki-laki. Pun akhirnya, lahirlah aku sebagai anak perempuan yang ditunggu-tunggu itu.

Pernah suatu kali saat liburan sekolah, aku pulang kampung sendirian. Berbekal pesan Bapakku yang aku tulis dalam sebuah kertas, aku mengunjungi budeku sendiri. Di sana aku menginap selama hampir 2 minggu. Begitu lahapnya aku makan dengan kering tempe manis buatan budeku itu, sampai-sampai aku nambah 3 kali.

Budeku sering mengunjungi kami. Saat aku menikah dan saat melahirkan bayi pertamaku. Budeku selalu berkunjung ke rumahku. Betapa bangganya ia saat melihat bayi pertamaku, laki-laki yang memiliki kulit putih bersih, hingga di kampungnya, budeku bangga dan menceritakan bahwa bayiku persis orang bule, karena suamiku orang sunda yang kulitnya kebetulan putih bersih.

Bude pernah berpesan, "Jagalah suamimu, berbahagialah kamu mendapatkan suami yang mengerti agama."

Kepergiannya begitu cepat, siapa sangka orang yang sesehat dia tiba-tiba pergi untuk selamanya.

Begitu teganya aku, jarang sekali mengunjunginya. Setelah menikah, aku jadi tidak bisa kemana-mana, apalagi berpergian jarak jauh. Hingga kabar tentang kepergiannya begitu mengejutkan aku. Dan yang lebih membuat aku terbebani rasa berdosa adalah aku tidak bisa mengunjunginya di saat-saat terakhirnya.

Dalam do'a-do'aku kupanjatkan "semoga budeku mendapat tempat yang sebaik-baiknya."

02 Mei 2009

Sebuah Karma

Karma adalah sesuatu yang diperoleh karena tindakannya sendiri di masa lampau. Oleh karenanya Karma juga disebut KARena ulah MAnusia.


Kadang begitu banyak kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan menimpa kita, namun kita tidak menyadari penyebabnya ada pada diri kita sendiri.

Suatu ketika, aku pernah memukuli pantat anakku berkali-kali, karena dia menyakiti hati pembantuku. Aku benar-benar tidak mau terlalu memanjakan kepada anak. Kata yang tepat mungkin tarik ulur. Ada saatnya kita bisa memanjakan anak. Namun dalam hal sopan santun aku benar-benar disiplin. Meski aku hanya berani memukul bagian tubuh anakku hanya di pantat, tapi pukulannya cukup keras. Semuanya berharap agar anakku tidak mengulanginya lagi. Beberapa bulan kemudian, Ayahku bercerita tentang masa kecilnya. Ia pernah ikut dengan pamannya. Pamannya pernah memukuli pantat anaknya, karena anaknya marah pada ayahku. Sepedanya kotor karena dipakai oleh ayahku untuk nonton layar tancap di desa itu. Pamannya merasa anakknya harus diberi pelajaran, dan merasa ayahku tidak bersalah. Percaya tidak percaya, kejadiannya hampir mirip seperti terulang kembali.

Pernah temankku curhat padaku, dia menceritakan kisah hidupnya padaku. Ia ditinggal ibunya untuk selamanya ketika ia baru kelas lima SD. Padahal saat itu ibunya benar-benar sangat memanjakannya sekali. Setelah sepeninggal ibunya, ayahnya menikah lagi. Ayahnya berharap istri barunya akan menyayangi anak-anaknya. Lain ladang lain belalang, harapan ayahnya hanya menjadi angan-angan belaka. Baru beberapa bulan menjadi ibu tiri, ia tega mengusir temanku yang masih muda belia itu. Temanku hidup terlunta-lunta. berpindah-pindah untuk bisa meneruskan hidup. Kadang di beberapa kakaknya, kadang juga di tempat pamannya. Rupanya Allah memberikan pengganti lembaran lembaran dukanya yang dahulu. Kehidupannya berubah setelah ia telah bekerja dan menikah. Kini temanku telah memiliki rumah sendiri. Sedang ibu tirinya, mempunyai menantu yang berlatar belakang sama dengan temanku. Persis sekali. Menantunya juga seorang piatu yang tidak memiliki hubungan baik dengan ibu tirinya.

Ada lagi kisah mengenaskan terjadi, entah itu ada kaitannya dari perbuatannya atau tidak, hanya Allahlah yang tau. Aku diberi kabar oleh Rima, temanku di kota yang berbeda denganku. Rupanya temanku Rifa dikabarkan telah menghamili seorang janda, yang satu perusahaan dengan Rima. Tentu saja Rima merasa kecewa akan perbuatan si Rifa. Si Janda itupun sangat terpukul sekali telah ditinggalkan begitu saja oleh Rifa dalam keadaan hamil tua. Rifa akhirnya menikah dengan teman kecilnya di daerah asalnya. Si Janda sempat berkata, "Aku di sini sedang susah payah melahirkan dan mengurus anakku, sedang Rifa sedang asik bersama istri barunya". Telah setahun Rifa menikah, namun sampai saat ini belum dikaruniai sang buah hati. Tiap dinyatakan hamil baru usia 6 minggu, istrinya keguguran. Entahlah, apakah ada kaitannya atau tidak.

Kemungkinan begitu banyak kisah-kisah lainnya yang begitu menyayat hati. Bersyukurlah bila sesudahnya ia mendapat hidayah. Ia terus memohon ampun kepada Allah swt dan tidak mengulanginya lagi. Namun tatkala keangkuhan menyelimuti hati, tak akan pernah ada penyesalan. Sungguh merugilah orang tersebut. Allah swat akan memberi balasan atas segala perbuatannya walaupun hanya sebesar biji zarroh.

30 April 2009

Oh Caleg......

Di Pemilu Tahun 2009 ini merupakan tahun dimana banyak partai - partai politik, bayangkan, hingga 44 partai. Untuk masyarakat kota, mungkin hal ini tidak menjadi masalah. Tapi bagaimana untuk masyarakat di daerah pedesaan, apalagi untuk daerah terpencil ?




Saya pernah tertawa geli saat mendengar salah seorang warga pedesaan.
"Aduuh, saya bingung tadi mau nyoblos partai Anu, tapi kenapa ga' ketemu ya partai yang saya mau coblos itu.

Ada lagi yang bilang "saya mah nyoblosnya nanti aja pas pemilihan presiden, kalo sekarang kan cuma milih anggota DPR."

Saya sendiri merasa bingung dengan pemandangan Banner caleg yang dipajang secara serampangan, tanpa mengindahkan keasrian jalan tersebut.

Di e-mail, banyak sekali parodi-parodi lucu tentang banner caleg. Ada yang bilang caleg bersama David Becham kerjasama, ada caleg yang berpose bersama macan, biar dibilang pawang macan, Ada caleg yang bawa pistol, serasa pemain fil James Bond, Ada Caleg yang lagi bergaya sedang Tinju, Ada Banner yang salah tulis nama partainya jadi Demokarat, Ada caleg nyasar dari planet kripton yang mana gaya rambutnya ga' kuat dech, ada partai dari partai slankers, ada caleg yang namanya SUPIRMAN dipajang di mobil angkot ( kesannya tukang supir kali yach ), Ada caleg yang berpose serasa jadi dewa gitar, Ada banner iklan caleg yang digabung dengan banner sebuah salon ( ini yang punya salon mau nyalon jadi caleg kali ), Ada gambar NARUTO di banner calegnya, ada banner yang numpang logo seperti Flexi punya ( dituntut ga' ya sama flexi ? ), Ada banner caleg Ardiansyah di kelilingi empat wanita cantik-cantik ( cocok sekali dengan judul lagunya, "Aku bukan pencinta wanita" ), dan ada juga Banner caleg yang paling jujur, katanya jangan pilih saya, karena saya bukan caleg, suka nipu rakyat, bla, bla... Perut Saya benar-benar terkocok, saat melihat gambar-gambar tersebut.

Setelah Pemilu putaran pertama berjalan, saya sangat miris dengan nasib para caleg yang gagal terpilih. Ada saja berita yang membuat kita jadi mengurut dada. Ada yang menabrakkan motornya ke tiang listrik karena setelah ia gagal terpilih iapun gagal meminang gadis pujaannya. Ada yang tiba-tiba jadi miskin, padahal sebelumnya bisnisnya sukses, namun ia menjual semua sahamnya untuk menjadi caleg. Ada yang jadi gila, tau-tau tertawa sendiri, kadang-kadang menangis. Ada yang ditinggal pergi istri dan anak-anak, sedang dirinya masuk rumah sakit Jiwa. Bahkan ada pula yang mati bunuh diri, karena malu dengan sang suami tercinta. Pemerintahpun telah mengantisipasi untuk menyediakan Rumah sakit jiwa bagi para caleg ini

Begitulah potret Pemilu kali ini. Semoga tidak terulang kasus-kasus seperti ini. Harapanku kita dapat bercermin untuk menghindari perilaku perilaku yang memprihatinkan.


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

"BU, zaki BAB di celana lagi. terpaksa saya tinggal di sekolah karena anak-anak yang lain pada mabok ga' tahan baunya, udah saya serahin ke bu Erna tapi ga' mau karena ga' ada gantinya" begitu SMS dari supir antar jemput sekolah anakku yang baru aku terima siang ini jam 12.30. Maklumlah, zaki baru kelas 1 SD.


saat hari-hari awal masuk sekolah, zaki memang pernah BAB di celana. waktu itu, ia langsung dipulangkan ke rumah. pulang dari sekolah, zaki kami hukum, aku menyuruhnya mencuci sendiri celana dalam yang terkena BAB itu, berharap agar ia tidak mengulanginya lagi. Alhamdulillah, zaki sudah jarang sekali melakukan kebiasaan buruknya lagi.

Segera kutelpon abi.
"Assalamu'alaikum, Abi, ada sms, katanya zaki ee di celana. Pulsaku habis, tolong abi yang telpon yach.

Setelah abi telpon kedua gurunya, ternyata kedua gurunya bilang, zaki tidak ee di celana. Sebab sudah dicheck dan celananya tidak basah.

Tapi sang supir jemputan sekolah zaki yang masih mempercayai bahwa zaki ee di celana tetap bersikeras agar supaya kami selaku orang tuanya yang menjemput zaki.

Kejadian tersebut membuat Bu Erna, salah satu wali kelas zaki merasa iba dan bersedia mengantarkan zaki ke rumah. sebab sebelumnya kami mengutarakan kepada bu Erna, bahwa zaki akan kami jemput jam 4.30, karena di tempat kami bekerja kami kesulitan bila keluar dari pabrik.

Meski didera oleh perasaan kecewa yang berlebihan pada supir antar jemput sekolah zaki, aku memakluminya. Mungkin bila saat itu zaki ikut dalam mobilnya, akan mengurangi citra bisnis antar jemputnya. Mungkin saja, karenanya, akan banyak anak-anak yang enggan jadi pelanggan jemputannya lagi.

Setelah aku bertanya kepada anakku, anakku mengaku hanya kentut. Mungkin karena zaki pernah BAB di celana, dia jadi punya image demikian di sekolahnya, sehingga hanya karena kentut, teman di kelasnya jadi menuduh ia BAB.

Aku benar-benar terharu akan pertolongan Bu Erna. Ternyata guru-guru di Al Irsyad karawang, alhamdulillah baik, perhatian dan penyayang terhadap anak - anak didiknya.

Teruskan perjuanganmu Bu guru dan Pak Guru. Engkaulah Pahlawan tanpa tanda jasa.

Berperang Melawan Sepi

"Pokoknya kalo Maulana sekolahnya di sini, Maulana ga' mau sekolah. Maulana ingin tinggal dengan Eyang ya Yah." ancam anakku bernada kesal padaku.


Ya,... anakku tiba-tiba saja meminta tinggal dan bersekolah di tempat Eyangnya di Jogja. Alasannya adalah karena kualitas nya jauh lebih baik ketimbang di sini yang masih sangat - sangat terbatas. Kami tinggal di daerah dimana masih sangat serba minim fasilitas. Untuk menuju ke kota, cukup dengan 2 jam dengan mengendarai sepeda motor.

Sejak lahir hingga usia 2 tahun, Maulana memang tinggal terpisah dari ku, hidup bersama orang tuanya di Jogja. Eyangnya sangat memberikan kasih sayang yang berlebihan, mengingat Maulana adalah cucu pertamanya saat itu. Hingga kasih sayangnya membekas hingga kini dalam sanubari anakku. Lepas usia 2 tahun, Maulana beserta istriku berkumpul kembali bersama denganku.

Saat-saat bersama keluargaku begitu indah terasa. Damai dan sejuk hari-hariku, seirama dengan tempat tinggalku yang berdekatan dengan sebuah hutan yang belum dijamah oleh manusia sedikitpun. Bila Sabtu dan minggu tiba, tampak maulana bergembira sekali, sebab kami terbiasa jalan-jalan, entah itu untuk berbelanja ke mall di kota, atau sekedar makan di rumah makan tidak beberapa jauh dari rumah.

Hingga di usianya yang kini menjelang 4 tahun, tiba-tiba saja aku harus berpisah kembali. Bagaimana mungkin aku harus menjalani kesendirianku yang pernah kujalani 2 tahun yang lalu ? Baru saja aku mereguk indahnya kebersamaan tuk memadu kasih, manisnya bercanda ria dengan cinta sejatiku semua harus kusimpan lagi kenangan-kenangan itu.

Istriku tidak mampu berbuat apa-apa. Ia juga menginginkan hal ini terjadi. Alasannya cuma dua kata " Demi anak ". Dua kata yang menusuk hatiku. Meski kehidupan rumah tangga kami terbilang adem ayem, tak pernah ada sedikitpun pertengkaran di antara kami, namun aku masih tidak mampu bergeming untuk berpisah dengan keluargaku yang teramat aku cintai.

Tapi, akhirnya aku harus mengantarkan keluargaku ke tempat Eyang, mertuaku. Malam sebelum aku kembali ke rumah tinggalku, ku tatapi dua sosok manusia yang amat kusayangi, Istriku dan Maulanaku. Hingga tak sadar bulir-bulir air mataku jatuh membasahi lengan istriku. Istriku jadi terbangun karenanya. ia menciumku berkali-kali dengan penuh mesra, setengah berbisik, "Yah, jangan lama-lama di sana ya, kasihan Maulana ditinggal Ayahnya ". Tangisku semakin menjadi-jadi seolah aku tak ikhlas mereka berdua jauh dariku.

Pagi yang disertai awan kelabu, mengiringi keberangkatanku kembali ke rumah tinggalku. Di bandara, kucoba menahan air mata yang seakan-akan ingin berjatuhan tiada terkira. Kupeluk satu persatu kesayanganku itu.
"Maulana, jadi anak yang baik dan pintar Yah. jangan kecewakan Ayah" pintaku sambil memeluk dan mencium pipi Maulana yang gembil.
"Iya Ayah " Maulana tersenyum tanda setuju.
"Ayah, jangan nakal ya di sana " istriku berbisik padaku sambil berpelukan denganku.
Aku hanya tersenyum dan sedikit mengangguk.

Sesampainya di tempat tinggalku ini, aku menelpon istriku, mengabari mereka bahwa aku telah sampai dengan selamat. Hari-hariku kini dipenuhi dengan kesendirian. Kadang tuk berperang melawan sepi, aku berkunjung ke rumah kawan. Mungkin dengan menjadi tim pebulu tangkis di kantorku mampu menepis kerinduan ini.

22 April 2009

Cinta, Kapan Kau Datang Menemaniku ?

Kenapa kuterima cintanya untukku ? Tidakkah aku melihat sikapnya kepadaku sejak sebelum menikah ?

Namanya Arif, dia menyatakan cinta kepadaku begitu dia tau aku bukan milik siapa-siapa. Padahal saat itu kami baru saling mengenal dalam jangka tiga hari. karena didera rasa kecewa berkepanjangan oleh beberapa kisah cintaku sebelumnya, aku begitu polosnya mau menerimanya.


Pun dalam hatiku sama sekali tak percaya kalau ia benar-benar mencintaiku. Secara de facto aku benar jadi kekasihnya, namun hatiku belum mau menerimanya. Ia nampak berusaha meyakinkan aku bahwa ia tulus mencintai aku. Aku luluh juga, aku menyukainya, karena ia dekat dengan agama. namun sayangnya, dimanapun kami berada, kami tak seperti dua insan yang saling mencintai. "Aku ga' mau orang lain menilai negatif kepada kita, kita manusia, jadi harus punya malu" begitu dalih yang diucapkan. Padahal aku ingin sekali berjalan beriringan, atau dia menggandeng aku, kupikir itu bukti ia ingin melindungiku.

Namun semua tak pernah ia lakukan untukku. Bahkan, ketika hendak ingin naik kendaraan umum, ia selalu lebih dulu. Mungkin karena dia mendalami agama, akupun memakluminya. "Mungkin kalau kami telah menikah, dia tak akan canggung lagi kepadaku" harapku dalam hati.

Setelah kami menikah, ternyata, dia masih seperti itu. Apakah aku salah meminta haknya sebagai istri ? Bukankah permintaanku wajar ? Aku meminta hakku sebatas kemampuan suamiku. Kadang batinku menangis, saat melihat para ibu hamil yang ditemani suaminya sambil tersenyum riang berdua. Sementara aku duduk sendiri ditemani sebuah tas yang hanya bisa kupandangi sudut-sudutnya sambil menunggu antrian panggilan dari dokter untuk memeriksaku, sedang suamiku menungguku di sisi yang lain, berjauhan seolah tak pernah mengenal, terkadang malah ia keluar ruangan untuk mencari angin segar.

Pernah suatu kali aku sendirian ke dokter kandungan."Bu, sendirian ? Suaminya kemana ?" tanya salah satu pasien yang sama-sama sedang menunggu."Sedang kerja, kasihan kalau harus mengantar saya, takut cutinya habis" mengharap suamiku baik di mata orang.Kakak juga tau, karena kebetulan telpon aku saat itu."kalo Mas pasti selalu antar Mba' Nani ( istrinya ) ke dokter. Mas ga' bakalan tega ninggalin mba'mu itu, apalagi kondisinya sedang berbadan dua".hingga lima bulan kehamilanku, aku mengalami flek, aku harus selalu sering control. Ah, betapa ikhlasnya aku, mau sendirian berangkat ke dokter, padahal kondisiku cukup berbahaya, bagaimana bila di jalan ternyata aku mengalami pendarahan ? Nyatanya Allah memberikan banyak pertolongan padaku. Alhamdulillah, Aku baik-baik aja.

Setelah aku melahirkan anak pertamanya, tak ada tanda-tanda perubahan. Kami selalu dibelakangnya saat berjalan atau ingin naik kendaraan umum. Suatu ketika, aku benar-benar iri melihat seorang suami membawakan tas bayi sambil menggandeng istrinya yang sedang membawa bayinya menyeberang jalan.
Suara alunan sang pengamen nan sahdu melupakan aku untuk sementara waktu saat aku berada di atas bus kota. Saat pengamen telah usai, awan mendungpun kembali menyelimutiku. Ada goresan-goresan luka yang tak kan pernah bisa terhapus oleh air mata sekalipun.

Lagi-lagi aku terpaku di sudut ruang hatiku, menunggu waktu hingga sang cinta datang menemani aku dengan penuh kasih yang tulus. Berharap bersama penuh suka dan tawa. Suara tangis anakku membangunkan aku dari lamunan panjang tiada bertepi.


15 April 2009

Jazakallah Yaa Ibu dan Bapakku

Entah bagaimana aku bisa membalas semua kebaikannya padaku. Semoga Allah swt selalu memberikan balasannya atas segala kebaikannya selama ini. Robbighfirli, wali-wali dayya warhamhuma kama robbayani soghiro. Amiiin.



Aku sangat bersyukur pada Allah swt bahwa aku yang sampai detik ini masih diberikan kesempatan menghirup segarnya dunia, hingga kini aku telah dikaruniai sepasang putra dan putri yang manis-manis dan lucu-lucu. Lewat tangan-tangan kedua orang tuaku lah aku bisa seperti sekarang ini.

Aku bungsu dari 4 bersaudara, semua kakak-kakakku laki-laki. Kedua orang tuaku sangat menyayangi kami semua. Perekonomian kedua orangtuaku saat itu terbilang cukup, tidak lebih dan tidak kurang. Pernah kuingat, saat ibu memiliki kue atau panganan, selalu ada cara dari ibu, agar semua bisa terbagi dan tidak saling berebut. "Gambreng dan suit", seperti sistem undi, siapa yg menang dalam gambreng, ia berhak memilih terlebih dahulu bagian-bagian makanan yang telah ibu bagi beberapa bagian. karena aku perempuan sendiri, dan beda kami cukup jauh, aku tidak ikut gambreng. terkadang bapak mendidik kami dengan sangat keras, sedang Ibu terlihat berusaha mengimbangi bapak dengan bersikap lemah lembut kepada kami sebagai anak-anaknya.

Telah sering kali Ayah bercerita padaku, mensyukuri atas nikmat yang Allah berikan kepadanya saat ini. Ayah selalu menceritakan masa-masa sulit dahulu. Pernah suatu ketika, ayah harus membuat bungkus dari kertas untuk di jual ke sebuah toko di daerah Santa, karena kala itu belum ada bungkus pelastik ( kresek ). Ketiga kakakku ingin ikut semua, meski dengan jalan kaki semuanya merasa senang. Setelahnya mereka pulang dengan membeli segelas es dawet untuk dinikmati ketiga kakakku. Air mataku sempat meleleh meski hanya mendengar ceritanya.

Saat masa kecilku yang nakal, pernah suatu kali, ketika Ayah pulang dari kerja. Aku memecahkan gelas Mug yang baru saja dibeli ayah. Tentu saja ayah sangat kecewa. Tapi ayah tak memarahiku. Aku hanya bisa menangis, sebab aku tak sengaja menjatuhkan gelas Mugnya.

Aku pernah ingat, Ayah mengajakku naik bus umum Tingkat ( berlantai 2 ). Perjalanan itu sangat aku nikmati. Kami naik di lantai 2 paling depan, sehingga kami dapat puas melihat pemandangan yang kami lewati. Dalam pangkuannya, aku mendengarkan cerita ayahku. hatiku sangat riang kala itu. Meski tujuan kami hanya ingin naik bus Tingkat saja. Kami kembali di tempat semula.

Setiap kenaikan kelas. Ayah selalu mengajak kami ke Jakarta Fair. Aku dibelikan sepatu yang aku pilih sendiri sebagai hadiah bahwa aku mendapat rangking di kelas. Kami anak-anaknya merasa sangat senang sekali berada di tempat itu. pulangnya kami naik bis umum.

Bila di kantor ayah ada pesta, Ayah selalu bawa beberapa potong kue blackforest untuk dibagikan kepada kami di rumah.

Mandirinya Zaki Wisata Sekolah Tanpa Mamanya

31 Maret ini, anak kami Zaki yang sedang kelas 1 di SDIT Al-Irsyad akan wisata ke Kidzania bersama teman-teman sekelasnya. Karena biayanya bagiku cukup lumayan, aku sebagai ibunya memutuskan tidak mendampinginya. Keputusan itupun setelah aku tanya beberapa ibu dari siswa teman anakku serta guru wali kelasnya. Wali kelasnya mengatakan tiap 10 siswa didampingi oleh 1 guru pendamping di sana.



"Zaki, zaki pergi wisata sendiri tanpa Mama yaa, zaki kan kata bu Guru mandiri, iya kan, kalo mandiri berarti harus berani sendiri" rayuku berharap anakku mau pergi tanpa aku."Ma, teman-teman pada diantar mamanya lho" zaki tampak memelas."Nanti zaki mama titipkan pada teman kerja Mama yaach " kebetulan ada teman kerjaku yang anaknya sama-sama bersekolah di SDIT Al-Irsyad, namun beda kelas."Ma, nanti di sana aku ga' ada foto-foto kalo Mama ga' ikut" keluh anakku."Coba nanti Mama minta tolong supaya teman mama mau mengambil foto untuk zaki ya di sana, trus mama bisa telpon ke Bu Yulia nanyain kabar kamu ya" Senyuman polosnya yang lucu menyakinkan aku kala itu.

sore yang indah, di saat H-1 wisata ke Kidzania, setelah aku mandi Aku membaca selebaran pemberitahuan dari Bu Yulia dan Bu Erna, wali kelasnya Zaki. Isinya mengenai peraturan-peraturan dan apa-apa yang dibawa saat di Kidzania. ba'da sholat maghrib, kami pergi ke sebuah minimarket untuk memenuhi apa-apa yang akan dibawa zaki esok. Setelah pulang, aku mengemasi tas yang akan dibawa zaki besok agar besok berangkat lebih mudah dan berharap tidak ada yang ketinggalan. Ada chiki, roti dan minuman kotak serta baju ganti. Tampak Zaki telah tertidur pulas sekali. Tampaknya omongan bu gurunya untuk tidur lebih awal dikerjakan dengan senang hati.

Saat Adzan Shubuh berkumandang, Zaki beranjak bangun, dia begitu bersemangat bangun. Biasanya ia bangun setengah jam lebih lama dari pagi ini."Ma, aku minta dimandikan Mama ya ?" pintanya."Hayuuuk, Mama mandikan "Untunglah, Salwa pagi itu tidak rewel, ia ikut bangun namun langsung tidur-tiduran di depan TV ruang keluarga kami. Padahal hari-hari sebelumnya ia selalu menangis saat bangun tidak melihat aku di sisinya, biarpun wajah tersebut digantikan oleh Abinya, ia tetap tidak akan mau. Akupun jadi bisa mengerjakan tugas-tugas lain, seperti menyiapkan makan salwa dan Zaki. Aku baru bisa mandi setelah semuanya selesai, namun saat aku mandi zaki ngomel-ngomel, ia ketakutan terlambat tiba di sekolah, karena di kertas pemberitahuan tertulis "tidak ada toleransi untuk yang datang terlambat / ditinggal ".

Jam 5.30 pun kami berangkat dari Rumah, Aku, Abi, Salwa dan zaki bersiap berangkat dengan mengendari motor. Di perjalanan, kami melihat beberapa teman zaki yang akan berangkat juga."Tuh lihat, teman-teman kamu juga berangkatnya bareng kita kan, jadi jangan takut terlambat ya" Abinya memberitahu zaki sambil menunjuk ke arah beberapa kendaraan di dekatnya.

Tiba di sekolah, ternyata sudah ada beberapa siswa yang telah datang, namun mereka belum berkumpul di halaman sekolah yang sesuai pemebritahuan, bahwa jam 5.50 kumpul di halaman sekolah SDIT Al-Irsyad. Kusambangi Ayahnya Shafa."Bapak ayahnya Shafa kan ?""iya, ibu ibunya siapa ?""Saya Mamanya Zaki, Pak. Bapak ikut mengantar Shafa di sana ?""Ah, tidak. Kalau saya ikut, nanti biayanya berapa.""Sama Pak, saya juga ga' mengantar zaki koq, lagi pula, sudah ada guru pendampingnya. Insya Allah kita percayakan saja pada mereka.""Abi, ini ayahnya Shafa yang sekelas satu Arofah dan satu jemputan dengan zaki ".Sambil senyam-senyum Abi bersalaman dengan Ayahnya Shafa.Setelah itu kami berpencar kembali.

Begitu melihat Yani, teman kerjaku, aku langsung melambai-lambaikan tangan. Iapun melihat aku."Mana anaknya ?" tanyanya kepadaku."Ini anakku, zaki ini mamanya Pito yaa " sambil menunjukkan zaki pada temanku, kuperkenalkan temanku ke Zaki."Mirip, mirip sama kamu, jadinya aku nyarinya ga' susah" Yani tampak dengan cepat mengingat wajah anakku.

Ku temui Bu Yuli, guru pendamping zaki di sana. Kuucap salam dan kuperkenalkan aku padanya.
"Bu, titip zaki ya, sebab saya tidak ikut. Jazakallah Khair" aku menjelaskan pada bu Yuli.
"Iya Bu, Insya Allah" jawab Bu Yuli dengan tersenyum.

karena jam telah menunjukkan jam 6.30, buru-buru ku katakan pada zaki kalau aku harus pulang, sebab aku masuk kerja."Zaki, mama pulang ya. Mama ga' bisa nungguin zaki sampai berangkat, kan Mama harus berangkat kerja. Zaki baik-baik di sana ya, kan Bu Yulia baik" bisikku sambil mencium kedua pipinya."Iya Mah, assalamu'alaikum" sekali lagi zaki tampak yakin berpamitan pulang."wa'alaikum salam" akupun bergegas pulang.

Selama di kantor, aku selalu memikirkannya, sudah sampai dimana dirinya, sedang apa ya. Meski ada sedikit rasa cemas, namun bayangan-bayangan keceriaannya menghiasi alam pikiranku. Siangnya sekitar jam 2, aku menelpon Yani, namun ia tidak mengangkat meski telah beberapa kali kutelpon. Bu Yulipun demikian, mungkin mereka sedang sibuk mengurusi siswa-siswa. Beberapa menit kemudian kucoba menelpon kembali Bu Yuli.

"Hallo, assalamu'alaikum. Ini dengan siapa ya ?" tanyanya."Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh, ini Mamanya Zaki Bu, Zaki gimana Bu ?" "Oh, Zaki baik-baik aja Bu. Ini sedang berada di Bis hendak dalam perjalan pulang ke karawang""Alhamdulillah, Zaki menangis ga' ?" "Engga' Bu. Ibu mau bicara dengan Zaki ?""Oh, boleh."Karena suasana di dalam bus ramai sekali, aku dan zaki sama-sama tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan kami. Akhirnya aku sudahkan percakapan kami, sebab aku sudah mendengar suara anakku.

Zaki baru tiba di rumah jam 5.30 sore. Sesampainya di rumah, Zaki tampak sangat senang sekali. Ia lantas menceritakan petualangannya selama di sana. Ia bekerja sebagai polisi, pemadam kebakaran, melihat sulap. Katanya ia tidak sempat menjadi pekerja-pekerja lainnya dikarenakan sudah penuh."Ma, aku tadi sempat beli bolpoint untuk mama dan salwa, tapi hilang entah dimana. Maaf ya Ma." Zaki berusaha dengan polosnya. Subhanallah, ternyata Zaki masih mengingat kami di rumah. Mudah-mudahan sifat sayangnya selalu terjaga sepanjang masa. Amiin.

06 April 2009

Semoga Cita-citaku Dapat Terwujud

Aku hidup dari keluarga yang hidup berkecukupan, aku tak pernah berfoya-foya akan apa yang ayah berikan kepadaku. Ya, ayah selalu memberikan fasilitas-fasilitas untuk kami. Uang jajanpun diberikan lebih dari cukup. Bahkan aku dapat menyisakan sebagian dari uang sakuku yang terkumpul untuk diberikan kepada kaum dhuafa.


Hal itu aku lakukan setiap setiap tahun sekali, sebagai wujud rasa syukurku kala nilai-nilai raportku memuaskan. Kedua orang tuaku sama sekali tak mengetahui hal ini. Semuanya kulakukan demi berharap pahala semata

Kini aku telah duduk di bangku SMP kelas 3. Sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMU. Alhamdulillah di usiaku yang menginjak dewasa, pemikiranku semakin baik terarah. Rangkingpun selalu kudapat setiap pengambilan raport. mulai dari rangking 1 sampai 3 pernah aku rasakan. Di sekolah banyak guru-guru yang senang kepadaku karena nilai-nilai pelajaranku bagus-bagus.

Cita-citaku cuma satu, aku bisa mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Kurasa itulah yang bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Sedang SMK yang memberikan beasiswa ke luar negeri hanya beberapa saja. Untuk masuk ke SMK tersebut siswa harus berpredikat sangat baik. Untuk itulah aku semakin fokus belajar dan belajar agar nilai-nilaiku stabil di posisi terbaik

Meski aku telah memiliki kekasih, namun ia selalu memberi banyak motivasi yang baik. kami tak pernah melupakan pelajaran di sekolah. Kadang ia mengingatkan aku sudah sholat atau belum. Terkadang ia memberitauku apa yang aku tidak bisa dalam pelajaran tertentu. Kebetulan ia memang bintang di kelasnya, jadi kami memiliki kesamaan tujuan, ingin menjadi yang terbaik. Yang aku banggakan pada dirinya ialah ia tak pernah melakukan hal-hal terlarang selama waktu perjalanan kami bersama.

Sebentar lagi akan dilaksanakan UAN, aku minta ijin agar kami tidak bertemu dulu sebulan sebelum UAN hingga selesai UAN, baik secara SMS, telepon ataupun bertemu secara nyata. kekasihkupun ternyata meng-iya-kan kemauan ku. Meski didera perasaan rindu, aku tetap consisten agar menepati janji kami ini.Belajarpun kulakukan dengan sangat intens. Mengharap hasil yang memuaskan semoga kudapatkan.

Waktu pengambilan raportpun tiba, senyum Mamaku tampak mengembang setelah Mama mendapat panggilan untuk mengambil raportku. "Kamu juara satu, dan diterima di sekolah SMA 1" Mama mencoba meberitauku sambil berjalan menuju mobil untuk pulang bersamaku."Mah, beneran nih Mah ? Mama ga' bohong kan ?" karena senang, aku sampai tidak percaya akan berita ini."Iya beneran, Mama ga' bohong" Mamaku mencubit pipiku."Alhamdulillah" Ucapku lirih.


Semoga cita-citaku terwujud Ya Allah. Aku akan tetap bersemangat dalam belajar agar cita-citaku terwujud. Amiin.


Teganya Akang Berbuat Seperti itu Padaku

Kami bekerja di perusahaan yang sama. Di perusahaan inilah kami bertemu dan memadu kasih. Akhirnya kami menikah. Waktu itu karir suamiku sedang menanjak, namun apadaya ternyata takdir berkata lain. Kepala pimpinan kami terlibat hutang kepada Negara namun melarikan diri ke luar negeri. Perusahaan kamipun akhirnya gulung tikar. Aku dan suamiku diPHK.


Karena mendapat pesangon, kami membeli beberapa alat elektronik seperti televisi, kulkas, home teather. Kami serasa menikmati hidup, sebab saat itu serasa kami memliki semua yang kami butuhkan. Maklumlah, kami baru mendapat pesangon pasca PHK. Saat itu anak kami baru berusia 5 tahun.

Namun, ternyata pesangon itu akhirnya habis, dan mulailah masa di mana kami mengalami krisis. Ya, krisis keuangan. Aku baru menyadari mengapa dulu aku begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak urgent ? Kenapa uang terlalu gampang aku keluarkan tanpa memikirkan hari esok bagaimana ? Tapi apakah aku harus bermuram muka setiap hari hingga ajal menjeput aku ? Aku harus kuat, anakku masih kecil, ia butuh kasih sayang dan belaian dari aku, ibunya. kalau sampai aku tak berada di sisinya, mungkin akan memperburuk kisah-kisah selanjutnya dalam diri anakku. "Aku harus Kuat, Ya,... aku harus kuat" semangatku dalam hati.

Aku mencoba melamar kerja di perusahaan lain. Berbekal pengalaman kerjaku sebelumnya sebagai ADM, aku diterima kerja sebagai staff administrasi di Perusahaan yang bergerak di bidang pengajaran anak-anak WNA yang orang tuanya bekerja di Indonesia. Tiga bulan kemudian aku diangkat sebagai karyawan tetap. Kehidupan kami mulai tampak terobati dengan penghasilan tetap yang aku peroleh. Suamiku tetap di rumah. Ia selalu berusaha melamar pekerjaan. Namun tetap saja pekerjaan yang diterimanya tak pernah cocok denngan keinginannya. Suamiku ingin agar jabatan yang diterimanya tidak beda jauh saat ia di PHK di perusahaan sebelumnya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, anak kami yang kedua lahir, laki-laki. Biaya hidup kami mulai bertambah. Untunglah kami hidup berdekatan dengan kakak, jadi bila kami tak ada uang, kami bisa makan bersama kakak.


Suamiku tak pernah mau membantu pekerjaan - pekerjaan rumah. Sehari-hari ia hanya pergi mengadu nasib dalam rangka mencari pekerjaan. Bila aku pulang kerja, aku selalu disibukkan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti mencuci, menggosok dan menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Sebab kami tak punya pembantu sebagai wujud efisiensi biaya. Paginya aku sibuk memasak untuk sarapan dan makan siang keluargaku. Menyiapkan anak-anak untuk berangkat ke sekolah, mulai dari mandi, makan dan sampai mau berangkat ke sekolah. Semua kulakukan demi rasa sayangku pada anak-anak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku bahagia.

Kesabaranku semakin terkikis. Bertahun-tahun kami hidup seperti ini. Begitu pahit getir ini kurasakan. Hingga kini anakku yang sulung menginjak SMA kelas 2. Namun peristiwa yang tak akan pernah bisa kulupakan adalah saat kuketahui ternyata suamiku menikah secara diam-diam dengan seorang janda genit. Uangnyapun diperoleh dari pinjaman yang diberikan kakak iparnya dengan dalih untuk syarat diterima kerja yang baru diperolehnya. Padahal semuanya hanya bohong belaka. Kakakku merasa menyesal telah meminjamkan uangnya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Namun air mata itu tak pernah kutampakkan di depan wajah anak-anakku. Aku mencoba tegar, Namun tetap saja hati ini serasa tercabik-cabik. Sakit sekali rasanya. Mudahkah aku melupakan luka yang telah tergores di hatiku ? Aku baru ingat, kenapa seminggu ini suamiku sering pergi malam dan pulang saat shubuh. Ia hanya berpamitan ada proyek baru yang sedang dia dapatkan. Kenapa aku begitu mudah mempercayainya ? Oh Tuhan, dosakah aku bila aku merasa begitu jijik saat berhubungan dengannya ?

Setelah seminggu ia menikah, ternyata suamiku menceraikan istri barunya. Kucoba mempertahankan bahtera rumah tanggaku yang terkoyak. Aku ingin bisa melihat anak-anakku tumbuh bahagia. Cuma ini keinginanku.

21 Maret 2009

Perkenalan itu Menjeratku Ke Bui

Tulisan ini Terinspirasi dari sebuah seminar yang aku hadiri 14 Maret kemarin, seminar tersebut bertema "Bahaya Narkoba bagi Kehidupan Kita. Aku adalah salah seorang siswi sebuah sekolah SMK Negri tidak beberapa jauh dari rumahku, di Jakarta.


Untuk menuju ke sekolahku, aku harus berganti Bus metromini sebanyak 2 kali. Kehidupan ekonomi keluarga kami terbilang rata-rata. hingga, uang saku untuk ke sekolah pas hanya untuk transpotasi naik bus kota dan jajan secukupnya. Keadaan inilah yang membuatku kurang nyaman, karena teman-temanku di sekolah tampak modis dengan asessoris barang bawaan mereka terlihat " wah ". Tidak sedikit teman-temanku tampak memamerkan HP keluaran terbarunya kepada teman2 kami di kelas, karena mereka beruntung memiliki orang tua berada. Sedang aku, agak malu jika dering sms tiba2 datang, sebab HPku HP item putih, dengan ringtone yang benar-benar sederhana sekali.

Bermula hanya sekedar iseng, namun akhirnya ini menjadi hobbyku setiap sabtu sore. "NGECENG di MALL", sapa tau ada cowo' keren yg mau ngajak aku nge-date. hehehe. Teman-teman di sekolahku sudah terbiasa oleh kegiatan ini. Oleh sebabnya, aku tertarik untuk mencobanya. Begitu banyak ABG-ABG nongkrong di pinggiran mall meski mereka tak membeli sedikit barangpun di mall itu. Aku tidak sendiri di tempat ini, tapi aku diajak oleh Tiwi, teman satu kelasku. tapi sesampainya di sana ia sudah bertemu dengan teman laki-laki yang sama-sama ABGnya, rupanya sebelumnya mereka telah janjian untuk saling bertemu di mall ini.

Dari ketinggian 10 meteran, meski sendiri aku mencoba santai sambil memandangi lantai dasar yang dipenuhi oleh aneka barang-barang, mulai dari perabot rumah tangga, showroom motor, aneka tas, aneka sepatu dan sandal, serta barang-barang lainnya yang berjajar cukup rapi dengan dipadati banyak pengunjung yg sekedar melihat-lihat maupun bertransaksi. maklum, sore ini adalah akhir pekan, dimana banyak orang yang ingin melewati akhir pekan dengan bersenang-senang setelah melewati hari-hari sebelumnya dengan aktifitas yang cukup padat.

Tiba-tiba saja pundakku terasa diketuk. Aku mencoba berbalik ke arah Si pengetuk pundakku. Ternyata seorang Negro, dengan badan hitam, tinggi dan besar. Dia mencoba bertanya kepadaku dengan bahasa Inggris. Kebetulan bahasa Inggrisku cukup lumayan, sehingga aku dapat mengerti apa maksud yang dikatakannya padaku. Dia kelihatan cukup ramah denganku. Rupanya dia hanya ingin berkenalan padaku. Lucu juga, meski badannya hitam legam, namun kalau tertawa, deretan gigi-giginya yang putih nampak terlihat jelas. Rupanya ia hanya ingin berkenalan denganku, dia menanyakan namaku, dan nomor handphoneku. Perkenalan itu hanya sesaat, setelah itu pergi meninggalkanku karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Akupun pulang, tubuh ini rasanya lelah sekali hingga Aku ingin cepat-cepat pulang.

Tepat 6 hari kemudian, dia menelponku. Dia menanyakan kabarku, dan ia ingin bertemu aku kembali. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di salah satu tempat makan terkemuka di kotaku. Di tempat makan itu, dia terlihat sangat baik dan ramah kepadaku. Tiba-tiba ia menyodorkan sebuah benda yang terbungkus kertas kado dan diikat dengan sebuah pita merah. Indah sekali, batinku. Olehnya aku disuruh membuka bungkusan itu. Aku begitu kaget sekali setelah benda itu aku buka dari bungkusnya. Ada Sebuah handphone dengan merk terkenal dan keluaran terbaru. Dia utarakan maksudnya, bahwa ia memberikan ini untukku, karena ia jatuh cinta kepadaku, dan ia ingin aku menjadi kekasihnya. Aku hanya bisa tertunduk malu, tidak tau harus bagaimana, aku sedang berada dalam gundah gulana. sebuah dilema yang harus aku pilih. Hape ini harganya cukup mahal, tapi haruskah aku menjadi kekasihnya mengingat kulitnya yang hitam legam, apakah aku bisa menyayanginya ? Kubuang jauh-jauh pikiranku. Aku hanya bisa tersenyum tanda menyetuju permintaan sang Negro itu.

Hari-hari berikutnya, ia sering memberi hadiah-hadiah kejutan untukku. entah uang, entah barang, yang membuat aku berbunga-bunga terus, seolah ia benar-benar menyayangiku. Akupun semakin yakin, kalau ia akan menjadi teman hidupku kelak. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Dua bulan kemudian, ada suatu kejadian yang tak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Dia mengajakku ke sebuah cafe. Dia hanya bilang, ingin bersenang-senang aja. Di sana, Tanpa aku sadari, minuman yang telah dipesankan untukku dia berikan sesuatu bubuk yang bila meminumnya akan tertidur tanpa sadar beberapa jam. Bangun dari tidurku yang pulas itu, aku kebingungan, sedang berada dimana aku ? kulihat sepertinya aku sedang berada di sebuah kamar yang gelap dengan sebuah lampu redup. secara samar aku mendengar alunan musik di luar kamarku. Aku baru tersadar saat membuka selimut, ternyata tubuhku sama sekali tanpa busana selembarpun. aku menangis sejadi-jadinya. Namun tak ada seorangpun yang mendengar tangisanku karena di luar sana nampak bising oleh kerasnya suara lagu-lagu yang diputar. Aku baru ingat, bahwa tadi aku telah bersama si Negro itu. Aku menangis kembali. Jangan-jangan ia telah meniduri aku. Aku pulang dengan badan lemah lunglai. keluargaku hanya menanyakan, kenapa pulang sampai larut malam ?

6 minggu kemudian, aku merasakan banyak keanehan dalam diriku. aku sering muntah-muntah tanpa sebab. haidku juga belum datang-datang. Oleh Ibuku, aku diantar ke dokter. Tampak merah padam wajah ibuku saat dokter mengatakan aku positif hamil. Sesampainya di rumah, kedua orang tuaku langsung memarahiku. kedua orang tuaku nampak sangat marah sekali, hingga aku tidak boleh lagi tinggal dengan mereka. Aku hanya bisa menangis kala itu. kupandangi wajah mereka berdua saat kepergianku sambil sesenggukan. Aku tinggal tak tentu arah, kadang tidur di kolong jembatan, kadang tidur di depan toko yang telah tutup dengan dialasi beberapa kerdus yang berhasil kutemukan di sebuah bak sampah. sepanjang tidurku, aku hanya bisa menangis. Menangis sejadi-jadinya. Kenapa Negro itu melakukannya padaku ? Bukankah kita bisa menikah secara baik-baik ?

Sepanjang tangisanku, aku melamunkan bagaimana aku membesarkan anakku kelak ? Apa aku bisa memberinya makan ? Bagaimana biaya hidup kami ? Kucoba sms si Negro itu. Ternyata dia membalas smsku. Aku memintanya untuk dinikahinya. Anehnya, Dia mengiyakan kemauanku. Akupun dinikahinya secara resmi, tapi tanpa kehadiran kedua orang tuaku. Aku sudah sangat takut sekali bertemu dengan mereka. Dia selalu menafkahiku dengan baik, tanpa absen. Namun setelah bayi kami lahir, ia mulai memperlakukan aku dengan tidak semestinya. Sikapnya, kapanpun dia tak selembut dahulu, kini ia sangat kasar padaku. bahkan kepada anak kami. Air matakupun berurai lagi. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku hanya bisa mengalah, sebab aku sangat takut ditinggalkan olehnya.
Dia semakin menjadi-jadi terhadapku. tak jarang tangannya mendarat ke pipiku berkali-kali. pernah suatu ketika ia membanting cangkir kopi ke arahku, namun aku sempat menangkis, hingga cangkir itu jatuh, kakiku sempat terkena serpihan-serpihan itu, aku hanya bisa menangis dan menangis lagi.

Di suatu malam, tidak seperti biasanya, ia mau berbicara denganku. Dia bermaksud agar aku menjadi kurir. Untuk membawa Heroin ke China. Aku menolaknya. Namun ia mengancam akan menceraikan aku, bila aku tidak bersedia menuruti kemauannya. Aku hanya diberi waktu 2 hari untuk memikirkannya. Apakah aku mau atau tidak. Selama 2 hari itu aku banjir air mata. Akhirnya aku menyetujuinya.

Di bandara aku nampak sangat gugup sekali, karena baru kali ini aku membawa barang haram. Hingga petugas bandara mengetahui kegugupanku. Akupun diperiksa. Akhirnya barang itu diketahui oleh mereka. Akupun masuk Bui. aku dijatuhkan hukuman selama 30th di Guangzhou, China. Di bui ini, aku menatap hidup tanpa arah tak menentu, tak punya harapan bagaimana kehidupanku kelak.


Sampai Kapan Celah itu Datang ?

"Ma,.. ini nilai matematika aku, 100 Ma, ini ada yang lainnya juga, lihat ya Ma", zaki, anakku yang pertama mencoba menunjukkan hasil-hasil test formatifnya kepadaku, padahal aku baru saja pulang dari kantor. Begitu sumringah mukaku ketika melihat kertas-kertas nilai formatif anakku itu. Nilainya cukup menggembirakan, ada yang 100, ada yang 95. Apalagi Salwa, senyumnya yang khas ditampakkan saat aku akan membuka pintu pagar rumah kami, karena baru berusia dua tahun itulah, ia baru bisa senyam senyum aja. Terkadang pula si Kecil memeluk aku begitu turun dari motor. Capek yang aku bawa dari kantor dengan mudah bisa lenyap dengan sekejab karena melihat wajah-wajah ceria kedua anakku.

Kuadukan nilai zaki ke Abinya "Abi, ini nilai-nilainya zaki. Alhamdulillah bagus-bagus""Siapa dulu dong yang mengajarinya ?" bangganya Abi dengan senyum yang mengoda aku."Iya, iya, aku tau. makasih ya Bi telah memebimbing zaki dan Salwa menjadi cerdas" pujiku berharap aku mengakui kelihaian Abi mengajari anak-anaknya.
Zaki, lantas mulai bercerita padaku. Meski aku sedang di kamar untuk berganti baju, ia dengan sabarnya menungguku di luar kamar sambil bercerita. Ada saja yang diceritakan olehnya. kadang, ia memberitau kepandaian temannya menggambar HULK yang ada di TV. Kadang ia meminta jika kelas dua nanti, ia ingin extrakurikulernya ganti taekwondo. Sebelumnya ia ikut SEMPOA, berhitung matematika. "Zaki ga' mau ikut sempoa ? padahal dengan sempoa, zaki pintar dan cepat berhitung kan ?" kucoba merayunya."Tapi Ma, kalo zaki ikut taekwondo, kan zaki jadi bisa bela diri" anakku mecoba berdalih."Ya udah, kalo zaki senang taekwondo ga' papa, yang penting zaki senang ya, Mama juga senang" Meski kelas 2 nya zaki masih beberapa bulan lagi, Aku meng-iyakan kemauan anakku.Lucunya, zaki kalo berbicara jarang sekali berhenti, dan intonasinya cepat sekali.

Sejak kecil Zaki kukira cukup banyak kosa katanya. Pernah suatu ketika, di malam hari ketika ingin berbelanja ke minimarket terdekat, di saat kami sedang dalam perjalan pulang sambil mengendarai motor, zaki menanyakan padaku "Kemana bulannya Mah ?" "Bulannya sedang ngumpet di belakang awan" bermaksud agar anakku mudah menerima kata-kataku kucoba dengan bahasa sesederhana mungkin."Oh, bulannya bersembunyi di balik awan ya Mah" zaki balik bertanya padaku lagi.Betapa malunya aku, tak kuduga, anakku yang baru berusia 2 tahun, tapi kata-katanya lebih baik ketimbang aku Mamanya. Entah dari mana kosa katanya itu, yang jelas saat itu, aku hanya mampu berucap Hamdallah berkali-kali.

Berbeda dengan Salwa, adiknya. Hingga usia telah menginjak 2 tahun, ia belum mahir mengucapkan kata-kata. kata-kata yang diucapkan terkadang kurang jelas. Mungkin yang bisa mengerti ucapannya hanya orang terdekat saja yang sering bersamanya. Namun ia memeiliki kelebihan lain. Di usianya, ia mampu melipat baju, atau celananya sendiri. Bahkan ia mampu mengepel dan menyapu lantai. Anak-anak memiliki keunikan masing-masing yang seharusnya kita syukuri.

"Zaki, mau disuapin sama siapa maemnya ? sama Abi atau Mama ?" tanyaku."Sama mama aja" pintanya."Bibi, Tolong Salwa disuapin yaach, saya harus nyuapin kakaknya.Saat ini, kucoba bujuk hatinya agar ia mau sholat berjama'ah bersama abinya di masjid."Zaki, kan 4 bulan lagi zaki 7 tahun, kalo sudah 7 tahun zaki harus sholat, kan sudah dicatat sama malaikat. Nah mulai sekarang, zaki ikut Abi ya kalo ke masjid ?"Zaki hanya terdiam, entah apa yang ada dipikirannya.

Usai menyuapi makan Zaki, aku bergegas mandi dan segera berwudhu. Maghribpun tiba. Alhamdulillah zaki mau ke masjid bersama Salwa dan Abinya. Alhamdulillah, Zaki begitu mudah menuruti kata-kataku. "Wawa, Mama gantikan pakaian yach, kan mau ke masjid, pakai kerudung biar cantik" rayuku padanya.Untuk Salwa, agak-agak susah juga. Maklum baru berumur 2 tahun. Terkadang ia menurut, tapi kadang juga ga' mau. kalau abis mandi aja, ia yang menentukan pakaian apa yang akan dipakainya. Lucu sekali.

Waktu makan malam kami berduapun tiba, kupersiapkan terlebih dahulu, karena Abinya lebih suka makanan dalam keadaan serba hangat semua. Di saat makan yang hanya berdua itu, kami sempatkan obrolan-obrolan hangat, entah peristiwa di kantor, entah masalah anak-anak, apapun kami sempatkan.

Selesai makan, Kamipun kembali bersama-sama di kamar. Abinya mengajari Zaki pelajaran2 sekolahnya. Sedang aku sibuk bersama si Kecil, bercanda ria, bernyanyi anak-anak atau menggambar. Anak-anakpun bersuka ria. Kami selalu berusaha menjauhkan anak-anak dari pengaruh televisi. Oleh sebabnya, kami harus pintar-pintar mengatur jadwal kegiatan di rumah.

Kadang ada perasaan bersalah dalam diriku. Kapan aku bisa fulltime bersama mereka ? menemani setiap waktunya, detik demi detik. Padahal begitu indah bila bersamanya. Begitu banyak pahala yang dapat kuraih. Sedang aku masih bekerja. Terasa sekali waktuku bersamanya sangat pendek sekali. Jam 8, mereka telah tertidur pulas. Ah, Dunia,... dunia dan dunia itulah yang masih aku pikirkan. Mengapa aku masih dikalahkan oleh dunia yang fana ini. Sampai kapan aku mampu mengalahkannya ? Semoga ada sedikit celah hingga aku mau mengalahkan dunia ini untuk bisa membesarkan anak-anakku dengan tanganku sendiri. Amiiin.

29 Januari 2009

Mungkinkah Anakku Akan Tau ?

Siapa sangka kalau di tempat kerja ini adalah asal mula cinta kami bersemi, aku bekerja sebagai sekretaris seorang boss perusahaan papan atas. Setiap hari aku selalu bersamanya, mendampinginya dan memenuhi segala kebutuhannya dalam pekerjaan. Karena kebersamaan ini, kami saling menaruh hati. Witing trisno jalaran suko kulino,... itulah pribahasa dari tanah jawa yang artinya tidak lebih "cinta datang karena sering bertemu".
Meski ia telah berstatus telah menikah dan telah dikaruniai tiga putra, aku tak pernah menggubrisnya. Kubiarkan rasa yang begitu menggelora ini menggelayuti relung-relung hatiku untuk dirinya. Aku benar-benar kasmaran, Ia pun menyambut gayung dariku.
Kami sering menikmati jamuan makan hanya berdua kala istirahat ataupun sepulang kerja di hari akhir menjelang libur tiap pekan. Ia selalu mengejutkan aku dengan hadiah-hadiah yang cukup mahal dalam ukuran aku. Pekerjaan di kantor, aku selalu menyelesaikan berbagai tugas dengan baik sehingga bisa memuaskan bossku tentunya. Pujian-pujianpun sering dilontarkan untuk aku sebagi sekretarisnya.
Tiga tahun, kami telah bersama. Tanpa duga, Cinta kami kian bersinar, tumbuh bagai bunga-bunga yang ada di taman. Ia meminta lebih dariku. Ia meminta aku layaknya istri namun tanpa suatu ikatan. Karena cintaku yang teramat dalam, akhirnya tubuhku kuberikan untuknya meski ada setetes air mata saat pertama kulakukan itu. Ya...aku benar-benar tidak ingat akan dosa.
"Apakah aku harus terus seperti ini ?" sesuatu mengganjal hatiku. Karena statusku bukan istri yang syah. "Bagaimana bila ia sudah tidak akan suka padaku lagi ?" kekhawatiranku semakin menjadi-jadi."Apakah dia mau menikahiku, meski permintaanku hanya sebatas menikah siri"."Aku ingin anak, agar bisa mewarisi dari sebagian hartanya kelak"."Apakah mungkin bisa ? Ah, segala sesuatu pasti bisa kalau kita ada niat" semangatku.
Esoknya, dengan gayaku yang agak manja dan menggoda kuutarakan niatku itu. Entah mengapa, iapun menyetujuinya, namun dengan syarat, aku harus menikah dengan orang lain sebagai bentuk kepura-puraan. Agar teman-teman kantorku tidak menduga kami mempunyai affair. Semuanya untuk menutup kemungkinan adanya pemecatan salah satu dari kami.
Alangkah bahagianya aku, ternyata ia meng-iyakan kemauanku. Kucoba mencari di internet, laki-laki yang mau dibayar untuk pura-pura menikah denganku. Pestapun dilangsungkan di sebuah rumah makan besar yang memiliki ruangan besar untuk resepsi pernikahan.
Usai menikah, aku pindah rumah dari ibu, aku menempati rumah baru yang telah dibelikan oleh bossku. Rumah yang cukup mahal dan aku menyenanginya. kami benar-benar telah menikah siri. Aku hanya bisa bersamanya kala istirahat dan setiap akhir pekan aja, itupun hanya beberapa jam, karena ia harus pulang menemui istri dan anak-anaknya. Setiap malam, aku hanya berteman dengan dua buah bantal dan sebuah guling. Kadang rasa kangen menyelimuti aku. televisilah yang mampu melupakan gairahku ini.
Empat bulan sudah, aku menjalani kasih ini. Aku dinyatakan hamil. Sembilan bulan kemudian, aku melahirkan seorang perempuan cantik, kuberi nama Agil. Kini iapun tumbuh besar sebagai seorang putri yang luar biasa cantik. di usianya yang kini tiga tahun, ia sering bertanya "Papa koq ga' pernah tidur di sini ?" tanyanya karena melihat papanya Kaisha, anak tetangga sebelahku yang selalu datang setiap sore."Papa cari uang, Agil harus ngertiin papa ya" pintaku.
Ya...Papanya memang tidak pernah bisa menemani kami di kala malam. Waktu bersamanya hanya sedikit sekali untuk anakku. Terkadang malah sampai berhari-hari tidak bertemu. Tapi ini adalah sebuah keputusan. Keputusan hidup yang harus aku jalani.
Sampai kapan aku harus berbohong kepada anakku ? Mungkinkah anakku akan tau ? Apakah harus kupendam rahasia ini selama-lamanya ?